24. Bukan Dia yang Sebenarnya

878 54 0
                                    


Belva sudah pulang. Kenzie sendiri yang menunggui cewek itu hingga Dirga datang. Papa Belva bahkan agak sedikit heran. Entah untuk alasan apa, Dirga merasa Kenzie kali ini agak berbeda. Cowok itu terlalu menunjukkan perhatiannya pada putrinya. Meski begitu, Dirga tidak mau banyak curiga. Karena ia tahu, Kenzie adalah sahabat Belva. Cowok itu dan putrinya telah lama bersama.

Begitu Belva dan Dirga pulang, Kenzie kembali melangkahkan kaki ke area sekolah. Radit baru saja mengiriminya pesan. Cowok itu bilang Pak Joko sudah datang. Makanya Kenzie harus cepat-cepat ke lapangan.

Kini, ia berusaha mempercepat langkah. Kenzie yang masih membawa tasnya di gendongan, tanpa sadar memelankan langkah ketika matanya bersua dengan sosok di depannya. Anyara Kirani. Cewek yang membuatnya tergila-gila sejak kelas sepuluh. Biasanya Kenzie akan bersemangat.

Tapi, tidak tahu bagaimana, cowok itu kehilangan selera untuk sekadar menyapa Anyara. Sampai akhirnya, Kenzie melaluinya. Tanpa ragu sedikit pun. Hingga Anyara dibuat terpaku.

Kenzie ... mengabaikannya? Untuk pertama kalinya?

Anyara menghentikan langkah. Ia memutar kepala, menatap punggung Kenzie lama. Menunggu barangkali cowok itu akan menoleh, berbalik, dan menghampirinya. Tapi, Kenzie tidak begitu. Dia bahkan sudah menghilang di balik koridor lain tanpa sedikit pun melihat Anyara.

"Kok Kenzie ... pergi gitu aja?" Anyara bergumam pelan.

Ini aneh. Ini tidak seperti biasanya. Apa Kenzie marah padanya? Apa Anyara berbuat sesuatu yang salah? Padahal beberapa jam lalu, Kenzie dan Anyara masih baik-baik saja.

Kenapa begini?

°°°

Antagonist

"Lo Belva gue. Dan gue Kenzienya Belva."

°°°

"BELVAAAAAA!" Raya berteriak masuk dalam kamar Belva. Cewek yang duduk di tepi kasur, tengah melepas sepatunya, mengangkat pandangan lurus ke depan. Ia memandang sengit Raya. Cewek itu benar-benar seperti hantu. Dia bahkan bisa menembus sana-sini. Tapi, entah kenapa Raya malah bisa menyentuh Belva.

Cewek itu kelihatan kelimpungan. Ia berdiri tepat di hadapan Belva. Menatap dengan pandangan khawatir sambil mengibas-ngibaskan tangan. "Belva, Belva, Belva!"

"Apa, sih? Ngomong yang jelas, kek." Belva melempar kaus kakinya. Ia masih memakai seragam. Baru saja pulang beberapa saat lalu. Kedua tangannya ke belakang, menumpu di atas kasur.

Belva sedang tidak mau kesal. Perlakuan Kenzie yang berbeda saat pulang sekolah tadi, sedikit membuat Belva terenyuh. Walau berusaha tidak terbawa perasaan dan makin tergila-gila dengan cowok itu, tapi munafik jika Belva tidak suka dengan tindakan Kenzie. Seakan ... Kenzienya yang dulu kembali.

"Kamu diapain aja sama Kenzie? Dia ngapain kamu?!" Raya berlutut di depan Belva. Meraih dua tangan cewek itu, memberi sorot begitu cemas. Belva berkedip. Raya semakin aneh.

"Gue gak diapa-apain, kok. Lo kenapa, sih? Ada adegan lagi di novel?"

"Kamu diapain sama Kenzie tadi?" Raya memang tidak mengikuti Belva setelah kepergiannya bersama Kenzie. Ia malah tertarik mengikuti Jevias dan berusaha mengingat-ngingat semua alur novelnya.

"Dia cuma nemenin gue sampe Papa dateng." Belva mengingat-ingat. "Gak ada lagi, sih. Tapi, lo tahu? Perlakuan Kenzie ke gue agak beda dari biasanya. Kenzie tiba-tiba nyeret gue dari Jevias, nungguin gue sampe dijemput, bahkan bilang kalau dia punya gue. Gue ... sempet ngerasa de javu."

Pegangan tangan Raya melemah, ia terpekur selama beberapa saat. Kenzie benar-benar berubah. Raya tidak tahu apakah dugaannya salah atau benar. Tapi, yang jelas ada yang mulai tidak sinkron dalam novelnya ini.

