"Kenzie!"Dirga tiba di lorong rumah sakit dengan napas tidak beraturan. Mendengar Belva berada di rumah sakit, Belva yang diculik dan terkena pukul di bagian kepala, Dirga langsung melesat. Kini ia bisa melihat Kenzie duduk di depan ruang UGD dengan kondisi berantakan. Wajahnya agak pucat dan sorot matanya kentara layu.
Cowok yang balas memberikan pandangan hampa itu berusaha mengulas lengkungan lewat dua sudut bibirnya. Dirga mendekat sedang Kenzie berdiri menghadapnya. Ia melihat Kenzie dari ujung kaki hingga kepala. Lalu tergugu melihat jejak darah di pelipis cowok itu.
"Kamu gak apa-apa?" Dirga bertanya. Ia mengusap luka cowok itu, tapi Kenzie tidak bereaksi apa pun. Dirga menahan napas. Walau rasanya ia ingin menyalahkan Kenzie sebelumnya, namun mendapati kondisi anak ini juga menyedihkan, Dirga mengurungkan niatnya. Pikirannya tidak boleh sampai gelap. Dirga harus ingat sesayang apa Kenzie pada putrinya juga.
"Darah Belva ... banyak banget." Suara Kenzie bergetar. Dirga bisa lihat pupil cowok itu kelihatan gusar dan gelisah. Ia menepuk pundak Kenzie dan menyuruhnya duduk.
"Belva bakal baik-baik aja. Kamu gak perlu khawatir."
Padahal Dirga juga ketakutan.
Padahal suara Dirga juga bergetar.
Tapi, kalau bukan dia, kalau bukan Dirga yang mengatakan semua baik-baik saja, lantas siapa? Dirga telah kehilangan Ayna. Lalu jika sampai Belva juga pergi, maka hidup Dirga akan hancur. Dia tidak boleh berpikiran buruk. Ayna tidak akam mengambil Belva bersamanya. Tidak akan.
Karena Dirga selama ini menjaga Belva sebaik mungkin. Karena Dirga melimpahkan segalanya untuk Belva. Belva tidak mungkin meninggalkannya sendirian.
"Kenzie, dokter masih belum–"
Raya yang muncul dari arah koridor lain menghentikan langkah. Ia membeku. Matanya sedikit melebar menemukan Dirga duduk di sebelah Kenzie. Pria paruh baya itu menoleh padanya. Sesaat ada sorot ketekejutan dari dua manik yang sedikit berembun itu.
Raya menelan saliva kesulitan. Ia mencengker dress yang dipakainya. Ia ingin pergibdari tempat itu. Menjauhi Dirga. Tapi, Raya tidak bisa. Apalagi ... Dirga menatapnya dengan sorot nanar.
Dirga berdiri dan mendekat pada Raya. Tangannya nyaris meraih lengan cewek itu. Tapi, Raya berhasil menjauh. Dirga masih dengan riak keterkejutan di wajahnya. "Kamu ... kamu–"
"Saya temennya Belva." Raya mencicit. Menundukkan kepala sedalam mungkin, menumpuk air mata diam-diam di pelupuk. "Saya yang bantuin Kenzie bawa Belva ke rumah sakit."
Dirga tampak kesulitan bicara. Ia ingin menanyakan hal lain. Tapi, cewek ini terlihat ketakutan dan sungkan. "Ah, temennya Belva. Maaf, ya. Soalnya ... kamu mirip seseorang."
°°°
Antagonist"Cuma kamu sendiri yang bisa buat diri kamu lepas dari luka itu."
°°°
Esok paginya, Fiara kabur dari sekolah. Mendengar berita Belva yang tidak masuk dan masuk rumah sakit, ia langsung berlari dwngan tasnya meninggalkan pelajaran. Walau Fiara belum lama mengenal Belva, tapi baginya cewek berisik dan galak itu adalah satu-satunya sahabatnya.
Begitu melihat Kenzie masih duduk di ruang luar ruangan Belva sendirian, ia langsung menyerbukan pertanyaan. "Belva kenapa? Lo yang bikin dia luka, kan?! Lo kalau gak suka sama dia gak perlu sampe buat dia masuk RS! Dia emang cinlol sama lo! Tapi, lo jangan seenak jidat, Berengsek!"
Kenzie melirik dengan sorot dinginnya. Fiara sebenarnya merasa takut. Tapi, ia tetap berkacak pinggang di depan cowok itu dan berusaha mempertahankan riak wajah garangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Antagonist [END]
Teen FictionBelvania benar-benar terkejut ketika seorang cewek bernama Raya datang, memintanya untuk berhenti mencintai Kenzie atau ia akan mati. Awalnya Belva tidak mau mengindahkan sama sekali. Karena mau seburuk apapun perlakuan Kenzie padanya, Belva tidak b...