35.

38 7 12
                                    

Hasrat kepada pria yang belum seratus persen hilang membuat Widi bingung dengan diri sendiri. Straight terlalu gagah untuk disandangnya. Sedangkan  gay, apakah masih bisa disandang olehnya? Entahlah.

Semua terjadi begitu saja. Ari. Widi suka pada wanita itu. Kalau ditanya suka apanya, Widi pasti hanya menjawab, ya suka saja. Ada sesuatu yang menarik dalam diri Ari, tapi Widi sendiri tak tahu apa. Kalau sekadar cantik, ada banyak yang lebih cantik darinya. Entahlah. Pesona itu tak dapat dijelaskan. Pesona yang kadang membuat Widi termenung memikirkannya.

“Kamu kenapa?”

Widi terkejut dengan kehadiran Ronan. Ponsel di tangannya sampai terlepas. Ronan mengambil benda itu dan menatap ke layar. Pesan-pesan dalam bahasa Indonesia berderet sangat penuh. Lalu ada gambar Ari dan kroket kentang buatannya. Ia kembalikan ponsel milik Widi sambil tersenyum jahil.

“Kamu sudah jadi straight?”

“Entahlah. Perasaanku begitu rumit.”

“Perasaan manusia memang rumit, kok. Kau saja yang baru menyadarinya.” Ronan membuka mesin kasir dan menukar selembar uang dua puluh dolar dengan recehan. “Straight or gay, kamu masih tetap temanku. Ketahuilah kalau perasaan manusia itu fleksibel. Jangan heran kalau kau dulu lebih cenderung menyukai pria, sekarang bisa menyukai wanita.”

“Kalau aku mengejar wanita itu, aku bisa dapatkan dia enggak, ya?”

“Entahlah.” Ronan mengedikkan bahu. “Oh, ya. Bagaimana kabar Sarah di Palo Alto?”

“Dia baik-baik saja, sedang sibuk-sibuknya kuliah. Tapi masih sempat menghubungi kami. Bagaimana dengan keluargamu?”

“Baik juga. Kemarin pertama kali aku pergi ke makam Celestino. Aku merasa sangat bersalah sampai belum pernah datang ke sana. Nando dan anak-anak menguatkan aku. Mereka bilang itu sudah berlalu dan aku harus menghadapi kenyataannya,” cerita Ronan dengan wajah sedikit murung. “Oh, ya. Kalau kau mau pergi ke Indonesia lagi, pergilah. Aku sudah berubah, kok. Aku tidak akan nakal lagi. Aku akan bekerja lebih baik lagi.”

“Kau ini kenapa?” tanya Widi yang dahinya berkerut keheranan.

“Sejak Celestino meninggal, aku sudah tak minum sembarangan. Anggur saja sih, hehe. Aku sudah tidak berpesta liar lagi. Ya, hidupku jadi lebih baik. Aku bahkan berpikir untuk memakai nama asliku lagi.”

“Bukankah kau membenci nama aslimu?”

Ronan tersenyum dan mengangguk. Kalau kau lupa, nama asli Ronan adalah Johannes Joseph Weekes III. Sama seperti nama kakek dan ayahnya. Ronan benci nama itu karena sifatnya jadi sama seperti kakek dan ayahnya, hobi minum minuman keras.

“Nando bilang nama yang bagus tetaplah nama yang bagus. Manusia yang membawanya yang membuat nama bagus menjadi jelek. Aku tetap bisa menjadi Johannes Joseph Weekes the third yang tampan, baik hati, rajin ibadah, dan cerdas tanpa memedulikan siapa ayah dan kakekku.” Ronan terlihat bangga. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah name tag bertuliskan J.J. Weekes. Ia pasang di dada sebelah kanan.

Widi terlihat bangga dengan Ronan. Walaupun belum sempurna, tapi ini langkah yang baik sebagai awal kehidupan Ronan yang baru. Sepasang muda-mudi mendekati kasir. Ronan segera memasang wajah ramah untuk menyambut mereka.

“Selamat datang di Sugar Gems. Nama saya Jo. Ada yang bisa saya bantu?”

*

Sejak Ronan rajin masuk kerja, tugas Widi di Sugar Gems menjadi sedikit. Ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk membuat sampel kue-kue baru yang akan disajikan di Sugar Gems, juga membuat video masak di media sosial. Pemasukan dari video sosial lumayan besar, lho. Widi bisa menabung lebih banyak untuk menyekolahkan William ke universitas pilihan bocah itu.

“Aku sekolah di Universitas Cornell saja ya, Ayah,” pinta William sambil membantu Widi menakar tepung terigu.

“Boleh,” sahut Widi diikuti sebuah senyuman.

“Tapi nanti aku jauh dari Ayah, ya. Ayah tak apa-apa?”

Widi terdiam. California ke New York sama saja dengan pergi dari ujung ke ujung Amerika Serikat. Jaraknya yang sangat jauh pasti membuat mereka akan jarang bertemu. Tiba-tiba Widi terpikirkan sesuatu. Dulu dia ingin sekolah kedokteran di Universitas Cornell juga. Tapi malah melepaskan impian itu karena sadar kalau bakatnya di bidang memasak lebih menonjol. Widi sadar kalau dia tidak pintar-pintar amat untuk sekolah lagi selama empat tahun di sekolah kedokteran. Belum lagi serangkaian proses mendapatkan gelar dokter yang menguras waktu, pikiran, dan uang. Membayangkan saja Widi sudah pengap duluan.

“Tak apa-apa, Will.” Widi melirik William yang kini sedang memisahkan putih dan kuning telur. Melihat betapa berbakatnya William memasak membuat Widi penasaran apakah William juga akan sama seperti dirinya. Niat jadi dokter malah jadi baker. “Will ....”

“Ya, Ayah.”

“Apakah benar kamu yang memanggang kue ulang tahun Ayah kemarin?”

William tersipu malu. Ia mengangguk pelan. Saat Widi ulang tahun, William membuatkan black forest yang sangat lezat. Rasa cokelatnya pas. Bentuk dan hiasan begitu cantik. Tekstur kuenya lembut dan tidak crumbly. Widi awalnya tidak percaya, tapi Sarah bersikeras kalau Widi harus percaya kue itu buatan William. Dalam prosesnya tangan William sampai terluka terkena oven panas, kalau Widi tak percaya, aduh sakit hati sekali pasti anak itu.

“Kuenya enak, Will. Terima kasih, ya.”

“Ayah sudah berterima kasih saat ulang tahun.”

“Kamu enggak ada keinginan untuk masuk sekolah memasak?”

William menatap Widi dan tertawa. “Tidak. Belajar masak pada Ayah saja sudah cukup untuk membuatku mampu bertahan hidup.”

Remaja itu membuang cangkang telur ke tempat sampah. Noel datang padanya sambil mengeong. William menatap mesin makanan yang kosong. Ia mendesah keras.

“Baik, Yang Mulia. Aku isi dulu mesin makananmu.”

Widi tertawa. “Lha kamu betah banget jadi babunya kucing, Will.”

“Enggak apa-apa.” William mengeluarkan karung makanan Noel dari lemari. “Aku sayang padanya.”

Mereka sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Setelah selesai dengan Noel, William segera mencuci tangan dan duduk di meja makan. Ia perhatikan Widi yang sibuk menata meja untuk membuat video memasak.

“Apakah Ayah merasa kesepian hidup tanpa pendamping?”

“Sedikit. Ada beberapa hal yang aku rasa lebih baik dilakukan berdua.”

“Seks?”

“Seks bukan sesuatu yang gawat harus dilakukan Will. Kalau kita sudah punya pasangan yang pas di hati, lebih menyenangkan menghabiskan waktu bersama melakukan hal lain daripada seks.”

“Lalu apa contohnya sesuatu yang lebih baik dilakukan berdua?”

“Berbagi kehidupan.” Widi mencampurkan bahan untuk membuat kukis. “Enak sekali punya teman bertukar pikiran di atas ranjang atau di teras belakang sambil minum teh.”

“Kenapa Ayah tidak mencari pasangan baru?”

“Pasangan? Laki-laki atau perempuan?”

“Yang mana saja.”

“Ayah belum menemukan yang cocok.”

How about Ari? Ayah cocok dengannya, kan?”

“Takut, Will. Takutnya enggak bisa membahagiakan dia. Takut dia kecewa dengan segala masa lalu Ayah. Takut. Banyak yang Ayah takutkan.” Mata Widi berkaca-kaca. “Selain itu Ayah masih terbayang kebaikan Papa. Ayah tak mau nanti membandingkan mereka nantinya.”

“Begitu, ya.” Tiba-tiba William merasa bersalah karena dulu menentang hubungan Ezra dengan Widi. “Tentang Ezra—“

“Jangan bahas itu lagi. Ya rasanya begitu aneh melihat mantan masih wara-wiri di depan kita dengan kekasih barunya, tapi ya enggak apa-apa. Serius.”

“Do you still love him?”

“No. He is my ex. Aku harus move on seperti dia.”

“Kalau begitu kejarlah Ari.”

“Hm, ya. Nanti saja.” Widi menyadari sesuatu. “Ya Rabb. Ini kan buat video. Kenapa malah aku buat sekarang?”

William menatap adonan yang sudah diuleni oleh Widi. Wajah sang ayah terlihat kecewa untuk beberapa saat. Kemudian ia menyadari Widi sedang menatapnya.

“Ya sudah. Ini kukis buat camilan kamu juga, kok. Ayo. Bantu Ayah cetak kukis.”

“Baik, Ayah!” sahut William dengan riang. “ Ia mengambil sedikit adonan. “Nanti saat libur musim panas, kita ke Indonesia, ya.”

“Nanti saja kalau Ayah reuni universitas. Tommy bilang sekitar bulan Desember, tuh.”

“Wah, asyiknya!”

*

Reuni yang Widi katakan memang ada. Tapi bukan reuni universitas. Lebih tepatnya adalah reuni kelas Widi. Tommy yang sempat menghubungi Widi bilang kalau rencananya acara itu akan dilaksanakan pada bulan Desember, di rumah Amanda di Bogor. Sebuah kebetulan yang bagus, kan?

Widi tak sabar menunggu bulan Desember. Ia sudah bercerita pada Ronan tentang rencana ini. Ronan tentu saja mendukung Widi untuk pergi, siapa tahu Widi bisa semakin dekat dengan perempuan incarannya.

“Aku enggak tahu harus bagaimana mendekati dia ...,” kata Widi. “Mungkin aku harus jujur padanya.”

Ronan yang sedang minum es kopi tidak fokus pada cerita Widi. Matanya sibuk memerhatikan seorang pria muda nan tampan yang baru masuk ke Sugar Gems.

“Widi, ingat seorang pria muda tampan yang aku ceritakan beberapa hari yang lalu?”

“Ya. Kenapa?” tanya Widi sambil memakan kue cokelatnya. Ia merasa kue ini terlalu kering sehingga menambahkan catatan di buku.

“Dia di sini. Lihat ke arah display roti.”

Widi menoleh ke arah display roti. Di sana ada seorang pria muda muda yang sangat tampan dan bergaya sedang memilih roti untuk dimasukkan ke dalam nampan.

Wajahnya tampan dengan karakter cowok nakal. Widi melihat sepasang mata biru dan bibir ranum begitu menggoda. Rahangnya terpahat sangat apik, memberikan kesan kuat dan berkharisma.

Look at those lips, aku enggak keberatan kalau bibir itu ada di leherku,” komentar Ronan. Ia melirik Widi yang diam saja. Ia dorong pria itu dari duduknya sambil berkata, “Sana pergi ke kasir! Dia mau bayar, tuh!”

Suara jatuh Widi malah membuat seisi Sugar Gems menoleh ke arahnya. Juga pria muda itu. Widi malu setengah mati, tapi ia lanjut berjalan menuju kasir.

“Are you okay, Mate?” tanya pria itu saat Widi sampai di kasir.

“I’m okay,” jawab Widi sambil berusaha menghindari tatapan dari sepasang mata biru yang menawan itu. “Ini saja?”

“Ya.” Ia serahkan nampan berisi roti untuk dikemas. “Hei!”

Widi menoleh. “Ya.”

“Bagaimana kamu bisa punya bibir merah begitu?” Pria itu memperhatikan bibir merah Widi.

“Aku jarang merokok. Pakai pelembap bibir dari Dior juga.”

“Wow! Pelembab bibir yang dipakai saja sudah beda kelas, ya.” Pria itu tertawa. Ia mengeluarkan kartu kredit untuk membayar. Melihat Widi tersipu-sipu membuatnya senang. “Kamu manis juga.”

Pipi Widi tambah merah. Ia buru-buru menekan mesin EDC untuk menyelesaikan pembayaran. Ia takut meleleh jika terlalu lama di depan pria itu.

“Ngomong-ngomong, namaku Eli.” Ia mengulurkan tangan untuk dijabat.

“Widi.” Widi menjabat tangan Eli. Ia merasakan betapa kuat pria itu meraih tangannya.

“Woody?” Dahi Eli berkerut.

“Widi. W-I-D-I. Oh, bukan nama orang barat.”

“Oh, ya.”

Tangan mereka terlepas. Widi mengembalikan kartu kredit milik Eli. Kemudian memberikan tas kertas berisi roti yang dibeli.

“Terima kasih. Jangan lupa datang lagi,” kata Widi.

“Tentu saja.” Eli melambaikan tangannya. Kemudian membalikkan badan untuk pergi dari sana.

Ronan langsung mendekati Widi yang masih mematung di kasir. “He’s hot!”

“Too young.”

“Kamu bisa jadi sugar daddy-nya dia, lho.”

“Kayaknya dia enggak butuh itu. Pakaian dan sepatunya menunjukkan kalau dia punya pekerjaan yang memberikan gaji yang baik,” jelas Widi setelah mengamati pria itu tadi. “Lagian aku enggak sekaya itu untuk jadi sugar daddy. Kenapa tidak kau saja?”

“Aku sudah bertobat.” Ronan mengeluarkan sebuah rosario dari saku kemejanya. “Ini punya Celestino, lho. Nando bilang ini buat aku saja. Ini berharga sekali.”

Ronan menciumi rosario itu. Widi tersenyum geli. Ia menatap ke arah pintu Sugar Gems dan bertanya-tanya kapan Eli akan datang lagi.

*

Walaupun sibuk, Widi sebenarnya masih menyempatkan datang ke makam Jon. Paling tidak sebulan sekali ia akan datang untuk membelikan bunga dan membersihkan makam suaminya. Saat Nando bercerita kalau ia bertemu dengan Jon saat kritis, Widi iri sekali. Ia yang selalu berharap Jon akan datang dalam mimpinya malah tidak kesampaian sampai sekarang.

“Kenapa ya kamu enggak datang ke dalam mimpiku?” Tangan Widi menyusun bunga ke dalam vas yang ada di sana. Ia menyimpan satu bunga untuknya agar tahu kapan perlu membeli bunga baru. “Apa kamu cemburu dengan para pria yang datang dan pergi dalam hidupku?”

Ia mengelus batu nisan suaminya. “Ada beberapa yang indah, sih. Tapi enggak seindah kamu. Kamu kan orang yang sangat setia dari dulu. Selalu membuatku merasa spesial. Apakah aku akan menemukan seseorang sebaik kamu lagi untuk dijadikan pendamping?”

Widi merasakan hangat pada punggungnya. Andai saja ia bisa melihat, Jon sedang memeluknya dari belakang. Wajahnya sangat bahagia karena Widi bisa datang ke makamnya.

“Aku rindu padamu, Jon. Ternyata sudah lima tahun kita berbeda alam.” Widi menghapus air matanya yang mengalir lembut. “Aku membayangkan kau pasti sangat tampan di usia lima puluh tahunan. Kita minum teh bareng di halaman belakang. Bercerita tentang anak-anak yang mulai sibuk dengan dunianya sendiri.”

Widi membereskan sampah dari bunga yang dibawanya. Ia sentuh huruf-huruf yang membentuk nama suaminya. Jonathan Noel Walter.

“Baik-baik di sana ya, Jon. Salam untuk Landon dan Papa Jeremiah. Juga salam untuk ibu dan bapakku kalau kamu ketemu mereka. I love you, Jon.”

“I love you too.”

Bulu kuduk Widi langsung meremang mendengar balasan itu. Ia menoleh ke sana sini untuk memastikan kalau ada orang di sekitarnya. Ternyata tak ada. Hanya ada beberapa orang yang sedang mengunjungi makam keluarganya yang jauh darinya. Widi tersenyum tipis.

“Terima kasih, Jon.”

Widi bangkit dari duduknya. Ia berjalan sambil menatap beberapa orang yang sedang sibuk berdoa untuk orang terkasih yang sudah meninggal. Jon yang duduk di samping batu nisan menghirup aroma bunga mawar segar yang Widi bawakan untuknya. Tiba-tiba ia merasa khawatir dengan sang kekasih. Ada apa, ya?

*

09 November 2023


Halo, terima kasih untuk yang sudah membaca. Jangan lupa bintang dan komentar kalian ditunggu, lho.

His Love 3 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang