27.

34 9 4
                                    

Kehampaan merasuki jiwa Ezra. Sudah satu jam ia termenung di dalam bajan mandi yang airnya mulai dingin. Semula ia berpikir jika air hangat yang memeluk tubuhnya akan terasa sama seperti kehangatan yang diberikan oleh orang-orang hengkang dari hidupnya. Tapi ia salah, kehangatan dalam bajan mandi hanya bersifat sementara.

Setelah beberapa hari mengurus surat-surat untuk mengundurkan diri dari universitas, Widuri dan Rubiyah hari ini pulang ke Indonesia. Ezra mengantarkan anak dan mantan istrinya ke bandara. Pria itu hanya mampu bicara dengan Rubiyah untuk membahas anak mereka. Widuri sama sekali tidak memberikan kesempatan sang ayah untuk mengobrol dengannya. Bahkan saat mereka berpisah, Widuri terlihat enggan mencium tangan sang ayah. Ketika Ezra hendak memeluknya, ia melengos dan segera berjalan memasuki gerbang keberangkatan internasional. Tak ada perpisahan yang manis di antara mereka.

Ezra menampung air dengan telapak tangan dan menyiramkan bergantian ke bahu, lalu menggosok dengan keras bagian atas tubuhnya. Ezra ingin menghilangkan kejahatan dalam dirinya, tak peduli kalau itu harus membuat kulitnya terkelupas.

“Apa yang kau lakukan?”

Ezra mengangkat wajahnya. Sosok Kenny sudah berada di dalam bajan mandi bersamanya. Pria itu duduk  bersandar di ujung bajan mandi yang lain. Di sanalah pertama kali Ezra melihat bekas self harm di dada Kenny. Luka goresan benda tajam yang tampaknya sudah cukup lama berada di sana.

“Mandi air hangat tidak akan menghilangkan rasa bersalahmu.”

“Kau tidak nyata,” ujar Ezra.

“Benarkah?” tanya Kenny dengan wajah kecewa. “Apakah ini terlihat nyata untukmu?”

Wajah perlahan berubah menjadi sangat mengerikan. Penuh luka, darah, dan posisi duduknya tak lagi tegak karena beberapa tulangnya yang mendadak patah. Darah bercampur dengan air dalam bajan mandi. Sosok itulah wujud Kenny setelah melompat dari lantai empat apartemen dan menghantam paver beton. Ezra yang panik segera keluar dari bajan mandi, berlari menuju ruang tengah dengan kondisi basah kuyup.

Dari ruang tengah Ezra menatap ke arah kamar mandi. Jantungnya berdetak begitu kencang. Ia menunggu cukup lama untuk memastikan jika makhluk itu tidak mengikutinya. Kemudian ia teringat kalau semua itu tidak nyata.

“Sialan!” umpatnya kasar.

Tiba-tiba terdengar seseorang di luar menekan bel pintunya. Ezra segera mengintip dari lubang pintu untuk memastikan siapa yang menekan bel. Tak terlihat siapa-siapa di sana. Ketika bel pintu terdengar untuk kedua kali, dengan hati-hati, Ezra membuka sedikit pintunya.

“Syukurlah,” desahnya begitu lega saat melihat di balik pintu hanya ada Widi. Raut wajah Widi yang terlihat jijik membuat Ezra bertanya, “Kamu kenapa?”

“Kamu yang kenapa. Apa enggak bisa pakai baju dulu?” Widi menatap Ezra dari atas ke bawah dengan tatapan tidak percaya. Ia gunakan satu tangannya untuk menutupi wajahnya.

“Oh!” Ezra baru sadar kalau dia belum pakai baju. Pipinya merona merah. “Kamu mau masuk?”

“Aku enggak mau masuk kalau kamu bugil begitu. Aku tunggu di sini saja. Cepat pakai bajumu!” geram Widi. Pintu apartemen Ezra tertutup di depan wajahnya. “Dasar ceroboh!”

Meskipun Ezra sudah mengenakan sebuah kemeja putih dan celana pendek hijau muda yang sama-sama berbahan linen, Widi tetap tak bisa melupakan tubuh telanjang pria itu. Ezra mengamati Widi yang gelisah sambil tersenyum tipis.

“Aku pikir kamu enggak akan datang ke sini lagi,” ujar Ezra.

“Aku hanya mengecek saja. Kau dan Heinrich pernah punya hubungan spesial dengan Kenny. Saat ini mental Heinrich terlihat tidak baik-baik saja. Aku pikir kau juga akan seperti itu.”

“Ya. Aku sedikit berhalusinasi.”

“Aku bawakan kroket kentang.” Widi menunjuk kotak makan di atas meja.

“Terima kasih. Apa hanya alasan aku akan mengalami gangguan mental yang membawamu ke sini?”

“Ada lagi. Sarah bilang Widuri berhenti kuliah. Dia dapat berita dari Kolya.”

“Ya. Mereka pulang ke Indonesia pagi-pagi sekali.” Ezra tampak tak nyaman dengan topik ini. “Aku sedang tak ingin mengingatnya. Apa kau sibuk?”

“Aku sibuk. Aku sedang menyiapkan perjalanan ke Semarang bersama Heinrich.”

“Ke rumah Kenny?” tanya Ezra sambil menarik kotak makan dari Widi. Ada sepuluh buah kroket kentang yang masih hangat di sana.

“Ya.”

“Bapaknya Kenny sudah enggak ada. Kakek neneknya juga. Paling ada tantenya. Tante Atik. Kalau tujuan kalian untuk bertemu ibunya Kenny, urungkan saja niat itu, kowe bakal diseneni,” kata pria itu yang sedang mencari sesuatu dalam kotak makan itu.

“Kalau bertemu keluarga Kenny yang lain juga bakal diseneni, Zra.”

“Ya, sih. Wong Kenny jeruk makan jeruk.” Ezra tersenyum geli. “Enggak ada cabainya, toh?”

Widi langsung memasang wajah kesal. “Cabai mahal, Zra!”

“Oh, ya.” Ezra menikmati sepotong kroket kentang buatan Widi. “Enak. Masakan kamu enggak pernah gagal. Apa rahasianya?”

“Tangan senam lima jari tiap malam,” sahut Widi super asal.

Gombal mukiyo!” Ezra tertawa keras.

“Ya masa kamu percaya itu? Praktik masak bertahun-tahun ini, lho!” Widi mulai ketus. “Eh, kalau aku enggak sibuk, memangnya kenapa?”

Clubbing.”

“Enggak, ah. Terima kasih,” tolak Widi dengan halus. Ponsel di saku Widi berbunyi. Sebuah pesan dari Heinrich masuk ke sana. “Aku harus pergi.”

“Ya. Terima kasih atas kroketnya.”

“Sama-sama.”

*

Saat Ezra menghabiskan banyak waktunya di klub malam, Heinrich dan Widi pergi ke Semarang. Sejak pesawat take off, Heinrich memutuskan untuk tidur. Saat bangun, pria itu juga tak banyak bicara. Sebenarnya Widi kurang nyaman dengan kondisi seperti ini, tapi ia berpikir positif kalau Heinrich begitu karena gugup akan bertemu keluarga Kenny.

Heinrich makan dengan lahap ketika mereka transit di Tiongkok. Widi meneguk tehnya dengan anggun sambil memperhatikan Heinrich yang bolak-balik mengambil makanan di ruang tunggu khusus penumpang kelas satu.

Ya. Kelas satu. Widi kaget saat tahu akan duduk di kelas satu. Itu terlalu mewah baginya. Biasanya Widi selalu membeli tiket kelas bisnis untuk penerbangan di atas sepuluh jam. Apalagi jika ia pergi bersama Jon. Jon tak terlalu suka duduk di kelas ekonomi untuk waktu yang lama. Alasannya adalah ruang di kelas ekonomi terlalu sempit untuk tubuh bongsor Jon. Lebih baik membeli tiket kelas bisnis atau kelas satu daripada harus tersiksa sepanjang perjalanan dan sakit seluruh badan setelahnya.

“i can’t squeez myself into economy class seats. Sempit sekali!” keluh Jon.

Melihat Widi yang senyum-senyum sendiri membuat Heinrich heran. “Kamu kenapa?”

“Aku ingat pada Jon. Kami melakukan perjalanan udara terakhir saat pergi ke Yunani.”

“Ya. Aku ingat. Dia mengunggah foto langit Yunani yang biru dan menulis ucapan bersyukur karena pilot tak menjatuhkan pesawat.”

Widi tersenyum geli. “Penerbangan terakhir malah tidak nyaman untuknya.”

“Kok bisa?” Heinrich menusuk berbagai sayuran dengan garpu.

“Aku hanya mampu membeli tiket kelas bisnis untuk pulang pergi. As a tall guy, dia harusnya duduk di tempat yang lebih nyaman seperti di kelas satu. Dia juga biasanya memesan tiket kelas satu.”

Heinrich menggelengkan kepala. “Kelas bisnis cukup bagus untuk pria tinggi. Ruang kaki lebih leluasa. Jangan merasa tak enak hati. Jon tidak mengeluh, kan?”

“Tidak, sih.” Widi cemberut. “Dia senang sekali. Andai saja aku kaya seperti Nando. Aku bisa ke mana-mana naik jet pribadi. Jon pasti akan sangat nyaman di udara.” Widi duduk menopang dagu. Tiba-tiba Heinrich menyodorkan sepotong roti kecil ke depan mulut Widi. Ia seperti akan menyuapi pria itu. “Apaan ini?”

“Daripada kau memprotes masa lalu, kemudian berandai-andai yang tidak jelas, lebih baik kau makan. Ya, kan?” tanya Heinrich. “Jon sudah bahagia bisa berwisata denganmu. Jangan mengotori kenangan indah kalian dengan penyesalan atas hal yang tidak perlu disesalkan. Buka mulutmu.”

Pria mungil itu membuka mulut dan disuapi oleh Heinrich. Perasaan Widi tiba-tiba menghangat. Rona merah di pipinya terpancar. Ia mengunyah dengan hati-hati sambil menatap Heinrich yang tersenyum.

“Enak, kan? This is the pain i like the most. Pain au Chocolat,” canda Heinrich sambil menyobek roti cokelat dan menyuapi Widi lagi.

Pain au Chocolat berarti roti cokelat, walaupun bentuknya seperti kue puff. Adonannya sama seperti croissant dan diisi dengan cokelat. Paling enak dimakan saat hangat karena tekstur luarnya yang masih garing. Rasanya manis. Lebih manis lagi saat dimakan ketika hatimu berbunga-bunga.

Perjalanan panjang mereka berakhir di Bandara Soekarno-Hatta. Sesuai rencana, setelah ini mereka akan naik kereta listrik dari Stasiun Gambir menuju Stasiun Semarang Tawang. Widi yang memesan tiket melalui daring berniat untuk check-in. Namun, wajahnya langsung pucat pasi setelah menatap ponselnya.

“Kenapa?” tanya Heinrich.

“Aku salah pilih tanggal,” jawab Widi. Ketika melihat raut kebingungan di wajah Heinrich, Widi menambahkan, “Ini tiket untuk besok malam.”

Wajah Heinrich mendadak masam, Widi tersenyum seadanya. Ia terus meminta maaf pada Heinrich.

“Maaf, ya. Maaf. Aduh, jadi enggak enak.” Widi menyatukan kedua telapak tangan di depan wajah dengan sedikit membungkuk. “Maafkan aku.”

“Ya sudah.” Heinrich mendesah begitu pasrah. “Carilah penginapan. Kita butuh tempat untuk istirahat dan membersihkan diri.”

“Baik. Sebagai bentuk permintaan maafku, aku yang akan bayar.”

“Oke. Ayo, kita cari makanan sambil menunggu kau memesan hotel.”

*

Tubuh Heinrich mendarat di atas salah satu ranjang single di kamar pesanan Widi. Tanpa melepas sepatunya, ia tengkurap selama beberapa menit tanpa bergerak. Widi bahkan mengiranya sudah mati. Tiba-tiba saja Heinrich membalikkan tubuhnya dan langsung duduk tegak.

“Aku tertidur,” katanya.

“Cepat sekali, ya,” sahut Widi sambil mengecek kondisi kamar. Setelah menyatakan semua dalam kondisi baik, Widi membuka kopernya untuk mengeluarkan peralatan mandi. Ketika kembali menatap Heinrich, pria mungil itu terkejut karena Heinrich sudah tidur lagi. “Yeh ....”

Widi segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Di bawah rintik air membasuh seluruh tubuhnya. Pikirannya terbayang sikap manis Heinrich saat mereka di Tiongkok. Seketika senyumnya mengembang.

Heinrich terbangun saat matahari sudah terbenam. Jendela kamar yang belum ditutup menampilkan kelap-kelip lampu kota Jakarta di malam hari. Pria itu terdiam, hingga aroma yang menyenangkan menyapa indra penciumannya. Aroma perempuan yang cantik.

Widi keluar kamar mandi sambil mengelap rambut, satu setel piama warna biru muda sudah melekat di tubuhnya. Ia terkejut ketika melihat Heinrich menatapnya dengan tatapan yang aneh.

“K-kamu kenapa?”

“Aku kira kamu membawa seorang perempuan ke kamar ini. Ternyata hanya harum tubuhmu selepas mandi.”

Pria mungil itu tersenyum geli. “Ya, aku wangi begini karena memakai sampo untuk perempuan. Formulanya yang lembut membuat rambutku tidak kaku.”

Ketika Heinrich mendekatinya, Widi langsung merasa gugup. Widi takut Heinrich melakukan sesuatu padanya. Sesuatu yang seksi. Darah Widi mulai berdesir cepat. Imajinasi liar itu langsung sirna saat Heinrich melewatinya untuk mengambil koper yang tergeletak di samping pintu.

“Aku mandi dulu,” pamit Heinrich sambil membawa perlengkapan mandi.

Widi terlihat lega. Namun, ia heran, kenapa ia malah merasa kecewa? Rasanya seperti kehilangan kesempatan emas.

Mungkin aku sedang birahi saja. Aduh, jadi berpikiran yang tidak-tidak, nih. – Widi

*

Sore itu sebuah kereta telah meninggalkan stasiun Gambir menuju stasiun Semarang Tawang. Menurut jadwal yang tertera, kereta ini akan sampai di Semarang pada tengah malam. Heinrich menatap keluar jendela tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Melihat kondisi Heinrich yang masih sering sedih atas kehilangan Kenny, Widi mulai mempertanyakan apakah Jon juga akan sangat merana jika ditinggal mati olehnya?

Widi telah meminta tolong pada seorang prami dalam kereta untuk dibangunkan satu jam sebelum kereta sampai di Semarang. Setelah itu ia memakai masker agar wajahnya tidak dingin, lalu menyumpal telinga dengan sepasang headset tanpa kabel, menikmati lagu favorit sampai akhirnya tertidur.

“Ternyata sudah tidur,” ujar Heinrich saat melihat Widi. Ia bangkit dari duduknya untuk pergi ke toilet.

Tak lama ia kembali lagi ke gerbongnya. Banyak penumpang yang telah tertidur. Mereka berselimut. Ketika melihat Widi tak memakai selimut, pria itu mencarikan selimut jatah kursi yang Widi duduki. Saat menemukannya, ia segera memasangkan selimut ke tubuh Widi sebelum kembali duduk.

Selamat tidur, Pria Kecil. – Heinrich

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Seorang prami membangunkan Widi dari tidurnya. Widi mengucapkan terima kasih sambil mengusap wajah dengan tangan kiri, karena tangan kanannya yang ditutupi selimut sedang digenggam oleh Heinrich.

Sebenarnya ia tak tega untuk membangunkan si Pirang. Namun, bangun tidur itu akan makan banyak waktu untuk mengumpulkan kesadaran. Akhirnya Widi membangunkan Heinrich dengan menepuk pelan tangan pria itu yang di dalam selimut.

“Heinrich, bangun. Sebentar lagi sampai.”

“Benarkah?” tanya Heinrich. “Di mana tangan kiriku?”

“Kau taruh di bawah selimut. Kau menggenggam tanganku selama tidur.”

Heinrich langsung menarik tangannya. Walaupun kesadaran belum pulih sempurna, ia segera berjalan menyusuri lorong untuk ke toilet dan membeli minum di gerbong makanan. Widi melipat kembali selimutnya.

“Aneh sekali.”

Kereta tiba di Semarang sesuai dengan jadwal. Kedua pria itu segera menuju hotel yang akan mereka tempati. Beristirahat sejenak menunggu pagi sebelum pergi ke rumah Kenny. Tampaknya sangat terburu-buru, ya. Tentu saja. Semua ini rencana Heinrich yang tak ingin berlama-lama di Semarang. Ia tak mau lagi terusik dengan kenangan mendiang sang suami.

*

“Apakah benar ini rumahnya?”

“Entahlah. Kamu enggak pernah diajak ke sini?”

“Enggak pernah.”

Alamat pada KTP Kenny mengantarkan Widi dan Heinrich ke sebuah perumahan mewah di Semarang. Sebuah rumah dua lantai yang dikelilingi pagar cantik dan rapat, dengan pintu gerbang yang terbuat dari kayu kokoh berdiri di depan mereka. Walaupun belum melihat bagaimana wujud asli bangunan itu, kedua pria itu percaya, rumah ini tak kalah mewah dengan rumah-rumah lain di lingkungan itu.

“Oke. Kita masuk,” kata Heinrich sambil keluar mobil sewaan, lalu membuka bagasi  untuk mengambil koper besar yang dibawa dari Los Angeles. Ia menarik koper itu dan menuju pintu kecil di samping pagar.

Widi menekan bel pintu. Pintu terbuka tak lama setelahnya. Seorang pria bertubuh tinggi besar dengan pakaian safari berwarna hitam keluar dari sana. Pria ini adalah satpam rumah Kenny.

“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” tanya pria itu.

“Selamat siang,” jawab Widi. “Sebelumnya, saya mau tanya, apa benar ini rumah Kenneth Aji Soedarsono?”

“Betul, Pak.”

“Oke. Hm, saya mau bertemu kerabat Kenneth Aji Soedarsono.”

“Mau bertemu dengan siapa? Sudah punya janji?”

Widi berpikir cepat. “Belum punya, sih. Tapi saya mau bertemu Tante Atik.”

“Nama Bapak siapa?”

“Widiyan Yudhistira. Temannya Kenneth.”

“Tunggu sebentar, ya.” Pria itu tersenyum lalu masuk ke dalam.

“Tolong bilang kalau ini masalah serius,” ucap Widi dengan suara lumayan nyaring. Lalu ia menatap Heinrich. “Rumah orang kaya.”

Mereka menunggu beberapa menit sampai si penjaga datang kembali.

“Silakan masuk, Pak. Ibu Atik ada di dalam. Mari saya antar. Bawa mobil, Mas? Kalau bawa, parkir di dalam saja. Ndak enak sama tetangga.”

“Oh, ya. Sebentar,” kata Widi. Ia menepuk pundak Heinrich. “Kamu masuk duluan. Aku mau bawa masuk mobil.”

Pintu pagar dibuka. Benar saja. Rumah itu sangat megah dan mewah. Pilar-pilar besar menopang rumah bercat putih dengan gagah. Lahan parkir cukup untuk tiga mobil. Belum lagi garasi yang tampak luas jika dilihat dari panjang pintunya. Setelah memarkirkan mobil, Widi dan Heinrich menuju bagian fasad rumah, di sanalah pintu masuk berada. Si satpam membawa mereka masuk melewati foyer berisi bunga-bunga segar yang ditata apik dalam vas cantik. Barulah mereka sampai di ruang tamu. Satu set sofa dan meja yang bagus menjadi inti ruangan itu. Di atas meja sudah ada kue kering, permen, serta air dalam kemasan gelas plastik. Pada dindingnya terdapat foto keluarga.

“Tunggu di sini, Pak. Sebentar lagi Ibu Atik turun.”

“Terima kasih.”

“Sama-sama. Saya permisi dulu.”

Si satpam pergi. Heinrich tertarik pada foto Kenny dan sang ayah, Nurdin, yang terlihat masih baru. Ada catatan waktu pada foto itu pada pojok kiri bawah. Foto itu diambil pada 30 Juni 2031.

Oh, inilah pria yang paling Kenny sayangi. Seorang pria yang dipanggil papa olehnya. – Heinrich

“Heinrich, jangan lihat-lihat begitu. Duduk sini.” Widi menepuk bagian sofa di sebelahnya.

“Ini pertama kali aku melihat ayahnya Kenny. Kenny enggak pernah menunjukkan wajahnya padaku.” Heinrich berjalan ke arah Widi. “mein Schwiegervater. Ich bin glücklich.”

Ngomong apa sih, Hein? – Widi

Widi yang sama sekali tak paham bahasa Jerman hanya bisa tersenyum tipis. Sebuah suara mengejutkan mereka.

“Who is your father in law, Young Man?”

*

25 Juli 2023

Halo,

Semoga kalian selalu sehat jiwa, raga, dan duit juga. Terima kasih sudah membaca cerita ini. Vote dan komentar kalian ditunggu, lho.

Cheers.

His Love 3 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang