23. Dia Berbeda

1.1K 68 0
                                    


Berkedip dua kali. Raya menepuk-nepuk kedua pipinya keras-keras. Cewek yang berdiri nyaris mengejar Belva yang baru saja pulang sekolah itu, tiba-tiba saja terpaku akan kejadian yang barusan dia lihat.

Belva bertemu Jevias. Raya lagi-lagi lupa harusnya di bab sepuluh juga ada adegan itu. Tapi, kenapa ini berbeda? Kenapa Kenzie ada di sana? Seingat Raya, ia tidak melibatkan Kenzie sedikit pun pada pertemuan Belva dan Jevias. Apalagi Belva pakai acara kabur-kaburan segala. Reaksi Jevias jadi agak melenceng dari cerita yang sebenarnya. Lalu eksistensi Kenzie jadi mengacaukan alur bab sepuluh ini.

"Perasaan Kenzie tuh harusnya gak ada di sini." Raya menyedekapkan kedua tangan. Berpikir lama. Ia megerjapkan mata beberapa kali kala teringat sesuatu. "Jangan-jangan ini gara-gara Belva kepoin Jevias? Tapi, kok ... Kenzie bisa ...?"

Raya tergugu.

Bukankah seharusnya Belva masih terikat alur novel ini? Kalau dipikir-pikir, mengingat kejadian Belva di rumah Kenzie dan kejadian lainnya, Belva tidak pernah bisa mengontrol perasaannya. Seolah Belva versi novel ini yang memang menjalankan peran.

Tapi, beberapa kali bertemu Raya, mengetahui keadaan yang sebenarnya, Belva sedikit berbeda. Setelah dipikir-pikir, Belva yang asli dan Belva versi novel ini memiliki karakter sedikit berbeda. Belva yang asli memang mencintai Kenzie. Tapi, ia tidak sebrutal karakter Belva dalam novel ini.

Kalau begitu ... mungkinkah Kenzie juga mulai menunjukkan dirinya yang asli? Sosok Kenzie yang bukan bagian dari plot cerita ini? Dan dia ... melindungi Belva sama seperti masa kecil mereka.

"Kenzie ... dia Kenzie yang dulu," gumam Raya, menelan ludah sekali, "Kenzie yang sama sekali gak terlibat dalam alur novel yang aku buat."

°°°
Antagonist

"Ada beberapa tokoh yang punya dua karakter. Satu karakter yang sebenernya dan satu karakter yang aku buat."

°°°

Bagi Kenzie Belva adalah cewek penganggu, cewek murahan yang tidak tahu malu mengejarnya padahal ia sudah menolak berkali-kali. Dan sialnya Belva adalah sahabat masa kecil Kenzie. Belva adalah tetangga Kenzie. Makanya Kenzie membenci cewek itu.

Tapi, hari ini Kenzie berlaku lain. Kenzie tidak paham, tapi ada yang marah ketika Belva diganggu cowok lain. Ada yang bergejolak ketika Belva dilukai oleh cowok bernama Jevias itu. Hari ini, entah bagaimana, Kenzie merasa ingin menghajar siapa pun yang menyakiti cewek di sampingnya ini.

Kenzie membawa Belva keluar gerbang sekolah. Mereka berhenti di tepi trotoar. Kenzie mengedarkan pandangan, tidak ada tanda-tanda mobil Dirga datang. Cowok itu kemudian menolehkan kepala pada Belva. Ia mengernyit mendapati cewek itu menatalnya menelisik tanpa pandangan kedip sekali pun.

"Kenapa?" Kenzie bertanya datar, tanpa sadar tangan masih saja memegangi pengelangan tangan Belva. Belva lantas mengangkat kedua tangan mereka. Menunjukkan pada Kenzie secara terang-terangan.

"Lo pegang tangan gue."

"Salah?"

"Lo bahkan gak mau deket-deket sama gue. Ini kenapa tiba-tiba pegang coba? Lo mau baperin gue sebagai balea dendam?! Lo mau main-main sama gue?!" Dua pertanyaan terakhir Belva menggunakan nada intimidasi dan penuh keketusan. Ia tidak mau dipermainkan atau diremehkan. Belva yang ini masih sadar diri.

"Lo gak suka gue pegang?" Kenzie menaikkan dua alisnya. Belva tidak menjawab, malah memberikan sorot tidak paham. Kenzie lantas menunduk, dan meniup wajah cewek itu hingga berkedip. "Jangan ngeliatin gue gitu. Gue tungguin lo sampe bokap lo datang. Jadi diem di sini."

"Ih, lo makin aneh, Ken!" Belva menarik tangannya. Kenzie bergeming. "Lagian kenapa sih tiba-tiba nyamperin? Gue gak mau geer! Makanya jangan bikin gue salah paham!"

"Lo udah gak suka sama gue?"

"Gue masih suka! Tapi ...," lo mau bunuh gue masa?

"Terus?" Kenzie kembali bertanya.

Menggelengkan kepala, Belva mengibaskan tangan berkali-kali. "Udah, lupain aja. Gue masih bingung gue mau maju atau mundur. Toh lo juga gak bakal kasih jalan, kan?"

"Gue kasih jalan."

Belva yang tadinya nyaris berputar, memalingkan wajah dari cowok di sebelahnya ini, kembali menoleh dan memberikan pandangan nanar. Kenzie masih menatap datar. Dia bersandar pada pohon di belakangnya. Menelengkan kepala, lalu tersenyum lembut.

"Kenzie ... milik Belva, kan?"

***

Tidak jauh di pintu gerbang, Anyara berdiri bergeming seraya menatap memicing pada dua orang yang berada di pinggir jalan raya. Kenzie dan Belva. Anyara tidak pernah melihat mereka sedekat itu. Bahkan sikap tenang Kenzis agak tampak berbeda dari biasanya. Anyara juga merasakan kejanggalan pada Belva. Cewek yang mengabaikannya dan membiarkan atmosfer sekolah tenang tanpa kericuhan yang biasa dia lakukan.

Anyara jadi sedikit gamang. Entah ada apa, tapi relung dalam dirinya mengatakan ada yang tidak sesuai dengan yang seharusnya. Mungkin karena Kenzie selalu ada bersamanya, menjadi sosok pelindung dan pahlawan untuk Anyara, kini malah dekat dengan cewek yang selalu menginginkan Anyara pergi dari kehidupan cowok itu, rasanya Anyara merasa tidak terima.

Ia menghela napas panjang. Anyara menundukkan kepala. Apa pantas ia merasa tersakiti begini? Padahal yang sebenarnya adalah tidak ada kepastian dalam hubungannya dan Kenzie. Cowok itu kerap beberapa kali memanggilnya sebagai kekasihnya. Tapi, Kenzie sekali pun tidak pernah menembak Anyara.

"Mereka cocok, kan?" Perkataan dari seseorang itu membuat Anyara menolehkan kepala. Jevias menghentikan motor di samping Anyara. Menarik kaca helmnya, tersenyum sambil menatap Kenzie dan Belva. "Mereka ... udah temenan dari kecil. Lo tahu itu?"

Anyara tahu itu.

"Sadar diri itu penting, lho." Jevias tersenyum pada cewek yang terpaku itu. Ia menepuk dua kali pucuk kepala Anyara. "Tapi, ... gue juga gak dukung mereka, sih."

Selepas mengatakan itu, Jevias menarik gas motornya dan melaju meninggalkan Anyara. Cewek itu terhenyak selama beberapa saat. Mencerna pelan-pelan perkataan Jevias. Ia bahkan tidak tahu mesti bereaksi apa.

"Ra, gak balik?"

Lamunan Anyara teralihkan. Ia menoleh, mendapati Naina berjalan mendekatinya. Cewek dengan rambut diikat kucir kuda itu memegangi dua tali tasnya. Ia kemudian melirik jam di tangannya. "Dah makin sore, nih. Bareng balik gue mau, gak?"

"Aku pulang sendiri aja. Kamu duluan aja gak apa-apa." Anyara tersenyum sampai matanya menyipit. Naina terdiam sambil menggembungkan pipi sejenak.

"Kenzie mana? Gak bareng dia?"

"Dia masih ada urusan. Makanya aku duluan." Masih saja mempertahankan sabitnya. Naina geleng-geleng kepala pada cewek ini. Anyara benar-benar cewek yang terlalu ramah.

"Ya, udah bareng gue aja. Bentar lagi abang gue dateng, nih. Tunggu di pinggur jalan aja. Yok!" Naina menyeret Anyara. Tapi, cewek itu menahan langkah kakinya, membuat Naina ikut berhenti dan memberi tatapan heran.

"Bentar, mau temenin aku ke kelas dulu, gak? Buku aku ketinggalan." Anyara berusaha tidak membiarkan Naina menyadari keberadaan Kenzie dan Belva. Bukan apa-apa. Anyara cuma tidak ingin Naina berpikiran macam-macam. Mengingat cewek ini keras kepala dan mudah terpancing emosi, Anyara tidak mau membuat Kenzie dalam masalah.

"Lah? Ketinggalan? Buruan, deh. Hayuk!" Naina balik menarik Anyara masuk dalam lingkungan sekolah.

Anyara menghela napas. Ia sempat melirik ke arah Kenzie. Cowok itu masih tidak menyadari eksistensinya. Yah, biarlah. Anyara hanya tidak mau Kenzie terkena masalah. Selama cowok itu baik-baik saja, Anyara juga tidak mau berharap lebih.

***

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang