Anyara meringis. Ia mengusap sudut bibirnya yang sedikit terluka. Rendi benar-benar gila. Setelah bertahun-tahun menghilang, meninggalkan banyak utang, kini ia seenak jidat merampas uang milik ibunya. Ayahnya– tidak. Bajingan itu benar-benar tidak tahu diri.
Kalau saja Anyara diam seperti dulu mungkin lukanya tidak akan separah ini. Pipi sempat bengkak, tapi kini sudah lebih baik. Hanya saja dagunya sedikit tergores kuku Rendi hingga berdarah. Makanya kini ia menutupinya dengan plester.
Tadinya Liana bahkan melarang Anyara untuk tidak sekolah dulu. Tapi, ia tidak mendengarkan. Anyara mengatakan semua baik-baik saja sebelum akhirnya berangkat dengan keras kepala. Yah, lagi pula Anyara masih harus mengurus Kenzie dan Belva.
Mereka tidak boleh sesenang itu setelah semua yang terjadi, kan?
Bagaimana bisa Anyara membiarkan Kenzie mencampakkannya dan pergi bersama sosok yang selalu membulinya?
Setidaknya ... mereka tidak boleh kelihatan sebahagia itu di saat Anyara terluka.
"Anyara, lo kenapa?"
Atensi cewek yang sejak tadi melamun dalam toilet itu terbuyar. Naina baru saja keluar dari bilik toilet. Berdiri bersebelahan dengan sang protagonis dan menyalakan keran air mencuci tangan. Anyara hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepala.
Tapi, Naina tidak percaya. Ia terus menelisik riak wajah sang sahabat dan menghela napas panjang pada akhirnya. "Lo sebenernya kenapa, sih? Lo ada masalah? Cerita sama gue, Ra. Dagu sama bibir lo itu. Gak mungkin gak sengaja, kan? Lo kelihatan lebih diem soalnya."
"Ini masalah pribadi, Na. Aku masih bisa atasin. Kamu gak perlu khawatir." Anyara melebarkan senyuman. Berusaha menampik raut wajahnya beberapa detik lalu.
Berdecak, berusaha mengerti, Naina membalas, "Ya, udah, senyaman lo aja. Yang penting lo mesti inget lo gak sendiri! Ada gue! Gue bakal pukul semua orang yang gangguin lo! Apalagi kalau itu Belva!"
Anyara tertawa geli. "Iya, iya. Makasih, Naina."
"Mau langsung ke kelas?" tanya Naina, menyingkirkan topik sebelumnya. Cewek di sampingnya menggelengkan kepala dua kali.
"Kamu duluan aja. Aku mau ke perpus pinjem buku dulu."
"Ya, udah kalau gitu gue duluan. Telepon gue kalau ada yang gangguin lo lagi." Naina menunjuk wajah Anyara dan memberikan sorot mengancam. Masalahnya cewek ini selalu menyembunyikan pembulian yang dia alami. Naina sampai sebal sendiri.
"Iya, Naina. Udah sana kamu duluan." Anyara mrmutar tubuh Naina dan mendorong pelan punggung itu menjauh darinya. Naina yang pasrah hanya mengikuti perkataan Anyara dan akhirnya menghilang dari balik pintu.
Sedangkan Anyara terdiam. Pandangannya berubah mendingin. Ia menoleh, menatap pantulan dirinya di cermin. Lalu tersenyum kecil.
°°°
Antagonist
"Apa aku harus biarin mereka ketawa setelah aku dicampakin gitu, aja?"
°°°
"Belva, lo kenapa sih sekarang gak mau buli orang lagi?" Fiara bertopang dagu sambil mengunyah makanannya. Mereka berada di kantin. Duduk berdua di bangku tengah-tengah kantin yang setengah ramai ini.
Tapi, Belva tidak menggubris. Ia cuma menyuap potongan besar bakso di mangkuknya dan mengunyahnya sampai pipinya menggembung. Tidak suka diabaikan, Fiara menusuk-nusuk pipi Belva gemas.
"Bel, dengerin gue gak, sih? Ayo buli orang. Lo kenapa sih sekarang jadi lembek kayak gini? Gak asik tahu, gak?"
Belva melirik lewat kelopak matanya tajam. Ia menjambak kecil rambut Fiara hingga si empunya mengaduh. "Kayak gini? Lo suka diginiin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Antagonist [END]
Teen FictionBelvania benar-benar terkejut ketika seorang cewek bernama Raya datang, memintanya untuk berhenti mencintai Kenzie atau ia akan mati. Awalnya Belva tidak mau mengindahkan sama sekali. Karena mau seburuk apapun perlakuan Kenzie padanya, Belva tidak b...