Melihat Raya terdiam, Belva sedikit memukul tangan Raya. "Ray! Lo ngelamun?"

Tersentak, Raya kembali mencerap Belva intens. "Belva, aku ... bingung. Aku bener-bener bingung. Aku gak tahu harus gimana."

Cewek itu memerosotkan kedua bahunya, duduk dengan dua kaki tertekuk ke belakang. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya terkulai lemah. Raya semakin tidak tahu apa yang terjadi.

"Lo kenapa, sih, sebenernya? Lo jangan coba-coba nyembunyiin sesuatu dari gue, ya. Gue yang lagi dalam bahaya ini." Belva ikut duduk di lantai. Ia menarik rambut Raya yang menutupi sebagian wajah cewek itu. "Pasti ada hubungannya sama perlakuan Kenzie ke gue, kan?"

Raya mengangguk pelan.

"Ya, cerita dong. Gue gak tahu apa-apa tentang alur novel lo. Kalau lo–"

"Kenzie punya dua karakter." Raya menyela. Membuat Belva bungkam tertegun. Mengangkat kepala, menoleh pada cewek di sampingnya, Raya memberi pandangan sungguh-sungguh. "Kamu tahu, aku mulai sadar semenjak aku kasih tahu ke kamu kalau ini adalah dunia novel, kamu pelan-pelan bisa lepas dari karakter kamu yang dulu. Karakter yang aku buat. Belva yang cinta mati sama Kenzie, sekarang kamu udah lebih jernih dan bukan kayak sebelumnya lagi. Walau butuh waktu, tapi kamu pelan-pelan bisa ambil alih diri kamu sendiri."

"Hah?" Belva berkedip. "Gue masih cinta sama Kenzie!"

"Iya, kamu masih cinta. Tapi, kamu gak seagresif dulu. Aku yakin kamu bakal bener-bener bisa lepas dari karakter yang aku buat. Dan ... mungkin Kenzie juga bisa."

Belva menegang. Ia meraih satu bahu Raya, berkata, "Kenzie yang dulu maksud lo? Kenzie gue yang dulu? Kenzie bisa lepas dari karakter yang lo buat andai dia tahu kalau ini dunia novel? Iya?!"

"Mungkin," Raya tersenyum, "Tapi, aku gak terlalu yakin untuk tokoh lain. Soalnya ... aku juga gak mau terlalu peduli sama mereka."

"Kalau gitu, gue bakal buat Kenzie lepas dari karakter novel dia." Belva berkata menggebu-gebu. Raya masih diam, menahan gusar dan gelisah. "Lo bakal bantu gue, kan? Ini juga termaksud nyelamatin gue juga, kan? Kalau Kenzie bisa balik lagi ke dia yang dulu, Kenzie yang suka gue, dia gak bakal mungkin bunuh gue, kan?"

"Bel–"

"Fine! Gue bakal ke rumahnya!" Belva langsung berdiri bersemangat. Tapi, nyari berlari keluar kamar, Raya segera mengejar dan menahan langkah cewek itu.

"Bel!" Raya menarik tangan Belva hingga si empunya berbalik 180 derajat. Cekalan tangan Raya mengerat, Belva terdiam sesaat. "Jangan gegabah. Aku juga masih belum tahu pasti. Aku gak mau sampe salah ambil langkah."

"Maksud lo?"

"Yang mau aku selamatin itu kamu. Apa pun caranya. Aku gak peduli sama tokoh lain. Tapi, kalau cuma ngehindarin Kenzie aja udah cukup, ya udah. Aku gak mau kalau seandainya buat Kenzie lepas dadi karakrer novel ini malah bikin sesuatu yang gak terduga terjadi."

"Ya, terus lo mau gue apa?!" Belva menyentak tangan Raya. Ia menatap tajam. "Ada kesempatan gue bisa selamat dan Kenzie bisa lepas dari novel sialan lo! Kenapa lo takut sama hal-hal yang bahkan belum tentu kejadian?!"

"Kamu tuh jangan nekatan, Belva! Aku gak mau kamu kenapa-kenapa!"

"Terserah. Yang penting gue mau Kenzie gue yang dulu. Kenzie punya kehidupan yang asli dan itu bukan sama Anyara."

Selepas mengatakan itu, Belva melengos pergi keluar kamar. Ia membanting pintu dengam keras. Meninggalkan Raya sendirian dengan perasaan tidak karuan. Raya menghela napas berat. Ia berjongkok. Menelungkupkan wajah di atas lipatan tangan.

***

Yang bingung monggo merapat. Ceritanya terlalu muluk-mulukkah?

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang