Pertemuan bisnis Nando berlangsung di Guaruja, Sao Paulo, Brasil. Saat Nando sibuk dengan pertemuan bisnis di sana sini, Heinrich menghabiskan waktu untuk menemani Ronan di pantai. Ronan begitu senang berselancar di laut, sementara Heinrich hanya duduk saja mengamati sekelilingnya. Ia kehilangan gairah untuk bersenang-senang karena masalahnya dengan Ezra.
Ronan baru naik ke daratan sambil membawa papan selancar. Ia bergabung duduk bersama dengan Heinrich. Dan sebotol bir dingin menjadi penuntas dahaga bagi Ronan.
“Kamu enggak minum?” tanya Ronan.
“Enggak. Aku masih bekerja. Enggak bisa bebas minum,” jawab Heinrich sambil menyesap jus campuran buah-buah tropis.
“Oke. Kenapa Ezra tidak ikut denganmu?”
“Ayahnya meninggal. Dia harus pulang ke Indonesia.”
“Malangnya,” gumam Ronan. “Ayahku koma bertahun-tahun. Kapan dia mati, ya?”
Heinrich menoleh dengan mata yang terbelalak. “Aku pikir kedua orang tuamu sudah meninggal.”
“Ibuku sudah meninggal karena serangan jantung. Ayahku koma setelah terjatuh saat minum wiski. Mereka sama-sama pemabuk berat.”
“Apakah kedua anaknya Widi tahu hal ini?”
“Tahu. Aku diam-diam mengajak mereka bertemu dengan kakeknya. Keduanya terlihat marah, terutama William. Dia merasa bukan berasal dari keluarga yang normal.”
Keduanya menatap ke arah laut yang ramai diisi oleh manusia. Cuaca hari itu sangat cerah dan panas. Ronan kembali meneguk birnya. Dari kejauhan tampak sekumpulan pria seksi akan memulai permainan voli. Salah satu pria di sana menatap ke arah Ronan.
“Aku mau menaruh papan selancar, lalu main voli bersama mereka!” Tunjuk Ronan pada sekumpulan pria itu. Ia bangkit dari duduknya. “Kalau kau mau kembali ke hotel, silakan. Kau butuh banyak istirahat agar tetap waras.”
“Terima kasih.”
Ronan membawa papan selancar sambil berjalan penuh percaya diri agar terlihat seksi. Tingkah Ronan menarik banyak pasang mata menatap kagum padanya. Heinrich tersenyum tipis, tiba-tiba ia teringat dengan liburan ke pantai bersama Kenny. Sosoknya yang manis menarik perhatian orang-orang yang ada di sana.
“Heinrich,”
Pria pirang itu menoleh ke asal suara. Ia melihat Ernest yang tersenyum. Heinrich merasa begitu aneh melihat Ernest memakai kemeja pantai yang kancingnya terbuka semua, ditambah celana pendek yang menampilkan kaki jenjangnya.
“Kau menyusul Nando ke sini?” tanya Heinrich sambil berjabat tangan dengan Ernest.
Ernest menyesap birnya. “Ya. Berlibur sejenak. Setelah kasus Jakhangir Yalkun selesai, ada beberapa kasus yang harus aku tangani sampai akhirnya aku bisa liburan.”
Heinrich mengangguk pelan dan tak membalas ucapan Ernest. Matanya fokus memerhatikan ke arah laut. Tiba-tiba ia penasaran di sisi pantai mana yang sepi. Ia ingin berlari ke tengah laut dan tak kembali lagi. Menyerahkan diri untuk mati dan menjadi santapan ikan-ikan. Hilang tanpa jejak.
“Cuaca hari ini begitu cerah, tapi wajahmu mendung. Ada apa?”
Si Jerman Pirang itu melirik sejenak ke arah Ernest. Ia ingin bercerita, mulutnya sudah terbuka, kemudian menutup lagi. “Nein ....”
“Aku tahu, kau punya masalah. Kau hanya tak ingin bercerita karena takut dihakimi.”
“Kau benar.” Senyuman Heinrich terlihat hambar. “Aku takut dihakimi sebagai monster.”
“Berapa banyak korbanmu? Di mana kau mengubur mereka?” tanya Ernest seraya memasang kacamata di wajahnya.
“Bukan! Bukan itu!” Heinrich langsung mengelak. “Ini masalah rumah tangga!”
“KDRT?”
“Belum sampai ke sana. Tapi aku yakin, aku bisa menyakiti fisik pasanganku bila aku terus bersamanya.”
“Kau mau melepaskannya?”
“Sepertinya begitu.” Mata Heinrich mulai berkaca-kaca.
Ernest melihat kotak es berisi bir di belakang Heinrich. Ia mengambil satu botol dan membuka tutupnya. Kemudian ia sodorkan pada Heinrich. Tanpa diduga, Heinrich meraihnya dan langsung minum sampai habis.
“Jika kau pikir ini yang terbaik, maka kau akan baik-baik saja,” pungkas Ernest.
*
Saat Ezra sampai di rumah, ia melihat banyak karangan bunga duka cita dari berbagai instansi berjejer di depan pagar rumah masa kecilnya. Sebuah tenda berdiri menjadi atap kursi-kursi plastik yang berjajar di halaman rumah. Jika Ezra tidak salah hitung, ini adalah hari ketiga sang ayah meninggal. Malam ini akan ada pengajian. Ezra merasa perih melihat semua ini. Rasanya terlalu cepat kehilangan kedua orang tuanya.
Dari kejauhan ia melihat lima orang pria berjalan mendekat. Mereka memakai baju koko dan sarung, ada juga yang memakai peci. Salah satu di antara mereka adalah Bayu. Mata mereka bertemu. Bayu berpamitan pada keempat pria lainnya. Dengan tergesa-gesa ia menghampiri Ezra.
Ezra mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Ia mencium tangan sang kakak. Ketika melihat Ezra akan menangis, Bayu menarik pria itu dalam pelukannya.
“Ora usah,” kata Ezra yang menolak untuk dipeluk. Ia melepaskan diri dari sang kakak.
“Masuk. Ada Ratri dan Dewa di dalam. Widuri juga ada,” ujar Bayu. Ia terlihat kecewa dengan sikap Ezra.
Keduanya masuk ke dalam rumah. Ruang tamu dan teras sudah dipasang karpet hijau pinjaman dari masjid. Di ruang tengah banyak bingkisan bahan makanan dan kue untuk orang-orang yang datang ke selamatan tiga hari sang ayah.
“Untuk malam ini, berkatnya bahan makanan mentah dan kue-kue saja. Mau masak-masak masih repot,” jelas Bayu. Ia berjalan menuju kamarnya dan berkata, “Bapakmu pulang, Wi.”
Widuri yang tengah menyusun kue ke dalam kotak kue langsung menoleh. Ia tersenyum melihat kehadiran sang ayah.
“Yaya,” sapa Widuri sambil mencium tangan Ezra. “Sehat?”
“Alhamdulillah, sehat. Kamu sehat, Nak?”
“Alhamdulillah, sehat juga. Yaya sudah makan?”
“Sudah. Tadi makan di kereta.”
“Oh, begitu. Yaya istirahat dulu saja. Kamarnya sudah rapi. Nanti Widuri bawakan teh manis dan jajanan.”
“Terima kasih.” Ezra meninggalkan Widuri menuju kamarnya. Pria itu langsung mengunci pintu dan merebahkan diri ke atas kasur. Ia sangat mengantuk. Tidurnya di perjalanan Los Angeles ke Semarang tidak nyenyak sama sekali. Walaupun matanya hendak terpejam, Ezra melarang diri untuk tidur. Sebentar lagi Magrib. Ia tak boleh tidur.
Tak lama, Ezra keluar kamar sambil membawa handuk dan peralatan mandi. Saat berpapasan dengan sang anak di dapur, ia pun bertanya, “Sudah bikin teh, Nak?”
“Belum, Ya. Masih rebus air,” jawab Widuri.
“Tolong bikin kopi hitam saja. Gulanya satu sendok saja.”
“Nggih, Ya.”
Ezra tersenyum pada putrinya, setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi.
Masih ada setengah jam sebelum azan Magrib berkumandang. Ezra menikmati kopi hitam buatan Widuri sambil menikmati jajanan pasar di ruang tengah. Semua persiapan untuk nelung dina sang ayah sudah selesai. Rencananya, acara akan dilaksanakan setelah salat Isya berjamaah di masjid.
Sore itu Ezra duduk bersama Bayu dan keponakannya, Dewa. Dewa, remaja kelas 10 SMA itu asyik main gim di ponselnya. Bayu berusaha mengajak Ezra bicara, tapi hanya ditanggapi sekenanya saja oleh Ezra.
“Kamu di sini sampai selamatan empat puluh hari Bapak kan, Zra?” tanya Bayu.
Ezra terdiam. Kemudian ia menggelengkan kepala. “Setelah mitung dina, aku balik kerja lagi.”
“Ndak bisa ditunda? Mas masih harus bertugas lagi di Bogor.”
“Ndak bisa.” Ezra mengambil tisu dan mengelap jarinya yang licin karena minyak risol mayones. “Nanti sebelum selamatan empat puluh hari, aku sudah ada di sini lagi, kok.”
“Kill! Kill!” seru Dewa yang membuat Ezra dan Bayu menoleh ke arahnya. Ia terus menekan layar ponselnya. “Ah! Asu!”
“Jaga mulut kamu, Dewa! Tidak boleh kasar begitu!” tegur Bayu pada sang anak. Bukannya minta maaf, Dewa malah memasang wajah tak suka dan langsung masuk ke dalam rumah.
Ezra bertanya, “Mas mau berangkat kapan ke Bogor?”
“Besok.”
“Oh. Oke.” Ezra langsung berpikir siapa yang akan menjadi rekannya untuk mengurus mitung dina sang ayah.
“Sikap Dewa itu mirip denganmu,” ujar Bayu secara tiba-tiba. Ucapannya membuat sang adik menoleh. “Badung.”
“Anak ulama saja ada yang badung, apalagi cuma anak Bayu Arifianto bin Sujimin Margawisala?” Cengiran Ezra sangat meledek kakaknya. Terdengar suara puji-pujian pertanda azan Magrib segera berkumandang. Ezra bangkit dari duduk untuk menaruh gelas bekas kopi ke dapur. “Apa pun yang terjadi dengan anakmu, jangan sangkut pautkan dengan orang lain.”
*
Selamatan nelung dina Sujimin Margawisala berlangsung lancar dari awal sampai akhir, tak ada kurang apa pun. Setelah acara itu selesai, beberapa kerabat dan tetangga masih ada yang duduk di rumah keluarga Sujimin. Mereka mengobrol bersama sambil minum kopi, merokok, dan makan jajanan pasar yang masih tersisa banyak. Banyak dari kerabat dan tetangga yang mengaku sudah jarang melihat Ezra. Ketika Ezra menjelaskan kalau dia bekerja di Amerika Serikat, pertanyaan yang tertuju padanya malah semakin banyak. Bahkan ada yang mempertanyakan ranah pribadinya.
“Jangan terlalu jauh merantau, Mas Ezra. Nanti lupa jalan pulang, lho.”
“Alhamdulillah masih ingat jalan pulang ke Semarang,” sahut Ezra.
“Memangnya kerja apa sampai jauh-jauh ke Amerika Serikat?”
“Semacam distributor begitu, Lik,” jawab Ezra sambil tersenyum.
“Lho, aku kira sama seperti Bayu. Tentara juga.”
“Gagal tes waktu itu.” Pipi Ezra mulai memerah.
“Mas Ezra ini kalau ndak salah duda, kan? Sudah punya pasangan?” tanya seorang pria seusia bapaknya Ezra. Belum sempat Ezra menjawab, pria itu bertanya lagi, “Mau ndak dijodohkan dengan cucuku? Baru lulus SMA kemarin, lho! Anaknya cantik sekali, lho!”
Ezra sangat terkejut dengan penawaran ini, seketika senyumnya terlihat sangat dipaksakan. Widuri yang tak sengaja mendengarkan saat mengantar kopi hanya bisa tersenyum geli.
“Mboten usah, Pak Dhe. Saya masih senang sendirian,” jawab Ezra.
Respons orang-orang di sekitarnya sangat tidak terduga. Mereka bilang laki-laki itu harus ada yang mengurus, harus punya anak banyak agar terlihat subur, menikah bisa menambah rezeki, dan lain-lain. Mereka bahkan menasihati supaya Ezra bisa mempertahankan rumah tangganya agar tidak gagal lagi. Walaupun kuping dan hatinya panas, Ezra hanya menanggapi dengan senyuman.
Sepulang para kerabat dan tetangga, Ezra, Bayu, dan Dewa merapikan karpet-karpet yang digunakan. Ratri dan Widuri merapikan piring dan gelas bekas para tamu. Setelah semua selesai, hanya tersisa Ezra dan Bayu yang duduk di ruang tengah. Semarang begitu panas, Ezra membuka baju koko dan menurunkan suhu AC. Ia bersandar pada badan sofa sambil membuka ponselnya.
Banyak pesan dari Heinrich masuk. Pria itu bertanya apakah Ezra sudah sampai di Semarang dan kapan bisa menelepon. Ezra hanya membalas dirinya sudah di Semarang dan akan menelepon jika kondisinya sudah kondusif.
“Aku kaget karena orang-orang masih ingat dengan perceraianmu.”
Ezra melirik sejenak pada Bayu, kemudian kembali menatap layar ponselnya.
“Aku ingat betapa malunya Bapak saat kamu dan Rubiyah bercerai. Beliau meneleponku, katanya kesal dengar orang-orang bergosip tentang kalian.” Bayu meluruskan kaki dan memijat betisnya.
“Semua sudah berlalu,” sahut Ezra.
“Tapi kamu tidak tahu kalau selain menghancurkan hidup Rubiyah dan Widuri, kamu juga menghancurkan hati Bapak,” kata Bayu. “Kamu itu egois, Zra.”
Dahi Ezra berkerut. Ia menatap sang kakak dengan tajam. “Egois bagaimana?”
“Kamu menceraikan Rubiyah tanpa konsultasi dulu dengan keluarga. Tahu-tahu gugatan sudah masuk pengadilan, barulah kalian bicara pada keluarga. Kamu tidak memikirkan perasaan Bapak atau bapak ibunya Rubiyah. Rubiyah sangat disayang di sini.”
Ezra terdiam. Kenangan masa lalu hadir. Rubiyah saat itu sudah di batas kesabarannya. Ia meminta berpisah saat tahu Ezra tak bisa mencintainya. Keputusan mereka bukan hasil bicara semalam, tapi hasil dari bicara hati ke hati selama tiga bulan. Ketika bercerai semua biaya perceraian ditanggung oleh Ezra. Segala hal tentang hak asuh anak, nafkah anak, dan harta diselesaikan secara adil. Ezra dan Rubiyah juga sepakat untuk tidak menghadiri sidang. Hanya pengacara mereka yang hadir.
“Aku enggak egois, Mas. Bagiku lebih penting perasaan orang-orang yang menjalani rumah tangga daripada orang-orang yang sekadar menyaksikan.” Ezra mengunci layar ponselnya yang diletakkan di atas baju koko. “Dari awal pun aku sudah bilang enggak mau menikah dengan Rubiyah. Aku enggak cinta Rubiyah. Tapi Mas dan Bapak terus membujuk. Demi Bunda, katanya. Witing tresna jalaran saka kulina, katanya. Tetap saja enggak berhasil.”
“Kamu hanya tidak pernah belajar mencintai Rubiyah, Zra.”
“Aku belajar, Mas. Aku pikir, aku bakal mencintai Rubiyah setelah kami punya anak. Tapi itu enggak terjadi.” Nada bicara Ezra mulai meninggi karena rasa kesalnya terhadap Bayu. “Kamu enggak usah bahas ini lagi. Jangan khawatir. Rubiyah dam Widuri sudah bahagia! Itu cukup untukku!”
Melihat Ezra mulai emosi, Bayu tahu melawannya dengan emosi juga tak ada gunanya. Ia pun melembutkan suaranya dan bertanya, “Lalu, apa kamu sudah bahagia?”
Apa itu bahagia? Ezra tak tahu. Hidupnya tidak selalu senang, tidak selalu sedih. Biasa saja. Tapi memang ada lubang di hatinya yang bertahun-tahun menganga.
“Aku enggak punya jawaban pasti. Tapi aku bisa menerima semua yang terjadi, so i’m okay.”
“Tapi kamu merasa ada yang kurang, kan?”
“Ya. Ada sesuatu yang hilang dariku saat aku harus menikahi Rubiyah.”
“Cinta?” Bayu melihat Ezra mengangguk pelan. “Jadi ini alasan kamu tidak bisa mencintai Rubiyah, kamu mencintai orang lain.”
“Ya.” Ezra mulai takut ke mana obrolan ini akan berakhir. “Aku enggak ingin menyakiti Rubiyah sejak awal. Walaupun akhirnya aku menikahinya. Aku enggak ingin menyakitinya lebih lama. Jadilah aku melepaskannya.”
Bayu mengembuskan napas berat. Sepertinya ia mulai mengerti posisi Ezra. “Apa masih bisa diperbaiki hubunganmu dengan cintamu itu?”
Ezra bingung. Cintanya itu yang mana? Dua nama muncul. Heinrich dan Widi. Namun, hatinya lebih condong kepada Widi. Meskipun Ezra bersama yang lain, ia tak pernah benar-benar lepas dari Widi.
“Kamu tahu keberadaannya?”
“Ya. Dia benar-benar di depan mataku. Aku tahu dia sedang sendiri. Aku tahu tempat tinggalnya.” Mata Ezra berbinar saat pikirannya menampilkan betapa manis senyum Widi yang pernah dilihat di berbagai kesempatan. “Sekarang aku takut seseorang bakal menembakku jika aku mengungkapkan sosoknya.”
Bayu tahu, kalimat terakhir itu untuknya. “Aku punya moral, Zra. Aku tak akan angkat senjata untuk urusan yang tidak mengancam nyawa.”
“Di beberapa negara, orang-orang seperti aku bahkan dibunuh.” Mata Ezra yang berkaca-kaca menatap lurus ke arah sang kakak. Pikirannya menimbang-nimbang apakah perlu melela di depan Bayu. “Selama bertahun-tahun, hati ini hanya dimiliki oleh seseorang.”
Jujur saja Bayu bingung kenapa Ezra bisa terlihat sangat ketakutan. “Siapa dia?”
“Seorang pria bernama Widi.” Ezra akhirnya berani menyebutkan nama sang pujaan hati. Wajah Bayu mendadak sangat pucat, sorot matanya menunjukkan keterkejutan luar biasa. Ezra yang sudah kepalang tanggung akhirnya mengatakan orientasi seksualnya. “Mas ..., aku gay.”
*
28 Mei 2024Terima kasih sudah membaca. Aku tunggu vote dan komentar kalian.
Mmuah
KAMU SEDANG MEMBACA
His Love 3 🌈
Roman d'amourApakah kau akan terus mencintai seseorang yang punya masa lalu sangat buruk?