Pesta malam tahun baru yang diadakan Nando bertempat di sebuah mansion mewah. Semua yang hadir memakai pakaian pesta yang sangat menawan. Widi senang sekali melihatnya. Rasanya ingin bergabung, tapi apa daya, dia di sini dibayar untuk bekerja. Widi bersama koki lainnya menyiapkan makanan yang di sebuah aula besar dekat kolam renang. Saat itu Widi mengenakan seragam koki berwarna hitam. Biar tidak mudah kotor katanya.
Dari kejauhan ia melihat Ronan menatap ke arahnya. Sepertinya Ronan takut jika Widi membocorkan kejadian beberapa hari yang lalu pada Nando. Kemudian Widi menunjukkan gesture mengunci mulut dan membuang jauh kuncinya. Ronan tampak lebih lega, tapi setelah acara selesai, ia berniat meminta maaf dan bicara pada Widi lagi.
“Permisi.”
Widi menoleh ke asal suara. Ernest datang dengan three piece suit yang elegan. Jas, celana panjang, dan dasi kupu-kupu berwarna biru kelasi. Ia juga memakai kemeja putih berkancing berkilau di balik jasnya. Rambutnya ditata amat berbeda dari yang terakhir Widi lihat saat bersama Nando. Mungkin habis potong rambut, begitu pikir Widi.
“Boleh pinjam pencapit di tanganmu?” tanya Ernest.
Widi yang sedang mengelap pencapit segera memberikan alat itu padanya. “Silakan.”
“Terima kasih.”
Diam-diam Widi mencuri pandang pada Ernest. Ia perhatikan makanan apa yang diambilnya. Setelah pria itu pergi, Widi menyimpulkan kalau pria itu suka makanan yang gurih asin. Tamu yang datang berikutnya adalah Ronan. Pria itu mengambil piring kecil dan mengambil makanan sambil bicara pada Widi.
“Terima kasih telah menutupi kesalahanku,” ucap Ronan.
“Ya,” sahut Widi.
“Aku tahu kau masih marah padaku.”
“Jelas. Kalau kau menginginkan Eli, ambil saja. Jangan sok menjodohkan kami.”
“Tidak. Kami hanya ....” Ronan mulai cemberut. “Kami melakukan hal bodoh. Aku sungguh ceroboh.”
“Ya. Sudah, ya. Aku masih punya pekerjaan.”
Widi menghindari Ronan dengan cara pergi ke dapur. Di sana ia membantu koki yang lain untuk menyiapkan makanan yang lain. Itu lebih baik daripada kesal terus melihat Ronan ada di pesta. Kesibukan di dapur membuatnya bisa menyalurkan energi negatif.
Beberapa menit menuju tengah malam, Widi kembali ke aula besar untuk membereskan tempat memajang makanan. Terdengar si pembawa acara mengumumkan akan ada kembang api yang akan ditembakkan ke udara setelah hitung mundur dan berganti tahun. Tamu-tamu banyak yang pergi menuju halaman yang luas dekat kolam renang. Mereka berkumpul untuk menyaksikan kembang api yang akan ditembakkan sebentar lagi.
Selesai membereskan tempat memajang makanan, Widi ikut keluar untuk menyaksikan kembang api. Hitung mundur sudah dimulai. Banyak orang yang berhitung bersama. Ketika mereka meneriakkan ucapan selamat tahun Baru, kembang api pertama di luncurkan. Kelap kelip merah kuning bunga api menghiasi langit malam. Lalu disusul oleh kembang api yang lain yang memberikan warna berbeda.
Di sekitar Widi banyak orang yang berciuman. Widi membayangkan bisa melakukan itu dengan Jon. Sayangnya, Jon telah tiada.
Selamat tahun Baru, Jon. Satu tahun ke depan akan aku lewati lagi tanpamu. – Widi
Saat Widi hendak kembali menuju dapur, ia melihat Ernest berdiri memandang langit yang penuh kembang api sambil memegang gelas berisi sampanye. Dunia Widi terasa berhenti berputar saat melihat sosoknya yang begitu tenang di antara gemerlap dan bising malam ini.
Tiba-tiba Ernest menoleh ke arah Widi dan menangkap basah Widi yang tengah memerhatikannya. Tatapan matanya terlihat mengerikan. Itu menjadi sinyal bagi Widi untuk segera pergi dari sana.
*
Eli menahan kantuknya di dalam mobil yang terparkir di seberang rumah Widi. Ponselnya menunjukkan sudah hampir jam dua belas siang. Tapi tak ada tanda-tanda Widi kembali ke rumah. Pria itu menyalakan mobilnya ketika memutuskan untuk pergi. Sebuah mobil masuk ke emper mobil rumah Widi. Itulah mobil Widi dan benar saja, Widi keluar dari mobil yang sudah berhenti itu.
Dengan cepat Eli mematikan mobilnya lagi. Ia turun dan menyeberang jalan untuk menghampiri Widi.
“Widi!”
Widi menoleh, kemudian meneruskan membuka pintu rumah. Setelah itu ia berdiri menghadap Eli. Menatap wajah Eli mengingatkan Widi pada kejadian hari itu. Widi sadar, ia sebenarnya tidak perlu marah. Ia dan Eli belum punya hubungan resmi.
“Aku ingin minta maaf soal kejadian kemarin.”
“Ya. Tak apa-apa. Kita bukan pasangan resmi. Terserah padamu ingin meniduri siapa saja.”
“Aku ingin kau kembali padaku.”
“Aku di sini. Aku tak ke mana-mana. Tapi aku tak ingin berada dalam pelukanmu lagi. Ini baru awal. Dan kau meniduri sahabatku. Sebuah tanda yang tidak bagus ke depannya.”
“Kau tahu yang bersalah bukan cuma aku.”
“Ya. Aku tahu Ronan juga salah. Hubunganku dan Ronan juga tidak akan pernah sama lagi setelah ini. Jangan khawatir. Kalian pantas mendapatkannya.”
“Kau membuangku?” tanya Eli.
“Tidak. Kau yang membuangku. Dan aku membiarkanmu pergi. Aku tak ingin kita bersama. Aku, aku sudah menutup hati untukmu.”
“Widi!” Eli mengerang. “Aku mohon. Berikan aku kesempatan lagi. Sekali saja.”
“Tidak. Aku tak mau menjalani hubungan jika ada kenangan kekasihku meniduri temanku sejak awal.”
Pria muda itu terlihat kesal, malu, dan sedih. Semua bercampur. Widi masuk ke dalam rumahnya. Sebelum menutup pintu, ia kembali bicara pada Eli.
“Pulanglah. Istirahat. Kau pasti belum tidur dari semalam. Terima kasih sudah menjaga Noel. Dan tolong jangan datang ke sini lagi.”
Pintu di tutup. Widi bersandar pada pintu dan tubuhnya mulai merosot ke bawah. Eli masih berada di teras, ia menekan bel dan meminta dibukakan pintu. Tapi Widi berkeras hati untuk tidak melakukannya. Akhirnya Eli pulang dengan perasaan kecewa.
Di belakang pintu, Widi sudah duduk memeluk lututnya. Rasanya ia sudah tak punya kekuatan untuk pindah ke kamarnya untuk beristirahat. Dengan perlahan ia memiringkan tubuhnya sampai akhirnya tergeletak di atas lantai. Ia tatap langit-langit rumahnya. Tiba-tiba Jon muncul dengan senyum lembutnya.
Aku pasti sudah tidur. Kalau Jon sudah datang, itu artinya aku sedang bermimpi ya, kan? – Widi
“Tidurlah. Kau lelah sekali,” ucap Jon mengiringi mata Widi yang akan terpejam sempurna.
*
Pintu bel rumah Widi ditekan oleh seseorang dari luar. Widi mendadak membuka matanya. Ia yang masih tergeletak di lantai bergegas mengumpulkan kesadaran dan membuka pintu. Awalnya dikira yang datang Eli atau Ronan. Ternyata malah Ezra. Pria itu tersenyum dan mengangkat pizza ukuran large di tangannya.
“Hai,” sapa Ezra.
“Kamu jadi kurir pizza?” tanya Widi tanpa membalas sapaan Ezra.
“Tidak. Aku sedang merasa kesepian.” Wajah Ezra berubah murung. “Heinrich berangkat sore tadi mengantar Nando ke Brazil. Jadi aku sendirian di rumah ....”
“Oh. Masuklah.”
Widi memberi jalan supaya Ezra bisa masuk. Pintu tertutup kembali. Keduanya menuju ruang tengah. Widi langsung ke dapur mengambil minuman untuk Ezra. Suasana rumah Widi yang sepi membuat Ezra bingung.
“Ke mana Mama Louisa dan anak-anak?” Ezra menghempaskan bokong di atas sofa. Ia membuka pizza yang dibawa dan mengambilnya sepotong.
“Masih di Indonesia. Aku pulang duluan untuk bekerja pada Nando.” Widi datang membawa dua botol soda lemon. Ia duduk di sebelah Ezra. “Sebenarnya kenapa kau datang ke sini?”
“Aku mau minta dikerok,” ujar Ezra polos.
“Hah?” Dahi Widi berkerut.
“Serius. Heinrich enggak bisa ngerok. Aku capek banget sehabis pulang dari Indonesia. Kayaknya aku masuk angin. Lama-lama bisa batuk, nih.”
“Aku juga enggak enak badan sejak tiba di sini.” Wajah Widi tampak memelas. Ia menahan tawa saat menyampaikan keinginannya. “Nanti gantian, ya.”
“Ya.” Ezra tertawa. Malam ini mereka akan saling mengeroki satu sama lain. “Tapi makan dulu saja. Keburu pizza dingin.”
“Oke. Hm, aku mandi dulu. Habis kerja aku belum mandi sama sekali.”
“Pantas kau bau. TV-nya aku nyalakan, ya.”
“Silakan.” Widi menaiki tangga menuju lantai dua.
Ezra menyalakan televisi dan mencari saluran berita. Di sana ada berita tentang iNVT yang kalah setelah digugat penggiat lingkungan. Tapi perusahaan itu hanya membayar 60% dari tuntutan karena beberapa alasan yang dikemukakan ketua tim pengacara mereka, Ernest John Irving. Ezra menyimak berita itu dengan saksama. Setelah berita hari itu berakhir, Ezra mencari saluran yang menyediakan acara bincang-bincang dengan selebritas.
Saking asyiknya menonton acara televisi, Ezra tidak sadar kalau Widi sudah berada di sampingnya. Ia membawa balsem, koin kerok, dan jamu kemasan anti masuk angin. Widi menyantap pizza yang Ezra bawa. Begitu Ezra menoleh ia terkejut setengah mati.
“Aku kira setan!” seru Ezra
“Setan imut kemasan sachet,” ujar Widi.
“Tadi aku lihat berita tentang iNVT. Nando duitnya banyak banget, ya. Sewa satu tim pengacara untuk menangani kasusnya.”
“Salah satunya teman Nando. Aku enggak tahu sih seberapa dekat mereka. Tapi kayaknya mereka sudah menjadi rekan kerja untuk waktu yang lama.”
“Begitu, ya.” Ezra melirik Widi yang telah menghabiskan potongan pizza kedua. Ia menjilati jarinya yang kotor. Ezra menelan ludah. Ia teringat dengan blow job yang pernah Widi berikan padanya.
Pikiranku kenapa enggak pernah bersih kalau berhadapan dengan orang pendek ini? – Ezra
“Siap, Zra?” tanya Widi.
“Siap? Siap apa?” Ezra lupa dengan tujuan pertamanya ke sini. Kemudian ia ingat kembali. “Oh, ya. Kerokan!”
Ezra langsung duduk memunggungi Widi. Ia membuka bajunya. Widi membersihkan tangan dengan gel antiseptik. Ia membuka balsem dan mengoles sedikit ke punggung Ezra. Bulu kuduk Ezra langsung merinding saat kembali disentuh oleh Widi.
“Kok kamu gemetar?” Widi terkejut.
“Teruskan saja kerokannya.”
“Oke. Kalau sakit, kamu bilang, ya.”
Ezra mengangguk. Widi membaca basmalah dan mulai mengerok punggung Ezra menggunakan koin. Dikerokin Widi itu enak, lho. Ezra saja mengakui. Saat dikerok memang terkadang terasa sakit sesuai kondisi tubuh. Tapi saat tangan Widi lepas dari kulit, rasa sakit itu hilang. Bukannya meninggalkan bekas untuk beberapa saat.
Widi langsung sendawa saat memulai garis kerokan kedua. “Anginnya keluar, Zra. Lewat aku.”
Tubuh Ezra gemetar lagi karena pria itu menahan tawa. Dengan penuh lemah lembut Widi menyelesaikan kerokan dengan rapi dan rapat. Punggung Ezra penuh dengan garis merah di sisi kanan dan kiri, dari bahu sampai pinggang. Tak lupa, Widi memijatnya sebentar agar efek hangat dari balsem menyebar.
“Alhamdulillah. Sehat, sehat, sehat!” Widi menepuk-nepuk punggung Ezra. “Gantian.”
“Sebentar. Napas dulu.” Hidung Ezra yang semula tersumbat kini terasa lebih plong. “Enaknya. Terima kasih, ya.”
“Sama-sama.” Widi membuka baju. Ketika Ezra balik badan, lelaki itu tampak malu menunjukkan tubuhnya. “Aku tambah kurus, ya?”
“Enggak. Langsing saja. Seperti biasa. Mana punggungnya?”
Kini gantian Widi yang memunggungi Ezra. Melihat tubuh kecil itu, Ezra jadi tak tega harus mengeroki punggungnya. Takut kulitnya yang putih mulus malah terkelupas.
“Lakukan saja, Zra. Pelan-pelan,” ujar Widi.
“Jujur aku enggak tega. Bagaimana kalau sakit?”
“Halah! Aku pernah merasakan sesuatu yang lebih sakit dari kamu! Jangan banyak bacot! Cepat kerokin!” Widi mulai ngegas.
“Sesuatu yang lebih sakit? Apaan?” tanya Ezra dengan nada jahil. Ia oleskan balsem ke punggung Widi. Kemudian ia berpikir Widi akan menjawab dengan sesuatu yang berhubungan dengan hubungan intim mereka.
“Saat kamu pergi demi Kenny,” jawab Widi serius.
Ezra mendadak manyun. Ia pun mengeroki Widi sekuat tenaga. Widi sampai mengaduh saking sakitnya.
“Sakit, Zra. Pelan-pelan!”
“Jangan panggil aku ‘Ezra’. Panggil aku ‘Yang Mulia’!”
“Mana mungkin raja ngeroki?”
“Oh, iya.” Kali ini Ezra lebih lembut dalam mengeroki Widi. “Enak?”
“Ya, begitu.”
Ezra terus mengeroki punggung Widi sampai semua penuh dengan warna merah. Selesai mengeroki lelaki itu, Ezra memakai kaosnya kembali. Widi juga. Kemudian keduanya minum jamu anti masuk angin.
“Ben ora mabok. Cheers!” kata Ezra, kemudian ia menenggak obat herbal itu.
Widi merasakan panas di tubuhnya setelah meminum jamu. Rasanya lebih baik dari yang sebelumnya. Ia menatap Ezra yang juga jauh lebih sehat. Mata mereka bertemu. Ezra menggenggam tangan Widi dan tersenyum untuknya. Keadaan ini mengingatkan mereka saat masih awal-awal tinggal bersama. Mereka hanya teman. Tak lebih dari itu.
Jika ditanya apakah mereka masih saling menyayangi, jawabannya ya. Tapi hanya sebagai teman. Bukan level kekasih.
“Kamu kelihatan stres. Kenapa?” tanya Ezra.
“Banyak hal menyebalkan terjadi,” jawab Widi.
“Bagaimana kabar lelaki yang dekat denganmu itu?”
“Aku melupakannya. Sepertinya kami enggak akan jadian. Dia membuat kesalahan di awal yang membuatku ragu untuk menjalin asmara dengannya.”
“Oke. Kau akan sendiri lagi.”
“Ya. Kalau kamu, apa yang terjadi denganmu akhir-akhir ini?”
“Oh, itu ....” Ezra melanjutkan dengan cerita tentang Widuri yang menolaknya untuk datang ke hari pernikahan. Lalu Widuri yang tahu pernikahan Ezra, walaupun putrinya tak tahu dengan siapa Ezra menikah. Ia hanya tahu inisialnya saja. Kemudian diakhiri dengan cerita Widuri yang sudah melunak padanya. Ezra menutup ceritanya dengan berkata, “Aku bahagia.”
“Aku ikut bahagia juga dengan ceritamu.” Widi benar-benar bahagia dan lega mendengar cerita Ezra.
“Apa kau pikir kau akan jatuh cinta lagi?” Ezra menunjukkan saputangan yang ditemukan di bawah bantal sofa. “Ini milikmu?”
“Bukan. Dari kemarin aku cari benda ini. Mau aku cuci dan kembalikan pada pemiliknya.”
Ezra lihat inisial EJI yang dibordir di saputangan. Ia kembalikan benda itu pada Widi. Saat melihat mata Widi yang berbinar, Ezra merasakan ada kebahagiaan di sana. Sorot mata itu sama seperti saat Widi bahagia bersama Jon. Kali ini, Ezra tak akan mengganggu kebahagiaan itu lagi.
*
21 Desember 2023Selamat tahun baru, guys!
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa vote dan komentar kalian ditunggu, lho!
![](https://img.wattpad.com/cover/317717789-288-k273906.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
His Love 3 🌈
RomanceApakah kau akan terus mencintai seseorang yang punya masa lalu sangat buruk?