Sabtu itu, pukul delapan pagi William dan Ezra sudah berada di pintu masuk Franklin Canyon. Suasana hari ini sangat cerah, cocok sekali untuk beraktivitas di luar ruangan. Selain mereka, banyak pengunjung lain yang hadir. Beberapa di antara mereka membawa hewan peliharaannya. William sedang mengencangkan tali sepatunya agar tidak mudah lepas. Setelah itu ia menggendong ransel di punggung dan menghampiri Ezra yang sedang melihat peta di sana. Ezra menunjuk daerah reservoir.
“Kita akan ke sana. Sudah siap?” tanya Ezra.
“Siap,” jawab William.
Keduanya mulai memasuki Franklin Canyon. Mereka mengikuti markah yang akan mengantarkan ke arah reservoir. William memerhatikan sekelilingnya, mencari sesuatu yang menarik. Sejauh ini, semua tampak membosankan. Ezra melihat wajah tak puas William. Ia mulai berpikir jika William tak sungguh-sungguh ingin pergi bersamanya.
“Sebenarnya kau tidak ingin pergi bersamaku, kan?”
William menoleh. “Aku ingin pergi bersamamu. Aku butuh udara segar. Aku bosan dengan rutinitasku.”
“Tapi ....”
“Tapi aku kesal.”
“Kenapa?”
“Ayah,” jawab William dengan jujur. “Aku merasa, Ayah meremehkan cita-citaku.”
“Kenapa kau merasa begitu?”
William menjelaskan pada Ezra tentang pembicaraan semalam dengan sang ayah. Ezra menangkap kegelisahan William dalam cerita itu. Ia juga tak menyangka William akan menceritakan hal ini padanya. Mereka berjalan cukup jauh sambil mendengarkan cerita William. Ezra tidak menyela sama sekali.
“Bagaimana menurutmu?” tanya William di akhir cerita.
“Dia hanya mengkhawatirkan masa depanmu,” jawab Ezra. “Dia takut kau kenapa-kenapa di masa depan.”
“Ayah selalu begitu. Khawatir.” William meremehkan sikap sang ayah. “Sejak kecil, Ayah memaksaku ikut kelas memasak, kelas berenang.”
“Ayahmu begitu karena dia menjalani dua peran. Sebagai ibu, juga sebagai ayah. Ibu takut anaknya kenapa-kenapa. Tapi ayah takut anaknya tidak bisa apa-apa.” Ezra menyingkirkan dahan pohon besar yang menghalangi jalan mereka. Ia letakkan di bawah pohon sisi jalan. “Sebenarnya, mana yang lebih kau idamkan, menjadi dokter hewan atau dokter forensik?”
“Dokter hewan.”
Ezra meminum sedikit air dari botolnya. “Yakinkan ayahmu kalau semua impianmu tidak akan sia-sia. Ayahmu itu gampang sekali luluh jika dibujuk. Tapi kau harus tepati ucapanmu. Kalau tidak, dia akan sangat kecewa. Aku yakin kau tak akan mengecewakan ayahmu.”
William merasa tersanjung dengan ucapan Ezra. Senang sekali ada seseorang yang masih percaya padanya. “Oke. Aku akan mengingat hal ini.”
Keduanya mulai berjalan lagi. Perasaan William mulai membaik. Semakin mereka memasuki area hutan, mereka mulai mendengar suara burung. Mata mereka tertuju pada keluarga gay yang sedang beristirahat. Mereka kompak memakai kaos bertuliskan rainbow family.
“Kau pernah merindukan Jon?” tanya Ezra.
“Sering. Aku tumbuh bersamanya. Kehilangan Papa membuatku merasa aneh. Rasanya seperti tidak punya teladan untuk menjadi pria sejati.”
“Ayahmu pria sejati.”
“Tidak gagah. Maksudku, Ayah baik. Tapi dia terlalu feminin. Aku ingin punya seorang ayah yang bisa mengajariku bersikap layaknya pria. Dulu aku pikir, aku akan baik-baik saja tanpa Papa. Ternyata salah.”

KAMU SEDANG MEMBACA
His Love 3 🌈
RomanceApakah kau akan terus mencintai seseorang yang punya masa lalu sangat buruk?