57. Hal yang Tidak Diketahui Siapapun

343 35 0
                                    

Jevias membenci orang tuanya. Walau ia tidak tahu siapa mereka.

Tapi, ia tidak terlalu mempermasalahkan cerita mengenai ia yang dibuang sejak bayi dan tinggal di panti asuhan. Jevias melupakan kesakitan fakta kelahirannya yang ditemukan di dekat tong sampah dekat panti asuhan tempat ia tinggal. Karena selama ada Lily, Jevias baik-baik saja.

"Kakak, Andre nakal, ih. Tolongin Lily!" Anak perempuan dengan rambut diikat dua dan tergerai di masing-masing bahunya itu bersembunyi di belakang bocah sembilan tahun.

"Andre, jangan gangguin Lily." Jevias memperingati. Anak yang lebih muda dua tahun dari Jevias itu berdecak dan memberegut.

"Bang Vias mah belain Lily terus. Gak seru!"

"Biarin! Kak Jev kan kakak kesayangan Lily!" Lily menjulurkan lidah mengejek. Anak berusia lima tahun itu memeluk Jevias dari belakang.

Andre mencibir, "Anak cengeng kayak kamu mana mau Bang Vias jadiin adek!"

"Ih, Andre!" Lily merengek, melepas sandal usang dari kakinya dan melemparnya pada Andre. Sayang anak cowok itu keburu kabur setelah menunjukkan pantatnya pada Lily.

Jevias tertawa geli. Ia menggenggam tangan Lily dan menariknya supaya berdiri di depannya. Jevias merapikan rambut berantakan Lily dengan lembut. "Kakak, Andrenya, ih."

"Iya. Nanti biar Kakak pukul."

"Lily gak suka Kakak pukul orang. Tapi, kalau Andre, pukul banyak gak apa-apa." Anak itu nyengir. Ia menaruh lagi sandal di atas lantai dan memakainya. Ia kembali bertanya, "Kata Ibu, Kakak dapet peringat dua, ya?"

Jevias diam sejenak. Lalu mengangguk.

"Wah, Kakak keren banget! Lily bahkan kesusaham ngerjain tugas. Tapi, Kakak malah bisa sekolah di sekolahan mahal. Lily juga mau sekolah di sekolah Kakak."

Jevias tersenyum. Ia mengusap wajah anak yang lebih pendek darinya itu. "Nanti Lily juga bisa sekolah di sana. Sekolahnya besar, luas juga. Banyak tempat main."

Mata Lily berbinar lebar. "Beneran? Lily mau ke sana! Biar bisa sama-sama Kakak terus!"

Jevias hanya tersenyum. Ia mengusap kepala Lily lembut, diam mendengarkan celotehan anak itu.

Jevias benar-benar menyayangi Lily. Walau mereka bukan adik kakak kandung. Walau mereka punya nasib menyedihkan sama. Jevias ingin menjaga Lily seumur hidup. Ia tidak bisa terima melihat Lily kembali disakiti oleh siapa pun. Pertama kali ia mengenal Lily, ia mesti bertengkar dengan anak jalanan.

Hal pertama yang Jevias sua dari Lily adalah raut kekosongan dan wajah lelah. Jevias tidak mau bertanya tentang bagaimana Lily bisa jadi bagian dari anak-anak jalanan itu. Jevias juga tidak akan bertanya bagaimana Lily bisa dibuli atau bagaimana ia bisa bertahan di tempat itu.

Jevias pun sadar. Lily tidak perlu mengingat sedikit pun masa lalunya. Jevias yang akan menarik Lily dari kegelapan. Jevias yang akan menjadi pelindung Lily selamanya.

"Kakak, Lily suka nama dari Kakak," tersenyum lebar, Lily memeluk Jevias dari bawah dan mendongak dengan mata menyipit, "makasih karena Kakak udah nolongin Lily."

°°°

Antagonist

"Lily adalah hidup gue."

°°°

"Hah!" Jevias  mendengkus keras. Berdiri sempoyongan, mundur beberapa langkah menjauhi cewek yang memberikana atensi waspada, ia menyugar rambutnya hingga berantakan dan tertawa keras sampai memenuhi ruangan setengah gelap itu. "HAHAHAHA!"

Belva terpaku.

Ia memperhatikan Jevias seraya menahan napas sesaat tanpa sadar. Tawa itu terdengar mengerikan dan menyakitkan di saat bersamaan. Entah bagaimana telinga Belva menangkap getar dalam suara cowok itu. Ia dibuat tidak dapat bersuara sepatah kata pun.

Jevias membenci kehidupannya.

Ia berharap dirinya tidak pernah lahir dan dibuang seperti sampah pembawa sial. Ia tidak pernah berharap tinggal di panti asuhan atau bertemu Lily yang sama menyedihkan dengannya. Ia tidak pernah mau membenci siapa pun sebebsar ini sampai rasanya mau gila.

Jevias tidak mau terus-terusan dibuat merasa bahwa ia tidak pantas di mana pun atau untuk siapa pun. Bahkan untuk menjaga anak sekecil Lily Jevias tidak mampu. Lily tidak seharusnya mati gara-gara kecerobohannya.

Gara-gara Jevias meninggalkan Lily dengan alasan membelikannya es krim, anak kecil itu diculik. Sekeras apa pun ia mencari Lily, Jevias pada akhirnya hanya menemukan mayat anak itu di sungai dekat pembuangan sampah.

Jevias benar-benar mau gila saja saat itu. Ia terus berteriak dan menangis, mengurung diri dalam kamar. Padahal Jevias yang membawa Lily ke panti asuhan. Padahal Jevias sendiri yang berjanji akan menjaga Lily selamanya. Tapi, akhirnya tidak ada satu orang pun yang bertahan di sisinya.

Belum cukup dia dibuang orang tuanya, Jevias juga mesti kehilangan Lily.

"Belva," Jevias menghentikan tawanya dan memanggil nama Belva dengan nada berat. Ia menelengkan kepala, matanta melurus hampa dan senyuman terpatri sakit di bibirnya. "Lo ... kayaknya tahu semua hal yang gue benci, ya?"

Belva tidak membalas. Lidahnya kelu. Badannya membeku kala Jevias menghusunkan pandangan nanar dengan senyuman yang tidak bisa ia pahami.

"Lo bener-bener udah ngusik gue terlalu dalam, Belva." Jevias mengeluarkan pisau kecil andalannya. Pisau yang selalu ia bawa ke mana pun dan pernah melukai Belva kala itu. Mendekat. Mengikis jarak di antara dirinya dan Belva yang membatu. Jevias mengulurkan mata pisaunya ke wajah cewek itu. "Tadinya, gue pikir mau perkosa lo aja. Tapi, karena gue udah muak, mending sekalian hilang aja, deh, elonya."

"Lo gila, Jevias. Lo gak boleh bunuh orang seenak jidat lo, Bajingan!" Belva sedikit demi sedikit menyeret tubuhnya, berusaha menjauh dari mara bahaya di depannya ini. Tapi, Jevias benar-benar psikopat. Ia mendekat perlahan dan membuat Belva terus merasa jantungan.

Memaksakan tungkai-tungkainya untuk bangkit, Belva nyaris terjatuh lagi sebelum tiba-tiba Jevias menahan tubuhnya. Dalam sedetik, Belva meremat pisau yang nyarus ditusukkan ke perutnya. Jevias sedikit terhenyak. Lantas krmbali menarik benda tajam itu dan mundur, melepaskan Belva dari tangannya.

Ah, cewek ini lagi-lagi menahan pisaunya. Padahal terakhir kali ia pernah melakukan ini dan berakhir menangis.

"Padahal jahitan lo belum lama sembuh, kan?" tanya Jevias. Belva yang berdiri gemetar, menatap tangannya yang berlumuran darah.

"Gak mungkin gue pasrah lo bunuh." Belva mendesis. Ia tidak tahu sampai kapan mesti bertahan. Ia pikor sudah nyaris lebih setengah jam ia bersama Jevias. Memberontak, berusaha lari tapi cowok itu tidak membiarkannya lepas dengan mudah. Yang ada Belva yang teus dibiat babak belur.

"Adik lo Lily, kan?" tanya Belva, terdengar lirih. Ia tersenyum kecil. Ia meremat luka di tangannya. Dahinya sedikit mengernyit merasakan sakit. Tapi, ia tetap menyunggingkan senyum. "Dia bakal jadi orang yang paling ngebenci lo kalau tahu apa yang lo lakuin sekarang."

"Gue gak peduli. Toh, dia udah gak ada. Jadi, gue bebas ngelakuin apa–"

"Omongan lo kedengeran nyakitin, ya?" Belva mendengkus. "Lo yang terus-terusan nyakitin diri lo sendiri. Paham?"

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang