37. Tentang Raya

508 54 3
                                    


"Belva!" Fiara setengah berteriak kaget ketika dua maniknya bersua dengan tangan berdarah cewek itu. Berdiri tidak jauh dari gerbang, ia kemudian buru-buru berlari mendekat. Meraih tangan Belva yang memelototkan kedua bola mata. "Ih, Bel! Lo kenapa ini, Beb?!"

"Ck, jangan dipegang! Sakit!" Belva menarik lagi tangannya dari Fiara. Rasanya memang perih. Belva khawatir jahitannya terbuka dan mengharus lukanya dijahit lagi. Belva paling tidak tahan dengan luka berdarah begini.

Atensi Kenzie untuk beberala saat teralihkan pada Belva. Ia terdiam. Menatap perban di tangan Belva yang sudah tidak putih lagi hingga jatuh beberapa tetes darah. Jantung Kenzie berdetak kencang. Tapi, ia tidak paham. Ia harus melindungi Anyara dari Jevias saat ini. Belva ... tidak sepenting itu dalam hidupnya. Tapi, kenapa jantungnya berdegub cepat?

"Bel, ayo ke rumah sakit! Ayo, Belva!" Fiara panik. Kedua tangannya mengipas-ngipasi tangan kanan Belva. Tapi, perkataannya tidak didengar sedikit pun. Belva malah melengos pergi, berjalan menghampiri Kenzie dan berdiri di hadapannya. Fiara berdecak kesal.

Belva mengatupkan bibir rapat-rapat seraya mendongak demi bersirobok dengan pemilik manik gelap di depannya. Belva menunjukkan tangannya ke depan wajah Kenzie. "Tanggung jawab."

Anyara tertegun melihat itu. Ia segera melepaskan tangan Kenzie dan mendekat pada Belva. "Bel, tangan kamu biar aku oba–"

"Gue gak ngomong sama lo!" Belva berteriak. Anyara terhenyak. Melihat pupil Anyara yang sedikit lebih besar, Belva menghela napas, berusaha mengontrol emosi. Belva menatap Kenzie lagi. "Lo nyentak tangan gue tadi. Tanggung jawab."

Kenzie masih tidak bersuara. Ia hanya memandang Belva lekat-lekat seolah tidak mendengar apa pun yang cewek itu keluarkan dari bibir kecilnya.

"Kayaknya sahabat kecil lo udah gak terlalu peduli ya sama lo?" Jevias menyeringai. Belva meliriknya kesal.

"Sampah mending diem," desisnya. Jevias hanya mengendikkan bahu acuh tak acuh.

Dalam sekali sentak, Belva menarik dasi Kenzie dengan tangan kirinya hingga tubuh cowok itu condong ke arahnya. Kenzie terkejut. Tapi, ia tetap diam. Belva paham. Kenzie kali ini seperti berada di tengah-tengah antara Kenzie yang asli dan Kenzie sang karakter. Makanya dia seperti berusaha mencerna sesuatu yang sulit dia pahami.

"Denger, ya. Lo harus lepas dari karakter novel sialan ini. Bukan ini Kenzie gue yang kenal. Bukan ini Kenzie yang selalu jagain gue." Belva menekan seluruh kalimatnya, ia menelan saliva dengan susah payah. Meneruskan, "Kenzie milik Belva, lo inget? Sejak awal lo itu punya gue."

Kenzie masih diam dengan tatapan tertegun.

Belva kembali menghela karbon dioksida. Melepaskan dasi cowok itu hingga akhirnya Kenzie bisa menegakkan punggung. Belva merasa sudah cukup untuk hari ini. Ia harus segera mengurus lukanya dulu. Pikiran Belva harus tetap waras. Ia harus tetap hidup dan sehat supaya bisa menyelamatkan Kenzie.

Ia berbalik hendak meninggalkan Kenzie. Tapi, langkahnya terhenti. Lengannya dicekal, membuat kepala berputar 180 derajat ke belakang dan mendapati Kenzie menundukkan kepala. Menatapnya dari jatak dekat. Wajahnya kelihatan pias. Bibir terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu namun ia tidak bisa.

"Maaf," Kenzie bergumam. "Maafin gue karena gak bisa ngendaliin diri sendiri."

°°°

Antagonist

"Tadinya aku pikir kita sama. Tapi, ternyata enggak. Sama sekali enggak sedikit pun."

°°°

Raya mengerjap.

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Aroma obat-obatan menyeruak masuk dalam indra penciumannya. Raya kembali terlempar kembali keluar dari novelnya. Sampai saat ini bahkan ia tidak paham bagaimana caranya ia keluar dan masuk dalam novel. Padahal Raya lebih suka bersama Belva. Raya tidak suka kembali kemari. Ia ingin bersama Belva. Tapi, rasanya tidak mungkin.

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang