11. Infinity Love

715 54 2
                                    

RAYA berdiri terpaku di antara siswa-siswi yang berlalu untuk pulang. Rambutnya sepanjang punggung tergerai ke belakang diterpa angin sepoi. Ia menatap lurus pemandangan di depannya. Menatap Belva yang terus diteriaki Kenzie namun tak gentar sedikit pun dengan sorot nanar.

Kenzie bahkan sampai menubruk Belva hingga mundur beberapa langkah. Cowok itu meninggalkan Belva tanpa perasaan. Sedangkan Belva cuma terdiam, mengepalkan tangan erat-erat, menatap terluka.

Raya menatap pedih. Kisah cinta Belva yang bertepuk sebelah tangan. Raya memang membuatnya setragis mungkin. Kematian Belva demi Kenzie, apa pun cewek itu lakukan demi Kenzie.

Raya telah menciptakan karakter yang begitu cacat. Raya menghancurkan hidup seseorang dalam ceritanya sendiri.

"Belva, apa pun caranya aku bakal nyelamatin kamu." Raya bertekad. Belva bagaimanapun juga harus hidup.

°°°
Antagonist

"Belva harus hidup. Dia segalanya buat aku."

°°°

Belva keluar dari kamar mandi dengan handuk membungkus rambutnya. Dia memakai jubah mandi, berjalan menuju meja rias dan duduk di kursi tanpa penyandar. Begitu meluruskan pandangan ke cermin, Belva nyaris terjungkal mendapati pantulan Raya di duduk di atas kasur.

"Astaga!"

Belva menengok ke belakang. Raya nyengir tidak berdosa dan melambaikan tangan sekali. Dia berkata, "Hai."

"Lo! Ngapain lo di kamar gue?! Lo masuk dari mana, Setan?!" Belva berdiri hingga kursinya berderit. Ia memelototi Raya yang masih duduk anteng, mengayunkan kaki-kakinya seperti anak kecil.

"Belva, jangan teriak-teriak. Entar papa kamu panik terus ke sini." Raya berkata dengan lugunya. Belva berdengkus. Ia masih tidak percaya. Dari mana setan ini masuk? Kenapa dia bisa di sini?

"Mending lo pergi sebelum gue tendang." Belva mengancam keras. Tapi, Raya sepertinya tidak mengindahkan. Dia hanya menggelengkan kepala dua kali. Membuat Belva makin memelototkan mata sebal.

"Enggak. Mulai sekarang aku bakal ada di sekitar kamu. Jadi, kamu juga harus hati-hati kalau ngobrol sama aku. Karena cuma kamu yang bisa liat aku."

"Sorry to say tapi gue gak mau ngeliat muka lo. Jadi mending lo enyah sekarang!"

"Belva, aku gak bisa pergi. Tujuan aku masuk ke novel ini buat nyelamatin kamu."

"Jangan ngelantur deh lo. Nyelamatin gue? Gue bahkan bisa patahin leher lo, paham?" Belva menarik kasar handuk di kepalanya, membuat rambutnya yang belum kering terurai berantakan. Ia berbalik dan kembali dudul di kursi rias. "Mending lo enyah sebelum gue yang bertindak."

"Bel, kamu masih belum percaya kalau aku penulis kamu?"

Belva membanting sisir. Ia menatap Raya lewat pantulan cermin. "Novel apaan, sih, maksud lo? Lo gila jangan ngajak-ngajak."

"Aku gak gila. Aku penulis." Raya beranjak dari duduknya, mendekat pada Belva, ia berdiri di samping cewek yang menyisir rambutnya itu. "Belva, dengerin aku, ya. Kamu harus percaya walau ini kedengar gak masuk akal. Aku penulis cerita dan kamu dan temen-temen kamu itu tokoh yang aku buat. Anyara, Kenzie, kamu, dan yang lainnya."

Belva menghela napas. Menoleh, menatap jengah, ia kemudian berkata, "Terus?"

"Kamu gak boleh ngejar-ngejar Kenzie lagi."

"Lo mau mati, ya?" tanya Belva dingin.

Raya buru-buru menggeleng. "Enggak! Aku kan maunya nyelamatin kamu."

"Nyelamatin gue dari apa?" desak Belva. Raya terdiam, membeku, seolah tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Dia bahkan tidak berani lagi berkontak mata dengam Belva. Mendengkus, Belva melanjutkan, "Kelihatan banget lo cewek bego."

Raya masih diam. Mengepalkan tangan. Ia menelan ludah berkali-kali. "Iya, aku emang bego. Siapa sangka cerita yang aku buat malah buat aku kelemparb ke dalamnya."

"Ck, please. Ngomong tuh yang je–" Belva menghentikan perkataannya ketika memutar kepala dan mendapati Raya dengan raut berbeda. Jauh berbeda dengan beberapa menit yang lalu. Belva ikut membungkam bibirnya.

Raya meluruskan mata pada Belva dan tersenyum pedih. "Boleh aku peluk kamu?"

"Emang bisa nyentuh?"

Raya mengangguk seperti anak kecil. "Kemaren enggak, tapi sekarang bisa. Cuma sama kamu aja, sih."

Belva memberi pandangan rendah. Tapi, cewek setan di sampingnya ingin membesarkan pupil dengan menatap dengan binar harapan. Menghela napas, tidak mau membuat masalah panjang lebar, Belva mengangguk membolehkan. Membuat Raya tersenyum girang dan langsung meraih kepala Belva dan memeluknya.

"Belva, kamu harus nurut sama aku. Ini semua demi kamu. Demi keselamatan kamu."

Tidak ada jawaban.

Tapi, entah kenapa Belva bisa merasakan perasaan tulus dalam kalimat Raya. Belva bisa merasakan kehangatan yang familier dari pelukan cewek ini.

***

"Kamu itu tokoh antagonis dalam novel yang aku tulis."

Belva berjalan menuju kelasnya. Rambutnya tergerai panjang sepungung. Ia menatap lurus ke depan. Beberapa siswa lain yang berpapasan sedikit menjaga jarak. Belva sesekali dilirik dan digunjingi diam-diam. Meski begitu Belva tidak peduli. Lagipula selama mereka tidak terlibat dengan Kenzie, Belva benar-benar tidak akan peduli.

Ia hanya diam berjalan sambil mengingat-ingat perkataan Raya semalam. Saat mereka di kamar berdua, Belva mendengar semua penjelasan dari setan itu. Walau Belva sama sekali tidak percaya, tapi Raya kelihatan serius sekali menceritakan novelnya dengan nama yang sama dengannya dan Kenzie juga yang lain.

Tapi, Belva benci sekali saat Raya mengatakan bahwa pemain utama dalam novel yang dibuat adalah Kenzie dan Anyara.

"Judul novel yang aku buat itu Infinity Love. Pemain utamanya Anyara Karani sama Kenzie Gebra Allenson."

"Terus maksud lo mereka pemain utama? Gue?" Belva sensi.

"Ya, mereka bakal hidup bersama. Kamu bakal mati."

"Berengsek!" Sampai di kelas Belva membanting tas sebal. Perkataan Raya benar-brnar menyebalkan. Bagaimana bisa dia membuat cerita di mana Kenzie dan Anyara pemain utaman sedangkan dirinya cuma antagonis yang akan mati? Raya mencari mati dengan Belva.

"Lo kenapa, sih, Bel? Dateng-dateng langsung sensi. PMS?" Fiara duduk di samping Belva, bertopang dagu, menatap dengan alis terngkat. Belva mendesah panjang dan terdengar lelah. Ia menjatuhkan diri duduk di bangkunya.

"Gue gedek banget sama setan begundal itu. Emang minta mati sama gue!"

"Setan? Maksud lo siapa?"

Belva menoleh. Ah, Fiara tidak tahu. Mengingat kejadian di mana Raya memang tidak bisa dilihat orang-orang waktu itu, sepertinya akan percuma jika Belva menceritakan tentang Raya pada Fiara. Belva mungkin malah akan dianggap gila oleh temannya ini.

"Enggak. Cuma cewek-cewek yang ngejar-ngejar Kenzie mulu. Mereka itu sampah tahu, gak?! Orang Kenzie punya gue juga."

Fiara menatap jengah. "Lo juga ngejar-ngejar Kenzie, kan? Lo juga sampah berarti."

"Lo! Setan begundal!" Belva memaki kesal. Fiara sudah cukup terbiasa mendengarnya. Ia hanya mengembuskan napas panjang.

"Bel, udah sarapan belum? Makan yuk."

"Enggak. Gue mau nyamperin Kenzie dulu."

"Lah? Kenzie lagi. Gak capek apa?"

"Berisik. Bye!" Belva mengibaskan rambutnya ke arah Fiara sebelum akhirnya berdiri dan keluar dari kelas dengan riang. Fiara berdecak sebal. Tapi untung dia sabar.

"Temen setan emang gitu," gumamnya.

***

Tinggalkan jejak.

Makasih buat yang udah baca.

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang