45. Dua Tokoh Utama dan Sang Antagonis

364 43 0
                                    

"Belva."

Seseorang memanggil dari arah pintu kamarnya yang setengah terbuka. Menoleh kepala, sedikit menaikkan alis, Belva bangun dari posisi tengkurapnya. Cewek itu menatap lurus dengan pandangan aneh. Bukan. Bukan Dirga yang Belva lihat sebegitu intens.

Tapi, ... cewek yang berdiri tepat di depan Dirga. Membatu. Sinar mata Raya tampak beku menatap wajah sang papa.

Belva mengerutkan dahi tajam. Ia turun dari kasur, melangkah menghampiri Dirga yang masih berdiri di ambang pintu. Diam-diam tangannya meraih pergelangan tangan Raya dan menariknya mundur hingga ke belakang punggungnya. Seketika itu, Raya kembali menapak pada bumi.

"Papa mau keluar dulu sebentar. Kamu gak apa-apa, kan, di rumah sendiri?" tanya Dirga. Belva hanya mengangguk tanpa sepatah kata. Matanya pun cuma menatap lurus pada wajah Dirga. "Kenapa ngeliatin Papa kayak gitu?"

Belva sedikit melirik ke belakang. Raya langsung membuang muka.

"Belva?" Dirga mengernyit heran.

"Enggak. Papa kalau mau keluar, keluar aja. Belva gak akan ke mana-mana, kok."

Dirga menghela napas. "Ya, udah. Pintunya kunci aja, ya? Mungkin Papa keluar sekitar satu jam. Kalau ada apa-apa telepon Papa. Nanti Papa suruh Kenzie ke sin-"

"Papa!" Belva merengek kesal. Papanya ini selalu saja seberlebihan ini. "Ini gak kayak Papa mau pergi beberapa hari. Cuma satu jam! Gak usah panggil Kenzie segala. Emang Papa gak khawatir? Dia kan tetep cowok, Belva cewek!"

"Hm? Bukan kamu juga suka main sama dia?"

"Ya– ya, iya, sih. Tapi, ini malem!"

"Oke-oke. Kalau gitu Papa keluar dulu. Kamu juga jangan kabur kayak waktu itu. Atau Papa bakal kurung kamu. Ngerti?" Dirga menepuk pucuk kepala Belva beberapa kali. Putrinya itu hanya mengangguk ogah-ogahan.

Hingga Dirga akhirnya lenyap dari pandangannya, Belva menutup pintu dengan gertakan. Terdiam sejenak. Lalu berputar 180 derajat menghadap cewek yang sedari tadi diam di belakangnya.

Raya mundur waspada. Ia memandang Belva takut-takut. "Kamu ngeliatin aku kayak mau bunuh! Jangan kayak gitu!"

"Lo kenapa ngeliatim bokap gue gitu banget?" Belva menelengkan kepala. Ia tidak akan memikirkan sebegini kerasnya andai Raya tidak pucat. Anda Raya todak mengepalkan tangan seolah menahan sesuatu saat menatap Dirga.

"A–aku cuma kaget. Tahu-tahu aja Papa kamu ada di depan aku."

Belva menajamkan penglihatan. "Cuma itu?"

Ya, cuma itu.

Aku bener-bener kaget ngeliat Dirga dari jarak sedeket itu.

Sampe jantung aku rasanya mau berhenti. Sampe kaki aku gak bisa gerak sedikit pun.

Padahal dia kakak ipar aku. Tapi, aku masih aja nyimpan perasaan yang gak seharusnya. Andai Kak Anya tahu, dia mungkin bakal benci aku.

Kamu ... mungkin juga bakal benci aku ... Belva.

"Oy," Belva membuyarkan lamunan Raya, "lo ngelamunin apa?"

Raya buru-buru menggeleng. Ia segera mengganti topik sebelum Belva makin mencurigainya. "Belva, aku ngeliat Anyara ketemu Jevias tadi."

Belva tertegun. "Mereka ... ketemuan?"

Menggeleng, Raya menjawab, "Jevias gak sengaja ketemu sama Anyara. Tapi, yang mau aku bilang setelah ngeliat percakapan mereka, aku ngerasa semuanya udah bener-bener gak bisa dibaca lagi."

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang