35. Raya dan Mama Belva

471 46 4
                                    


"Belva, astaga kamu dari mana aja?!" Dirga sudah berdiri di teras rumah, mengenakan pakaian casual dengan sandal jepit saja. Pria paruh baya itu menghela napas lega mendapati Belva pulang bersama Kenzie.

Tapi, berbeda, Belva memasang air muka agak tegang. Ia diam-diam menyembunyikan lukanya di balik tubuh ketika papanya mendekat ke arahnya. "Papa, Belva–"

"Papa gak mau denger alasan apa pun! Diem-diem keluar rumah, gak beritahu Papa sedikit pun, apalagi malem-malem. Kamu mau bikin Papa mati dadakan, hah?!"

Belva melotot horor. "Papa ih ngawurnya kalau ngomong!"

"Berani ngejawab?!" Dirga memelototi marah. Memilih diam, Belva menundukkan kepala menghindari tatapan elang sang papa.

Beralih menoleh pada Kenzie, Dirga mengernyitkan dahi mendapati luka di sudut bibir cowok itu. "Kamu kenapa bisa luka gitu, Kenzie?"

Kenzie terdiam sejenak. "Ah, ini ada tikus kotor gangguin Kenzie, Om. Makanya Belva khawatir dan malah nyusulin Kenzie." Dia menjawab seraya mengerlingkan manik pada Belva. Senyum kecilnya terukir penuh makna, tapi Belva tidak paham. Cewek itu hanya mengernyit dan geleng-geleng saja.

"Astaga kalian ini. Kenapa harus malem-malem sih?" Dirga memijat kening. Ini sudah nyaris pukul satu dan mereka malah entah dari mana. Dirga tidak tahu kenapa Belva jadi sebandel ini. "Ya, udah. Kenzie kamu pulang. Om gak mau kamu keluar malem-malem lagi apalagi sampe nyeret-nyeret Belva. Om bisa hajar kamu tanpa segan-segan. Paham?"

Mengangguk, Kenzie tersenyum bersalah. "Kenzie paham."

"Belva ayo masu–"

"Aw!" Belva terpekik tanpa sadar ketika Dirga menarik tangan kanan cewek itu. Pria paruh baya itu tertegun. Ia langaung menarik lengan cewek itu secara paksa hingga melihat perban membungkus telapak tangannya. Belva mendesah pasrah.

"Kenapa tangan kamu, Belva?!" Dirga memelototi putri semata wayangnya. Seumur hidup Belva belum pernah diperban sampai setebal ini. Karena Dirga begitu hati-hati menjaga Belva, Dirga tidak membiarkan putri kesayangannya tergores sedikit pun. Tapi, luka ini terlalu besar.

"Pa, Belva jatuh." Belva tidak mungkin memberitahu yang sebenarnya. Dirga akan semakin marah dan khawatir. Apalagi ini semua karena ia menyelamatkan Kenzie. "Belva jatuh Pa, tangan Belva kegores kaca. Gak tahu itu kaca dari mana."

Cewek itu melirik ke arah Kenzie yang membeku mendengar perkataannya. Ia mengedipkan sebelah mata, berharap Kenzie mau bekerja sama. Belva meneruskan, "Kenzie tadi udah bawa Belva ke klinik 24 jam, makanya langsung dapet penanganan. Ya, kan, Kenzie?"

"Om, Kenzie–" Tidak bisa. Kenzie tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Haruskah ia jujur dan membuat Dirga marah padanya? Dirga pasti akan melarang Kenzie mendekati Belva andai tahu sebenarnya. Tapi, menyembunyikan yang sebenarnya hanya akan membuat Kenzie dikungkung perasaan bersalah.

"Belva kamu ini bisa gak sih gak bikin Papa khawatir? Ini sampe diperban tebel gini, emang separah apa, hm?" Dirga mengabaikan Kenzie, terlalu cemas dengan keadaan sang putri.

Belva nyengir. "Tiga jahitan."

Dirga memegangi dadanya lebay. "Ti–tiga?"

"Papa udah, deh. Belva gak apa-apa, masih hidup. Bentar lagi sembuh, kok." Belva menggoyang-goyangkan lengan papanya dengan tangan kirinya. Papanya memang agak berlebihan jika menyangkut tentang Belva.

"Besok kita cek lagi, ya, ke rumah sakit? Biar Papa sendiri yang anter–"

"Papaaa!" Belva merengek. "Belva udah gak apa-apa. Kenzie udah nganterin Belva juga tadi."

Menghela napas panjang, Dirga mengusap rambut Belva yang dicepol berantakan. "Kamu ini. Kenzie, makasih ya kamu udah jagain Belva. Om bener-bener bersyukur kamu selalu ada buat anak bandel ini." Dirga tersenyum tulus.

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang