60. Memulai yang Baru

1K 50 3
                                    

Kenzie terlelap. Ia tertidur di kursi dekat dengan brankar Belva. Jemari besarnya terselip di anatar jemari lemah dan pucat milik Belva. Ia menelungkupkan kepala di sisi kasur kecil rumah sakit itu.

Sudah dua hari Belva tidak sadarkan diri. Dua hari Kenzie izin sekolah. Ia tidak ingin ke mana pun selain menunggu Belva sadar. Kenzie tidak bisa bernapas tenang jika Belva masih belum membuka mata dan jauh darinya. Walau Dirga sudah menyuruhnya untuk pulang, tapi Kenzie selalu menginap di ruangan Belva.

Kini Dirga tengah keluar untuk makan siang. Ia juga tidak pergi ke kantor sejak kemarin. Dua kali sekretarisnya yang ke rumah sakit untuk meminta tanda tangan. Padahal Laura bilang ia yang akan menjaga Belva andai Dirga ke kantor dan Kenzie ke sekolah. Tapi, mereka tidak mau dengar dan memilih tinggal di rumah sakit.

Masalah Jevias dan Anyara, Dirga sudah memanggil kuasa hukumnya untuk menuntut cowok itu. Kenzie tidak mau ikut campur jika Dirga sudah bertindak. Karena ia juga tahu akan sedendam apa Dirga jika seseorang menyakiti putrinya. Jevias dan Anyara mungkin tidak akan bebas semudah itu di tangan Dirga.

Suara lenguhan kecil mengisi ruangan yanag diselimuti keheningan sejak berjam-jam yang lalu. Tidur Kenzie terganggu saat merasa pergerakan dari tangan yang ia genggam. Cowok itu menegakkan punggung mengangkat pandangannya pada sosok yang mulai membuka matanya itu.

Kenzie spontan berdiri dari kursinya. Tanpa melepas tangan Belva, mendekat, dan mengeratkan tangan mereka. "Bel," panggilnya khawatir, "Bel, lo bisa denger suara gue?"

Belva mengerjap pelan. Ia memandang Kenzie dengan pandangan rumit. Tidak mampu membuka bibir sedikit pun. Kenzie meraih wajahnya dan menyentuh pipi Belva pelan.

"Gue panggilin dokter dulu, ya. Sebentar."

Baru saja Kenzie hendak berbalik, Belva menaham tangan cowok itu. Membuat Kenzie kembali berbalik dan melayangkan pandangan cemas lagi. Belva masih mempertahamkan sorot matanya, sebelum akhirnya bertanya.

"Kita ... saling kenal?"

Kenzie terhenyak.

°°°
Antagonist

"Ayo, hidup dengan bahagia."

°°°

Terjaga.

Raya membuka kedua kelopak matanya perlahan. Pandangannya sedikit buram sampai membuat netranya mengecil sesaat. Ia menangkap siluet seseorang di sampingnya. Ayna berdiri dengan air wajah khawatir seperti biasa. Seperti tiap kali Raya bangun.

"Raya, kamu gak apa-apa? Kamu gak apa-apa, kan?" Ayna meremas lengan lemah Raya. Ia seperti ingin menangis. Biasanya Ayna tidak separah ini. Tapi, kenapa kakaknya kelihatan panik?

Raya mengedarkan pandangan. Ia ingin mengeluarkan suara, tapi tenggorokannya kering dan lemah. Lalu ia menyadari ada sesuatu yang menyangkut di hidungnya. Ah, selain kembali tiba-tiba, sepertinya penyakit Raya kambuh lebih parah. Makanya Ayna sekhawatir ini. Yah, Raya bahkan berpikir ia akan mati sebelumnya. Setidaknya ia mesti bersyukur bisa kembali membuka mata dan menemukan kakaknya di sampingnya.

"Raya, udah bangun? Ada yang sakit, Sayang? Bilang sama Mama." Mama Raya mendekat dari arah sofa. Papanya juga berdiri di dekatnya. Semuanya berkumpul di sini selain Dirga. Cowok yang baru saja ia lihat di lorong rumah sakit. Raya ingin tersenyum mengingat wajah paruh baya Dirga. Dia tetap tampan.

"Raya baik-baik aja." Suara Raya terdengar serak. Ia berusaha mengulas senyum kecilnya. Berusaha meyakinkan keluarganya bahwa ia memang baik-baik saja. Walau sebenarnya itu sia-sia karena tidak ada yang mengubah air wajah mereka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 05, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang