39.

32 7 5
                                    

“Haaa ..., enak!”

Inilah mangkuk mi ayam kedua yang William habiskan. Ia menarik gelas es teh dan meminumnya dengan hati senang. Widi tersenyum melihat sang putra yang banyak makan sejak datang ke Indonesia. Pokoknya agenda William selama di sini adalah wisata kuliner. Hari itu Sarah ikut pergi dengan mereka. Gadis itu sebenarnya penasaran dengan sosok Ari, tapi belum berani bertanya pada Widi atau William.

“Mau lagi, Will?” Widi menawarkan mangkuk ketiga.

“Tidak, Ayah. Sudah kenyang,” tolak William diikuti senyum lebar.

“Terang saja. Kamu makan seperti babon,” sindir Sarah pada adiknya.

“Mulutmu jahat sekali.” William cemberut dan mengambil satu bungkus kerupuk rambak.

“Eh, jangan bertengkar,” kata Widi pada kedua anaknya. “Ayah mau bayar dulu, setelah itu kita pulang. Sarah, kau mau pulang ke rumah Tania atau rumahku?”

“Rumah Ayah saja. Aku sudah bawa pakaian ganti.”

“Oke.”

Ponsel Widi berbunyi. Ternyata nomor teleponnya dimasukkan ke dalam suatu grup chat. Setelah diteliti ternyata itu grup kelas Widi saat masih kuliah. Di sana seseorang yang bertindak sebagai admin sedang memberikan beberapa informasi terkait reuni kelas. Lokasinya berada di rumah Amanda. Teman sekelas Widi yang dulu gayanya seperti kaum gypsy dengan rambut keriting mengembang seperti Lorde. Alamat Amanda sudah tertera di sana. Acara itu akan diadakan seminggu lagi. Bagi yang hendak ikut segera diminta konfirmasi kehadiran dan mentransfer sejumlah uang akomodasi.

“Ada apa, Ayah?” tanya Sarah.

“Tidak. Ini hanya perihal reuni kelas Ayah saat di universitas.”

“Apa kami boleh ikut?” Mata William sangat berbinar.

“Tentu saja boleh.”

“Asyik! Senang sekali bisa mengenal teman-teman Ayah.”

Widi hanya tersenyum menanggapi ucapan William. Walau dalam hati ia sebenarnya malu untuk datang ke sana. Karena satu kelas sudah tahu kalau Widi adalah seorang penyuka sesama jenis.

Setelah membayar makanan mereka, Widi mengajak anak-anak untuk pulang. Di parkiran kios mi ayam, Widi melihat sosok Ari bersama pria yang kemarin datang ke rumahnya. Kalau dari pakaian yang dipakai Ari, sepertinya pertemuan mereka itu mendadak. Ari masih mengenakan seragam pabrik dan celana panjang hitam, lengkap dengan tas ransel, dan tanda pengenal operator yang tergantung di lehernya.

Widi tak bisa menghindar saat bertatapan dengan Ari.

“Hai,” sapa Ari pada Widi dan anak-anaknya. Ia terpesona melihat sosok Sarah. “Wah! Barbie!”

“I’m not Barbie. I’m Sarah Walter,” ujar Sarah yang membuat Ari tersenyum salah tingkah.

“Mereka ini siapa?” tanya pria yang bersama Ari.

“Oh, ini Mas Widi. Tetanggaku. Dan ini anak-anaknya. William dan Sarah.” Ari menunjuk mereka satu per satu. Kemudian ia berkata, “Oh, ya. Mas Widi, ini Wahid. Temanku.”

Kedua pria itu bersalaman. Entah kenapa Widi merasa jengkel melihat kedekatan Ari dan Wahid. Bersalaman pun sebenarnya enggan dilakukan, tapi rasanya tak enak juga kalau menolak jabat tangan orang lain.

“Mas Widi mau ke mana?”

“Pulang. Sudah selesai makan. Kami duluan, ya.”

“Ya. Hati-hati.” Ari melambaikan tangannya.

Widi berjalan di depan meninggalkan anak-anaknya. Tak seperti biasa ia akan menyuruh anaknya jalan duluan. Sarah dan William berbisik di belakang sang ayah. Mereka mempertanyakan kenapa sang ayah terlihat tidak senang sampai harus meninggalkan mereka. Widi yang mendengar suara anaknya langsung membalikkan badan.

“Aku baik-baik saja, kok!” ucapnya dengan penuh semangat, tapi wajahnya seperti dipaksa supaya terlihat baik-baik saja.

“Tidak apa-apa kalau Ayah merasa cemburu padanya.” Sarah mendekati Widi dan merangkulnya.

“Sepertinya begitu. Nanti kita tidak langsung pulang, ya. Sepertinya Ayah mau keliling Bogor dulu supaya enggak pusing.”

“Boleh saja.”

*

Ezra baru terlelap satu jam ketika dibangunkan oleh azan Subuh. Dengan sangat terpaksa ia membuka matanya yang sembap karena menangis semalaman. Tangannya meraih ponsel dan ketika melihat tanggal yang tertera pada layar, ia sadar kalau hari pernikahan Widuri telah tiba. Ingatannya kembali pada obrolan bersama Widuri. Sang putri mengizinkan Ezra menikahkannya tapi dengan syarat Ezra harus menjauh dari hidupnya setelah itu.

Apa aku mampu? – Ezra

Setelah menguatkan hati, Ezra bergegas merapikan tempat tidur. Kemudian keluar kamar menuju kamar mandi yang terletak di bagian belakang rumah. Ketika melewati kamar sang ayah, Ezra mendengar suara ayahnya yang sedang mengaji dari dalam sana.

Bagaimana bisa orang yang religius seperti kamu punya anak seperti aku? Pak, maafkan Ezra, ya. – Ezra

Ezra meneruskan langkahnya ke kamar mandi. Ia harus mengejar salat Subuh yang begitu singkat waktunya. Dan tentu saja harus pergi pagi-pagi ke pernikahan Widuri karena ijab kabul akan dilaksanakan pukul delapan pagi.

Waktu berjalan. Ezra sedang berada di depan cermin. Ia menatap dirinya yang sudah rapi memakai batik Sidomukti lengan panjang yang didominasi warna cokelat dan celana bahan warna hitam. Ini seragam yang akan dipakai oleh para lelaki dari keluarga mempelai.

“Ezra! Sudah siap? Ayo, berangkat!” panggil Sujimin dari luar kamar.

“Ya, Pak!” sahut Ezra sambil melepaskan cincin pernikahannya. Ia simpan benda itu di dalam dompetnya.

Hari itu Ezra hanya datang bersama sang ayah. Kakaknya yang sedang bertugas sebagai tentara hanya mengirimkan ucapan selamat dan hadiah untuk kedua mempelai. Ketika berada di tempat acara, Ezra segera menemui Rubiyah dan keluarga.

“Mempelai pria sudah datang?” tanya Ezra pada Anton.

“Belum. Masih dalam perjalanan. Penghulunya juga begitu,” jawab Anton.

“Aku boleh lihat Widuri? Aku mau kasih hadiah.” Ezra mengangkat tas kertas yang dibawanya.

“Boleh, Mas.” Anton mencari sosok Rubiyah. “Sini, Bu.”

“Kenapa, Ayah?” Rubiyah tampak kesulitan berjalan dengan kebaya dan kain batik yang membungkus tubuhnya.

“Antar Mas Ezra ke Widuri.”

“Oh, ya. Ayo,”

Rubiyah menuntun Ezra menuju kamar Widuri. Mereka harus melewati banyak orang yang hadir di sana. Beberapa orang yang mengenal Ezra memberikan selamat kepada pria itu karena anak gadisnya akan menikah, Ezra menanggapinya dengan senyum bahagia.

“Mas, tunggu sebentar, ya. Aku cek dulu anaknya lagi apa.”

“Oke.”

Rubiyah memasuki kamar. Di sana Widuri sudah memakai kebaya putih, kain, dan aksesoris khas pengantin Jawa. Roncean melati yang menghiasi kepalanya memberikan aroma yang begitu harum. Di sisi Widuri ada tiga temannya yang menjadi pengiring pengantin. Mereka sedang mengobrol, mengalihkan perhatian agar Widuri tidak gugup.

“Nak, Yaya mau lihat kamu,” kata Rubiyah. Ketika Widuri terlihat akan menolak, Rubiyah langsung menyela, “Jangan ditolak.”

Widuri mendengus kesal. Hal itu membuat ketiga temannya bingung. Rubiyah mengajak Ezra untuk masuk. Pria itu terpesona melihat kecantikan sang putri. Hatinya sangat bahagia sampai tidak bisa bicara. Widuri yang awalnya kesal jadi luluh melihat kebisuan ayahnya.

“Cantiknya permata hati Yaya,” puji Ezra. Ia berlutut di depan Widuri. Sepasang tangan itu digenggam. “Selamat menikah, Anakku. Semoga pernikahan kamu sakinah, mawadah, warahmah. Semoga cepat diberi momongan, lancar rezekinya, dan semua harapan baiknya terkabul. Semoga dihindarkan dari segala hal buruk. Aamiin.”

Ezra menyerahkan hadiah untuk anaknya. Widuri tampak malu saat menerima hadiah itu. Ia tak mau membukanya.

“Hadiah yang cantik, untuk yang wanita yang paling cantik. Wajib diterima,” ujar Ezra, kemudian ia mengusap matanya yang basah. “Jaga diri baik-baik, ya. Yaya keluar dulu.”

Begitu Ezra keluar dari kamar, teman-teman Widuri langsung histeris.

Sebehmu?”

Sebeh itu artinya bapak.

“He’eh ik,” jawab Widuri.

“Papi gula iku!”

“Ganteng banget! Masih duda?” tanya salah satu teman Widuri. “Aku gelem dadi ibu tirimu!”

Widuri langsung melotot untuk menakuti temannya. Ketiga perempuan muda itu tertawa. Widuri memperhatikan hadiah dari sang ayah. Rasa bahagia muncul dalam hati.

Yaya masih peduli. – Widuri

Ketika mempelai pria dan penghulu sudah datang, acara akad nikah segera dimulai. Ini adalah pertama kali Ezra melihat calon suami Widuri, Albani. Terlihat sekali Albani gugup di hadapannya. Apalagi saat tahu yang akan menikahkan Ezra sendiri, ia makin gugup saja.

Kedua orang saksi sudah hadir juga. Tak lama, khotbah nikah dibacakan oleh penghulu. Lalu penghulu membimbing si mempelai pria untuk membaca beberapa bacaan sebelum ijab kabul yang terdiri dari kalimat istigfar, dia kalimat syahadat, dan selawat.

Ezra dan Albani dituntun untuk saling menjabat tangan kanan.

“Saudara Albani Rasyid bin Abdul Rasyid, saya nikahkan dan saya kawinkan Anda dengan anak perempuan saya Widuri Diana Yudhistira dengan emas kawin dua belas gram logam mulia dibayar tunai.” Ezra menatap calon suami anaknya.

“Saya terima nikah dan kawinnya Widuri Diana Yudhistira binti Ezra Yudhistira dengan emas kawin tersebut dibayar tunai,” ucap Albani dengan lancar.

“Bagaimana para saksi, sah?” tanya sang penghulu.

“Sah,” jawab kedua saksi bersamaan.

“Alhamdulillah.”

Sang penghulu langsung membacakan doa penutup setelah pembacaan ijab kabul yang diamini oleh seluruh tamu yang hadir. Terlihat Ezra menghapus air mata haru.

Setelah doa penutup, Widuri dibawa masuk ke ruang akad nikah oleh Rubiyah. Di sana ia dan Albani menandatangani buku nikah dan dokumen lainnya di hadapan penghulu dan petugas pencatat nikah.

Pasangan pengantin itu difoto sambil memamerkan cincin dan buku nikah. Lalu dilanjutkan beberapa acara adat. Ezra menepi ke sisi lain panggung saat acara sungkeman dimulai. Ia tak ingin terlihat menyaksikan putrinya yang sedang bahagia, ia tak mau mengganggu Widuri. Toh tugasnya sudah selesai.

Seorang wanita tua yang berdiri di samping Ezra tiba-tiba menepuk lengannya.

“Mas, itu lho Ibu Rubiyah melambaikan tangannya.”

Ezra menoleh ke arah panggung. Rubiyah memberikan isyarat agar Ezra naik ke panggung. Tapi Ezra menggelengkan kepalanya.

“Sana, Mas. Masa anak sendiri nikah, tapi ndak ada foto sama bapak kandungnya?”

Nggih, Bu. Saya ke sana dulu.”

Ezra naik ke panggung. Rubiyah langsung menyuruhnya duduk di kursi orang tua mempelai perempuan. Saat Widuri dan Albani selesai sungkeman pada orang tua Albani, Rubiyah menyuruh Widuri untuk sungkeman pada Ezra. Ia juga meminta pada fotografer untuk mengambil gambar.

“Doakan kami semoga rumah tangga kami baik-baik saja ya, Ya,” pinta Widuri pada sang ayah.

“Ya, Nak. Aamiin. Yaya mengamini semua doa yang baik-baik untuk kamu dan suami,” ucap Ezra sambil mengelus bahu anaknya.

Kini giliran Albani yang sungkem pada Ezra. “Terima kasih sudah menikahkan kami. Doakan kami agar selalu bersama sampai maut memisahkan.”

“Ya. Jaga anak saya baik-baik.”

Gambar sudah didapatkan. Widuri dan Albani mulai dijajarkan lagi di kursi pengantin. Widuri menyeka air matanya. Ezra turun dari kursi orang tua mempelai perempuan.

“Terima kasih, ya,” bisik Ezra pada Rubiyah.

“Sama-sama. Terima kasih juga sudah melakukan tugas dengan baik,” kata Rubiyah.

Pria itu tersenyum sambil mengangguk, lalu ia meninggalkan tempat itu untuk duduk dan membaur dengan tamu yang lain. Dari kursinya Ezra melihat sang ayah sedang bicara dengan orang tua Rubiyah. Ia kembali menatap ke arah pelaminan, ada rasa sedih dalam hati yang tak terlukiskan.

Apa benar setelah ini aku enggak boleh bertemu lagi dengan Widuri? – Ezra

Dari arah panggung musik, seorang penyanyi pria mulai menyanyikan lagu untuk kedua mempelai. Ezra ingat ini lagu yang dulu juga dimainkan di pernikahannya dengan Rubiyah. Suara si penyanyi yang begitu lembut terdengar sangat familier di telinga Ezra.

“Tommy,” gumam Ezra saat melihat sosok Tommy di panggung.

Mata mereka bertemu. Tommy memberikan seulas senyum pada teman lamanya itu.

Selepas bernyanyi, Tommy mendekati Ezra. Keduanya bersalaman dan berpelukan.

“Apa kabar, Zra?” tanya Tommy.

“Baik. Kamu?”

“Alhamdulillah, baik.”

“Duduk sini, Tom. Aku sudah ambil jajanan pasar dan minum untuk kamu.”

“Wah, terima kasih, ya.”

Keduanya duduk berdampingan. Tommy tak menyangka bisa melihat Ezra lagi. Apalagi sosok Ezra yang sekarang membuat Tommy pangling.

“Aku enggak sangka bisa bertemu kamu lagi.”

“Aku juga enggak sangka bisa sampai di sini.”

“Kok begitu?”

“Panjang ceritanya.” Ezra menusuk sedotan ke air minum kemasan gelas. “Datang sama siapa ke sini?”

“Sendiri. Istriku datangnya masih lama. Dia datang dengan rombongan guru-guru perempuan.”

“Wah, istrimu guru juga, toh?” tanya Ezra. “Mengajar di mana?”

“Ya. Dia mengajar di SMA yang sama dengan Rubiyah.”

“Kalau kamu sekarang mengajar di mana?”

“Sudah enggak mengajar. Aku sudah jadi kepala sekolah, Zra.”

“Keren,” puji Ezra.

“Enggak, kok. Kariermu pasti lebih keren dari aku, Zra.”

“Karier apa? Aku hanya penjual rempah-rempah,” canda Ezra. Ia mengeluarkan ponselnya. “Aku minta nomor teleponmu. Mungkin kita bisa mengobrol di luar.”

Tommy meraih ponsel Ezra dan mengetikkan nomornya di sana. Ia kembalikan pada Ezra ketika sudah selesai. Saat keduanya hendak mengobrol lagi, tiba-tiba Sujimin datang.

“Zra, antar Bapak pulang. Hadiah buat Widuri masih di rumah.”

“Ya. Ayo, pulang,” sahut Ezra. Ia menatap Tommy. “Kalau kamu senggang, besok bisa bertemu lagi enggak? Nanti aku jemput dan kita nongkrong di Simpang Lima.”

“Boleh. Hubungi aku saja.”

“Oke. Pulang dulu, Tom.”

“Ya. Hati-hati.”

*

12 Desember 2023

Terima kasih sudah membaca.

Mmuach...

His Love 3 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang