Pantai Venice masih ramai di malam hari. Itulah tempat yang dituju oleh Ezra selepas makan malam di restoran favoritnya. Setelah membelikan banyak camilan dan minuman untuk William, akhirnya Widi dan Ezra bisa menghabiskan waktu berdua. Berjalan di pasir pantai sambil mengobrol santai.
Dari tempatnya duduk, William bisa menyaksikan kedekatan kedua pria itu. Sebenarnya William senang melihat Widi tersenyum lepas malam ini. Sayangnya, ia tak suka jika yang membuat ayahnya tersenyum adalah Ezra. Pemuda ini masih berpikiran buruk tentangnya.
“Besok ada acara?” tanya Ezra sambil mengikuti Widi yang berjalan menuju bibir pantai.
“Ada. William mau membawa teman spesial ke rumah. Aku harus masak sesuatu yang enak untuk mereka,” jawab Widi. Ia menatap kakinya yang terkena air laut. “Bujangku sudah mulai pacaran. Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia disunat dan minta tujuh boneka teddy bear. Sekarang sudah mau bawa cewek ke rumah.”
“Anakku malah sudah menikah,” sahut Ezra yang kini berdiri di belakang Widi. Lalu pria mungil itu menoleh dan tersenyum padanya. “Wajar, sih. Kita juga sudah semakin tua.”
“Ya. Semakin tua, semakin banyak cerita yang kita punya.”
“Ada enggak ya, yang mau menulis cerita kita?”
“Ditulis dan dibukukan, begitu maksudmu?”
“Ya.” Ezra berdiri di samping Widi. Ia ikut merendam kaki di air laut. Keduanya menatap langit yang dipenuhi bintang.
“Kayaknya enggak ada, deh. Siapa yang mau baca cerita gay tua? Banyak orang suka membaca cerita para gay muda yang energik, bebas, dan seksi. Apalagi kalau banyak bagian erotisnya. Kita mah apa atuh? Kita mah sudah jadi remah rengginang yang alot, hampir basi juga,” jelas Widi yang langsung diberi hadiah tinju kecil di lengannya oleh Ezra. “Apaan, sih?”
“Ceritamu menarik untuk dibagikan. Petualangan kamu dengan Jon, aku, dengan teman-teman yang lain bakal bikin konfliknya semakin menarik.”
Widi menatap Ezra yang terlihat sangat bersemangat. Pria mungil itu sedikit berjinjit agar bisa meletakkan punggung tangannya di dahi Ezra.
“Oh, pantas! Rada demam! Kamu kalau mulai enggak beres biasanya rada demam.”
“Ah, kamu enggak asyik.”
Widi berjalan menjauhi Ezra. Ia berjalan menuju tempatnya menaruh sepatu.
“Kapan sidang pertama peristiwa penembakan massal akan digelar?”
“Senin.”
“Semoga beruntung, ya. Terima kasih sudah menemaniku malam ini.”
“Sama-sama. Terima kasih juga atas traktirannya.”
Keduanya masih bertelanjang kaki saat berjalan mendekati William yang asyik mengunyah Takis. Angin pantai semakin dingin. Ini saatnya untuk pulang.
“Ayo, kita pulang. Anginnya mulai enggak enak,” ajak Widi pada kedua rekannya.
*
Pukul satu siang belum ada tanda-tanda William datang bersama temannya. Widi menatap satu panci kuah soto yang telah dibuatnya. Kemudian beralih pada tiga mangkuk saji berisi bahan soto yang sudah disiapkan. Ia harap semua ini tidak sia-sia untuk dilakukan. Semoga semua yang makan suka dengan masakannya.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan tertutup, lalu terdengar suara William yang mengajak seseorang untuk masuk. Widi segera mencuci tangan agar aroma rempah tidak meninggalkan jejak di sana. Tepat saat William dan temannya memasuki dapur, tangan Widi sudah kering.
“Ayah,” sapa William. Ketika Widi membalikkan badan, ia berkata, “Aku membawa seseorang yang spesial hari ini.”
Di samping William ada seorang gadis berkulit cokelat dengan rambut keriting yang menggemaskan. Hari itu ia memakai celana denim biru muda dipadu blus lengan pendek warna krem bermotif bunga-bunga kecil. Ia juga memakai tas selempang warna hitam yang ukurannya kecil. Tangannya memegang parsel buah yang terlihat lumayan berat.
Senyum gadis itu sangat manis. Riasan tipis di wajah semakin mempertegas kecantikannya.
“Namanya Ginny. Dia pacarku.” Pipi William bersemu merah ketika mengatakan hal ini. Ia menatap Ginny. “Ginny, ini ayahku. Namanya Widi.”
“Senang bertemu denganmu.” Ginny mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Widi. “Aku bawakan ini untukmu.”
“Senang bertemu denganmu juga.” Widi menerima pemberian Ginny. “Terima kasih, ya.”
Ini adalah pertama kalinya Widi seorang diri menerima kehadiran kekasih dari anaknya. Jangan bandingkan dengan Kolya. Kolya hadir saat Louisa masih ada dan Louisa juga yang mencairkan suasana di antara mereka. Widi sendiri bingung bagaimana caranya beramah tamah dengan kekasih sang anak.
“Aku sudah memasak untuk kalian, kita makan sekarang, ya,” ajak Widi. Ia menaruh parsel buah di atas meja. “William, siapkan kursinya.”
William mengajak Ginny untuk duduk. Kemudian ia membantu sang ayah untuk menghidangkan makanan ke atas meja. Tiga mangkuk soto ayam, perkedel kentang, sambal, jeruk limau, serta semangkuk besar nasi hangat.
“Aku tak tahu harus memasak apa. Aku harap kau menyukainya.”
“Aku suka mencoba sesuatu yang baru. Jujur saja ini kelihatan lezat.”
Ketiganya sudah duduk dan berdoa sebelum makan. Ginny terlihat bingung bagaimana cara memakan soto ayam.
“Cicipi dulu kuahnya,” suruh William.
Ginny mencicipi kuah soto. Senyumnya mengembang. “Enak sekali. Is it your comfort food?”
“Yes. Ayahku pandai membuat sup enak. Mau tambah jeruk limau agar lebih segar?”
“Boleh.”
William mengambil setengah jeruk limau, ia buang dulu bijinya lalu mulai memeras ke dalam mangkuk soto milik Ginny.
“Aduk. Apa sudah cukup?”
Gadis itu mengaduk sotonya. Kemudian mencicipi kuah lagi. “Ya, kau benar. Rasanya jadi lebih segar. Itu apa?”
“Sambal. Tuang sedikit saja jika kau ingin sedikit pedas.”
“Oh, begitu, ya.” Ginny mengambil sedikit sambal untuk sotonya. Ia mengaduk lagi. Rasa pedas yang hadir membuatnya terkejut. “Oh! Aku terkejut dengan pedasnya. Tapi sungguh, ini enak.”
“Makan yang banyak. Aku bisa buatkan lagi untukmu,” kata Widi yang senang karena Ginny menyukai masakannya.
“Terima kasih sudah memasak ini untukku.”
“Sama-sama.” Widi mengaduk soto miliknya. “Ayo, nikmati sajiannya sebelum dingin.”
William mengajarkan Ginny cara menikmati masakan sang ayah. Keduanya terlihat sangat mesra. Widi senang melihat anaknya sudah punya pacar, walaupun dalam hati ia bingung juga kenapa gadis secantik Ginny mau dengan William yang biasa-biasa saja.
Setelah banyak berbincang akhirnya Widi tahu kalau keduanya bisa cocok karena sifat mereka yang saling mengisi. Ginny yang pandai bercerita mampu memberikan banyak topik untuk dibicarakan berdua dengan William. Mereka membicarakan banyak hal yang disukai dan tetap bisa nyambung.
“Kami hanya teman sekelas awalnya. Itu pun jarang bicara. Kami punya dunia yang berbeda. Tapi setelah Will menolong anjingku yang tersedak, kami mulai dekat. Dia pemuda yang baik dan menyenangkan,” cerita Ginny. Binar matanya menunjukkan kekaguman saat menatap William. “Ternyata mengenal seseorang dari dunia yang berbeda itu sangat menyenangkan.”
Rona merah di wajah William sangat kentara. Jiwanya serasa melayang ke angkasa saat dipuji oleh kekasihnya. Widi ingin sekali tertawa melihat sang anak. Masih saja dia berpikir bagaimana William yang punya vanilla personality (membosankan, datar, tidak menarik), bisa mendapatkan gadis cantik dan menarik seperti Ginny.
“Aku senang melihat kedekatan kalian berdua,” ucap Widi. “Aku berharap kalian bisa saling menjaga.”
Kedua remaja yang sedang kasmaran itu saling menatap bahagia. Widi merasa canggung berada di antara mereka. Saat itu Ginny melihat cincin kawin Widi yang masih melingkar di jari manisnya.
“Kenapa kau masih menggunakan cincin kawin setelah suamimu meninggal?” tanya Ginny.
Widi terkejut dengan pertanyaan itu. Tapi ia menimpali dengan santai. “Aku masih mengenangnya. Mungkin jika aku menemukan seseorang yang tepat, aku akan melepaskannya.”
“Kau pasti sangat mencintainya.”
“Tentu saja.” Widi menatap cincinnya. Kemudian Widi bangkit dari duduknya. “Aku masih punya pekerjaan di atas. Nikmatilah waktu kalian berdua. Jangan berbuat macam-macam, ya.”
Pria itu segera naik ke lantai dua. Kedua remaja itu menatap ke arah Widi. Setelah pria itu menghilang, kucing William yang bernama Noel muncul. Ia naik ke pangkuan William dan mendesis ketika Ginny hendak mengelusnya.
“Noel, jangan nakal,” kata William.
“Tak apa-apa, Will. Mungkin dia belum kenal denganku.” Ginny menoleh untuk memastikan jika Widi tak ada di sekitar mereka. “Ayahmu masih sendiri?”
“Ya. Banyak yang dekat dengannya. Tapi belum ada yang cocok. Dulu ada seorang pilot yang menyukai Ayah, tapi Ayah malah menolaknya,” cerita William sambil mengelus Noel.
“Sayang sekali, ya.”
“Ya. Dia akan menemukan bahagianya sendiri dengan atau tanpa kekasih.”
*
Jakhangir Yalkun duduk di samping pembelanya Ernest John Irving pada hari itu, kulitnya yang pucat dan berbintik-bintik makin membuat kondisinya terlihat tidak sehat. Namun, sorot mata dingin dan tidak pedulinya sama sekali tidak membuat orang bersimpati kepadanya. Dia sadar pandangan menusuk di belakang punggungnya. Pandangan mereka yang marah, keluarga korban atau mereka yang tidak menyukai imigran. Semua bercampur baur di ruang sidang yang riuh rendah itu.
Hari itu adalah sidang pertama atas kasus penembakan di klinik psikologi yang menjerat pria keturunan Uighur itu. Semua keluarga korban terduduk di belakang jaksa berbisik-bisik dan menunjuk-nunjuk ke arah si pesakitan. Sejenak melampiaskan kemarahan yang tertahan. Sosok kecil pria setengah baya yang masih tampak awet muda terduduk diam di antara mereka. Widiyan Yudhistira yang kehilangan ibu mertuanya. Widiyan Yudhistira yang mau tak mau ikut terintimidasi akibat pembicaraan di sekelilingnya dan sejenak ada rasa keterikatan dengan sang terdakwa. Sama-sama berbeda, sama-sama terasingkan. Dilihatnya kursi-kursi lengang di sisi terdakwa. Kebanyakan pers atau orang yang sekedar mengamati. Tidak ada yang peduli dengan dia, tidak ada yang bersimpati padanya.
“Keluarga terdakwa harusnya duduk di sana,” ujar seorang perempuan memecahkan lamunan Widi
“Oh, bukan. Ibu mertuaku juga korban.” Senyum Widi rikuh. Perempuan pirang dengan model rambut bob pendek itu sedikit terkejut.
“Oh, maaf. Kupikir ...,” lanjut perempuan itu tertahan.
Widi mengangkat bahunya. Ia menutup pembicaraan dengan berkata, “It’s okay. kami sama-sama sipit. I get that a lot.”
Perempuan itu kembali larut dalam pembicaraan dengan sesama pengunjung sidang di sebelahnya.
Sejenak Widi teringat pembicaraan dengan William beberapa hari lalu. Mereka anak dan ayah namun terasa ada sakit di sudut hatinya. Sakit karena bagaimanapun mereka berbeda.
Masih terdengar teriakan-teriakan kebencian di depan pengadilan.
Dan juga aksi penyalaan lilin pernyataan berbela sungkawa di tempat kejadian.
Suasana hari itu membuat Widi sangat tertekan.
Ibu, Widi ingin pulang. - Widi
Suasana ruangan yang tadinya riuh rendah tiba-tiba sunyi ketika para juri memasuki ruangan. Mereka berjumlah dua puluh tiga orang. Delapan orang kulit hitam dan sisanya Kaukasian. Sidang akan segera dimulai.
Dan anehnya, Widi merasa dialah satu-satunya orang terdekat dari si pesakitan di bangku terdakwa. Terikat paksa karena latar belakang yang tak jauh berbeda.
*
Sepulang dari pengadilan, Widi langsung menuju Sugar Gems. Rasa tidak nyaman dan kehilangan banyak energi karena stres membuat Widi ingin menyantap makanan manis. Di atas meja sudah ada satu cup caramel macchiato dan dua donat bersalut gula bubuk. Sedang asyik makan, pria itu malah mendengar sekelompok pemuda yang membicarakan akhir sidang hari ini. Hakim memerintahkan pemeriksaan kejiwaan untuk Jakhangir Yalkun yang diajukan oleh tim pembelanya, ini juga membuka mata para pengunjung sidang bahwa terdakwa yang mendapat suaka politik dan pernah mengabdi di angkatan darat, sama sekali terabaikan hak-hak kesehatannya. Terutama kesehatan mentalnya. Dan karena itu sang hakim Sabrina Peterson, perempuan muda yang terlihat seperti Galadriel sang ratu elf di film Lord of The Ring memerintahkan pemeriksaan ulang kejiwaan terdakwa. Kali ini di institusi yang independen.
Keputusan itu menimbulkan kontroversi di ruang sidang. Namun sejenak Widi sedikit lega, karena hakim benar benar objektif, walaupun dia Kaukasian. Dan dia tidak mudah digoyahkan oleh suara mayoritas. Widi masih ingat dengan jelas suara-suara kekecewaan utamanya dari sisi penuntut umum yang padat dihadiri oleh keluarga korban. Sampai-sampai beberapa kali hakim mengancam akan mengeluarkan beberapa pengunjung jika mereka mengganggu jalannya persidangan.
“Apa kamu enggak takut gula darahmu akan melesat cepat seperti roket?” tanya Ronan yang sudah ada di hadapan Widi.
Pria mungil itu hanya menatap Ronan dengan matanya yang berkaca-kaca. Ronan menarik kursi dan duduk.
“Di bibirmu banyak gulanya,” kata Ronan. Widi langsung membuka tisu yang disediakan dan mengelap bibirnya. “Aku menonton berita tentang sidang hari ini. Sangat mengecewakan, ya.”
“Entahlah, Ronan. Aku tak mau membicarakannya. Aku lelah.” Widi mulai menikmati donat kedua.
“Kalau lelah kenapa tidak pulang saja?”
“Aku ingin makanan manis. Jadi aku ke sini. Aku juga menghindari pembicaraan tentang persidangan ini dengan William.” Widi bicara masih dengan makanan dalam mulutnya. “Aku sangat stres berada di persidangan. Di satu sisi aku ingin si terdakwa dihukum seberat-beratnya. Tapi di sisi lain, aku merasa ini tidak adil. Tidakkah kau lihat komposisi juri yang hadir?”
“Dunia memang tak pernah adil, Sayang.” Ronan tersenyum tipis. Tiba-tiba ia terlihat bersemangat. “Aku lihat di televisi Ernest diserbu wartawan, dia diberondong pertanyaan dan dia menjawab dengan sangat keren! Bagian favoritku itu saat dia menghubungkan tuntutan jaksa dan bagaimana sentimen rasial masih kental di negara yang merasa paling modern ini, brilian!”
Widi juga lihat kejadian itu, bahkan dengan mata kepalanya sendiri. Ernest dikerubungi wartawan saat keluar pengadilan. Ia memberikan sedikit gambaran persidangan hari ini dan mengatakan semodern apa pun masyarakat negara ini, mereka selalu jatuh pada lubang yang sama, yaitu diskriminasi rasial. Dan betapa paradoksalnya di dalam the land of the free and the home of the brave, ada pahlawan yang terkatung-katung nasibnya tanpa perlindungan dari negara dan masyarakat hanya karena sentimen golongan.
“Dia keren sekali. Aku rasa setelah ini kau akan semakin menyukainya,” lanjut Ronan dengan mata yang berbinar.
“Tidak juga.” Widi menyedot minumannya sebanyak mungkin. “Aku masih berpikiran bahwa Ernest itu baik. Sangat baik. Hanya saja memang bukan untukku.”
“Mau aku bantu untuk mencari kekasih?”
“Tidak usah. Bukan prioritasku untuk saat ini.”
Ronan mengangguk pelan. “Ya. Masih terlalu sibuk untuk sekarang. Jangan lupa liburan setelah masalah ini berakhir.”
“Tentu saja.” Widi bangkit dari duduknya. “Aku mau donat lagi.”
Ronan terbelalak. Ia mengomel saat Widi mulai berjalan menuju etalase pajang, “Hei, Pak Tua! Ingat gula darahmu!”
*
06 Maret 2024Halo, guys!
Jumpa lagi dengan aku dan Widi. Di bab ini aku kembali berkolaborasi dengan bintarobastard . Terima kasih sekali pada om satu ini karena banyak melengkapi kekurangan dalam cerita. Jangan lupa main ke akunnya, ya. Banyak cerita seru di sana.
Terima kasih juga untuk kalian yang telah membaca. Ditunggu vote dan komentarnya.
Salam manis. Kecup manja. Mmuach.

KAMU SEDANG MEMBACA
His Love 3 🌈
RomantiekApakah kau akan terus mencintai seseorang yang punya masa lalu sangat buruk?