27. Pemberontakan

802 55 8
                                    


"Minggir." Kenzie mendesis. Ia menatap dingin pada cewek di depannya. Namun, Belva tidak bergerak sesenti pun. Ia hanya mencerap saksama wajah cowok yang lebih tinggi beberapa senti itu.

"Kenzie?" Belva mendengkus. Sadar dengan perkataan Kenzie, sadar akan tatapan yang berubah dalam waktu sedetik itu, Belva yakin Kenzienya telah pergi. Kenzie sialan ini malah kembali dengan wajah songongnya. "Lo inget yang kita bicarain tadi?"

Kenzie menghela napas. Ia menelengkan kepala, memberikan pandangan remeh. "Sejak kapan gue mau dengerin lo ngomong?"

"Gue bilang lo dikendaliin alur novel. Lo yang sekarang suka sama Anyara, itu bukan lo yang sebenernya. Itu cuma karakter yang dibuat penulis."

"Sinting?" Kenzie mengernyitkan dahi. Ia menoyor kepala Belva hingga membuat si empunya menjauh dua langkah. Belva melotot sebal. Lalu menepis tangan Kenzie.

"Lo tuh ya! Gue bilangin ini jadi dengerin!" Belva maju kembali dia langkah. Tanpa aba-aba ia menarik kerah kemeja putih Kenzie. Membuat cowok itu tersentak dan mendekatkan wajahnya pada wajah Belva. Kenzie tampak tertegun ketika Belva menatapnya dalam-dalam.

"Pokoknya gue gak bakalan nyerah. Entah lo Kenzie karakter atau Kenzie asli gue, gue bakal terus ngingetin lo. Kalau semua ini ... cuma settingan dari penulis. Lo punya kehidupan yang sebenernya dan itu bukan sama Anyara. Tapi, gue."

°°°

Antagonist

"Kenzie gak segampang itu bisa lepas dari karakternya karena dia pemain utama, Belva!"

°°°

Belva melempar diri di bangkunya. Ia menyandarkan punggung, menghela napas berat. Cewek berambut tergerai itu lantas menidurkan kepala di meja dengan satu tangan terulur panjang. Sedang tangan lainnya menjadi bantal. Terpekur. Belva teringat kepergian Kenzie tanpa sepatah kata pun beberapa menit lalu. Belva tidak tahu apa yang dia pikirkan. Air wajah cowok itu tidak bisa diterka.

"Bel, lo kenapa, deh?" Fiara baru saja memasuki kelas, melihat Belva tampak murung lagi, ia berjongkok di samping bangku sang sahabat. Melihat tatapan kosong cewek itu, Fiara menjentikkan jari. "Beb!"

"Ck, pergi dulu sana! Jangan ganggu." Sedang tidak mood, Belva memilih membalikkan wajah ke arah lain.

Menghela napas sabar, Fiara kemudian berdiri, berjalan memutari barisan bangku dan duduk di kursinya. Ia menopang dagu dengan aatu tangan. Memberi pandangan bosan pada tingkah Belva yang kesekian kalinya begini.

"Biar gue tebak." Fiara menyelipkan anak rambut Belva yang nyaris menutupi wajahnya. Belva yang terpejam lantas menarik kelopak matanya hingga terbuka. "Kenzie lagi?"

Tidak ada balasan.

Yah, Fiara rasa dirinya benar.

"Bel, gue capek. Beneran capek ngeliat lo ngegalau mulu gara-gara cowok berengsek kayak dia." Fiara berkata tenang, walau dalam hati menahan geraman. Ia benar-benar tidak tahan. Belva yang dungu ini benar-brnar lugu sekali. "Cowok banyak, Bel. Jangan mentingin cinta, deh. Tai."

"Mulut lo, sialan!" Belva memperingati. Kalimat Fiara terlalu sadis. Menegakkan punggung, Belva menarik rambutnya ke belakang. Ia memutar arah duduknya menghadap Fiara. "Ra, kalau gue bilang Kenzie tuh punya jiwa lain, lo percaya, gak?"

Fiara mengernyit. Menatap Belva dengan pandangan seolah berkata, 'lo sinting?'

"Ck, gue serius." Belva menggoyang-goyangkan lengan Fiara. "Lo percaya sama gue, dong. Biar gue ada temennya."

"Temen gila maksud lo?" Fiara menaikkan alis.

"Gue pukul ya lo lama-lama," Belva mengancam sebal, mencebik, "lagian yang gue lakuin sekarang tuh beda sama yang dulu. Pokoknya gue mau nyelametin Kenzie."

Fiara menghela napas untuk lagi dan lagi. Ia menangkup kedua belah pipi Belva. Memberi pandangan prihatin. "Cinta sama bajingan itu bikin lo agak kurang waras sekarang. Please, lo satu-satunya temen yang bisa gue ajak ngebuli orang lain. Jangan gila dulu."

"Gue gila kata lo?!" Belva menarik rambut Fiara, si empunya sampai tersentak, melotot horor.

"Ih, iya-iya. Lepasin dulu, Belva! Sakiit!" Fiara memukuli lengan Belva. Hingga akhirnya cewek itu melepaskan helai rambut itu, Fiara menatap sengit. "Kasar!"

"Ngaca!" balas Belva.

"Lagian lo tuh aneh, deh, Bel. Kenzie punya jiwa lain, maksud lo dia DID?"

"Enggak, gak jadi." Belva mengibaskan tangan ke udara, isyarat meminta Fiara melupakan perkataannya. Percuma. Cewek itu tidak akan paham. "Susah ngomong sama lo."

"Dih, makin-makin kan nih anak!" Fiara mencubit pipi Belva sampai sang pemilik menjerit. Belva membelalakinya. Hendak balas mencubit balik tapi Fiara berpindah gesit.

"Yah, gak kena. Kasihan. Gue mau bolos dulu. Bye!" Fiara melambaikan tangam setelah memberikan kiss bye. Belva bergidik jijik. Mengabaikannya, ia memilih memalingkan wajah.

Namun, baru saja Belva menoleh ke arah berlawanan, ia terkejut mendapati Raya sudah duduk di kursi milik Fiara. Belva melotot lebar. Ia menatap sekeliling sebentar, memastikan hanya ada dirinya dan Raya dalam kelas.

"Lo ngapain muncul tiba-tiba? Ngagetin tahu, gak?" Belva berdecak sebal.

"Kamu ngapain sih, Belva?"

Belva menatap tidak paham. "Gue duduk, anjir. Buta ya lo?"

"Maksud aku kamu ngapain tadi sama Kenzie? Kamu kasih tahu dia tentang semuanya?"

Ah, Belva paham sekarang. "Kalau iya kenapa?"

"Ikutin rencana aku aja, Belva. Kamu udah sadar kalau semua ini dunia novel. Kamu juga pelan-pelan lepas dari karakter kamu, kan? Kamu cukup jauhin Kenzie aja. Udah."

"Enggak, gue gak mau." Belva menjawab dingin. Ia mengalihkan pandangan muaknya ke arah lain. Mencoba tidak terbawa amarah.

"Bel, please. Bukan hal gampang buat bikin tokoh di sini sadar. Apalagi pemain utama."

"Terus gue cuma diem aka gitu ngeliatin Kenzie sama Anyara? Gue diem aja Kenzie ngebenci gue padahal gue gak salah apa-apa? Dia bahakn gak tahu kenapa dia benci gue."

"Bukannya udah cukup ngeliat dia bahagia walau sama orang lain?" Raya bertanya hati-hati. Matanya menatap sungguh-sungguh pada dua bola mata yang memaku itu.

"Maksud lo?"

"Kenzie sama Anyara, mereka bakal happy ending. Kenzie tetep bakal bahagia, dan kamu gak akan mati kalau ngejauhin dia dari sekarang. Gak ada salahnya kan kamu ngelupain dia?"

Belva mendengkus tertawa. Ia tidak percaya. Cewek gila ini, bagaimana bisa ia mengatakan semuanya semudah itu? Raya tidak tahu apa-apa. Raya tidak tahu bagaimana Kenzienya memperlakukannya. Ia tidak tahu seterluka apa tatapan Kenzie beberapa menit lalu saat ia terlepas dari karakter novel ini.

Belva tidak mungkin membiarkan Kenzie pergi. Karakter sialan yang Raya ciptakan. Karakter yang mengambil alih kehidupan sebenarnya Kenzie. Belva tidak akan membiarkan alur ini merebut Kenzienya. Apalagi sampai melukai Kenzie.

"Lo tahu?" Belva mengingat-ingat senyuman lerih Kenzie, "gara-gara lo, Kenzie harus ngelupain gue. Lo tahu sesakit apa matanya ngomong sama gue?"

Raya terdiam.

"Kenzie gue udah balik, Ray. Tapi, dia pergi lagi. Semuanya gara-gara alur novel sialan lo." Belva mendesis. Ia menelan ludah beberapa kali. Sedang Raya masih terpaku mendengarkan perkataannya.

"Gue gak bakal biarin siapapun nyakitin Kenzie. Dia milik gue. Paham lo?"

***

Makasiih banyak yang udah baca sejauh ini. Jangan lupa vote n komentar. Maaf typo bertebaran.

See you!

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang