10. Mimpi dan De Javu

755 59 3
                                    

GEMERICIK air memenuhi ruang setengah besar itu. Kenzir berdiri di bawah shower, menyandarkan punggung, menengadahkan kepala dan membiarkan air menghujani wajahnya. Matanya terpejam. Tangannya meremas rambut hitam miliknya.

Ada apa?

Kenapa perasaan Kenzie begitu gelisah?

Ini tidak seperti biasanya. Selepas mengantarkan Belva kembali ke kediamannya, Kenzie hanya langsung melesat ke rumahnya. Tapi, sepanjang itu, sepanjang perjalanan hingga kini, ada yang mengusik pikirannya. Juga hatinya. Kenzie tidak tahu apa itu. Ia hanya merasa ada sesuatu yang ganjal. Sesuatu yang ia lupakan. Sialnya, seberusaha apa pun ia mengingat, Kenzie hanya menuai sia-sia.

Ia menghela napas. Mematikan shower, tangannya meraih handak dan melilitkannya ke pinggang. Cowok itu keluar dari kamar mandi, segera memakai pakaian. Ia menggosok-gosokkan rambutnya dengan handuk, lalu mendudukkan diri di tepi kasur. Satu tangannya memarik laci nakas. Ia mengambil sebuah foto kecil dari dalam. Memgamatinya lekat-lekat.

Tok tok tok.

"Ken? Mama masuk, ya?"

Kenzie menoleh ke belakang, ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup rapat. Ia hanya berdeham keras. Laura lantas membuka pintu, menyembulkan kepala, tersenyum pada sang putra semata wayang. Wanita yang sekilas masih tampak muda itu melangkah menghampiri Kenzie dan duduk di sebelahnya.

"Oh? Itu foto kamu sama Belva waktu masih kecil. Coba Mama lihat." Laura main langsung merampas foto kecil itu. Kenzie melempengkan air muka di saat Laura tersenyum cerah. "Kamu sama Belva deket banget waktu masih kecil. Mama heran kenapa sekarang kamu malah gak suka sama Belva."

"Mama gak tahu aja tingkah dia sebenernya kayak gimana." Kenzie meluruskan kedua tangan ke belakang. Ia mendongak. Menatap langit-langit kamar. "Cewek kayak dia–"

"Kenzie." Laura menyela. Kenzie tertegun, menoleh, terhenyak ketika menemukam Laura menyorotnya tajam. "'Cewek kayak dia?' Belva gak seperti yang kamu pikirkan. Kamu cuma agak ngejauh aja sama dia."

Hening.

Laura menghela napas. "Belva sama sekali gak berubah, Kenzie. Kamu yang buat Belva lebih agresif dari sebelumnya. Dan ... yang Mama gak ngerti. Gimana bisa kamu suka sama cewek padahal kalian baru ketemu sekali?"

"Maksud Mama?"

"Anyara. Kamu pikir Mama gak tahu, Anak Nakal?" Laura menyentil dahi Kenzie. "Hubungan kamu dengan Anyara gak sebanding dengan hubungan kamu dengan Belva. Mama gak habis pikir apa yang bisa buat kamu campakin Belva demi Anyara. Walau dia baik, tapi kamu juga ngebenci Belva, lho."

Kenzie terdiam.

Laura lagi-lagi menghela. "Gak baik ngebenci orang yang pernah jadi sosok berharga di hidup kamu. Kamu sendiri tahu seberapa penting Belva di mata kamu, Kenzie."

Laura mengambil tangan Kenzie lalu menaruh foto dua bocah itu di telapak tangannya. Laura mengusap rambut basah Kenzie kemudian berdiiri. "Mama ke bawah dulu."

Hanya mengangguk. Kenzie tidak bergerak sedikit pun dari posisinya. Ia menatap kepergian sang mama. Terpekur.

"Gue ... bahkan gak tahu kenapa gue benci banget sama Belva," gumamnya.

°°°
Antagonist

"Dari dulu lo bilang gak akan ninggalin gue. Makanya gue juga gak akan ninggalin lo."

°°°

"BELVA!"

"BEL! BELVA DENGER KENZIE, KAN?!"

"BELVA JANGAN TINGGALIN KENZIE!"

"BELVA!"

"BELVAAAAA!"

***

Kenzie terjaga.

Membuka mata lebar, menatap nanar langit-langit putih kamarnya, kedua tangan Kenzie mengepal erat. Bulir-bulir keringat terbentuk di dahi dan pelipis, mengalir hingga ke leher. Cowok itu bangun dari kasur, menekuk satu kaki, mengambil napas sebanyak mungkin dan menenangkan diri.

Apa ini?

Kenapa dirinya memanggil Belva terus-terus menrus dalam mimpi?

Kenapa Kenzie kecil terus berteriak pada Belva?

Tidak paham. Kenzie sama sekali tidak bisa mengerti kenapa bisa ia bermimpi seperti itu. Rasanya seperti devaju. Rasanya Kenzie pernah mengalami hal itu. Tapi, Kenzie tidak ingat. Sedikit pun tidak.

"Sialan. Bahkan dalam mimpi dia bikin gue gak tenang." Kenzie memaki, menutup mata akan perasaan aneh dalam dirinya. Ia beranjak dari kasir dan berjalan keluar kamar. Menuruni tangga, Kenzie mengambil air dari kulkas dan meneguknya rakus.

Cowok itu duduk di meja belajar. Ia melihat jam dinding yang terpasang di dindin ruang makan. Pukul dua dini hari. Kenzie menghela napas. Padahal besok ada ulangan harian. Tapi, sepertinya Kenzie akan kesulitan tidur lagi karena mimpi itu.

"Kenzie, ngapain jam segini di situ?"

Kenzie terperangah. Sang papa, Gian berlalu melewati Kenzie dan mengambil air dari teko. Ia melirik ke arah sang putra yang masih diam dan kelihatan tidak tenang. Gian lantas menaruh gelasnya di meja makan, menarik kursi makan dan duduk di depan Kenzie.

"Kamu kenapa?"

"Mimpi buruk." Kenzie menjawab singkat.

Gian berkerut. "Setan?"

Kenzie menghela napas. "Belva."

Gian tertawa. "Mimpi Belva bukan mimpi buruk kali. Jodoh mungkin."

Melirik sebal, Kenzie meneguk kembali botol minum dinginnya demi menyegarkan pikiran. Atau lebih tepatnya berusaha mengenyahkan Belva dari otaknya.

"Ngomong-ngomong soal Belva, dia udah lama gak main ke sini." Jemari Gian mengelus gelas bening di depannya. Memorinya terlempar pada masa kecil Kenzie dan Belva. Dua bocah yang selalu ke mana-mana bersama seperti tembok dan ulat. "Kapan-kapan ajak Belva main ke sini, Ken. Papa pengen ngobrol sama anak Papa yang satu itu."

"Dih, anak Papa cuma satu. Kenzie doang." Kenzie bergidik. Kalau sampe Belva mendengar ini dia pasti sudah kegeeran sendiri.

"Ya, udah berarti menantu."

Kenzie melotot. "Gak bakal."

Gian mendengkus. "Tsundere ternyata."

"Lagian Kenzie udah ada cewek yang Kenzie suka. Papa gak usah ngomong aneh-aneh di depan Belva. Anaknya kegeeran Kenzie gak ikut campur."

Gian mengernyit. Walau Kenzie sering bilang begotu, tapi Gian maasih belum tahu siapa cewek yang putranya maksud. "Cewek yang kamu suka itu ... namanya kalau gak salah Anyala?"

"Anyara."

Gian mengangguk-angguk. "Padahal yang deket aja ada."

"Kenzie balik ke kamar. Papa gak usah bahas kayak gituan di depan Belva. Cewek agresif kayak dia gak bakal ada deketin." Kenzie beranjak dari kursi dan melangkah meninggalkan Gian sendirian di meja makan.

Gian terdiam sejenak.

Ia menoleh ke belakang, tepatnya pada punggung Kenzie yang menjauh. Ia menghela napas panjang. Gian jelas tahu bahwa Belva menaruh hati pada putranya. Gian pikir Kenzie juga menyukai Belva. Mengingat bagaimana mereka dekat dulu, Gian agak heran kenapa Kenzie semenjauh ini dari Belva.

Bagi Gian Belva sudah seperti putrinya. Cewek ceria, peyayang, cengeng, dan manja. Seperti itulah Belva di mata Gian tiap kali berhadapan dengan papanya atau Kenzie dulu. Gian jadi sedih. Mengetahui Kenzie malah menyukai cewek lain, sedangkan Belva masih bertahan dan berharap padanya.

Gian tidak tahu akan seperti apa Belva jika Kenzie benar-benar tidak bisa ia gapai lagi.

***

Tinggalkan jejak.

Terima kasih bagi yang telah membaca.

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang