7.

47 12 18
                                        

“Sayang, aku pulang dulu ke Indonesia, ya. Doakan aku supaya selamat sampai di sana. Kamu jaga diri baik-baik. Dan teruslah berbahagia.”

Pesan suara dari Ezra baru bisa didengarkan oleh Widi saat istirahat. Sangat disayangkan Widi tak bisa melepaskan kepergian Ezra di bandara. Tapi, mereka sudah melewati malam yang indah. Widi menginap di apartemen Ezra. Keduanya tidur bersama, berbagi kehangatan. Hanya tidur, bukan berhubungan intim. Semakin dewasa mereka semakin sadar kalau cinta itu tidak selalu tentang seks.

“Dia sudah pergi, ya?” tanya Nando yang masuk ke dalam ruang karyawan.

“Ya.” Widi kembali mengunyah roti isi bekalnya hari itu.

“Kau ada rencana pergi ke Indonesia?” Nando duduk di lantai bersama Widi.

“Aku akan pergi jika tabunganku cukup.”

“Alasan basi.” Nando terkekeh. “Kau punya banyak uang yang tidak kau sadari. Gaji sebagai baker, gaji sebagai pemodal bakery, belum lagi keuntungan yang kau dapatkan selama mengurus properti, saham, dan peninggalan suamimu yang lain. Sebenarnya uang bukan masalah bagimu.”

Widi tersenyum tipis. Nando benar. Uang bukan masalah bagi Widi. Peninggalan Jon sudah cukup untuk membiayai sekolah anak-anak sampai lulus kuliah S1, juga cukup untuk biaya sehari-hari. Dengan catatan hidup sederhana. Bukan foya-foya a la sultan.

“Sudah berapa lama kau tak pulang ke Indonesia?”

“Entahlah. Aku tak menghitung. Terakhir itu saat anak-anak masih kecil. Setelah itu sepertinya aku tak pernah pulang lagi. Setelah Jon meninggal, kakakku memintaku pulang ke Indonesia. Tapi aku tak tega berpisah dengan Sarah dan Mama Louisa.”

“Apa kau diminta untuk menikah lagi?”

“Ya. Menikah dengan wanita. Mereka bilang aku harus berubah, jangan lagi menaruh hati pada pria.”

“Tapi kini kau jatuh cinta lagi pada pria. Apa kau memikirkan sebuah pernikahan dengannya?”

“Jujur, aku tak memikirkan pernikahan dengannya. Dia akan kehilangan putrinya jika itu terjadi.” Widi terdiam. Tiba-tiba air mata meluncur dari sudut matanya.

“Hubungan asmaramu enggak toxic, kan?”

“Enggak.” Widi berusaha tersenyum sambil menghapus air matanya. “Hanya saja ini terasa berbeda. Saat dengan Jon, segalanya terasa jauh lebih mudah. Keluarganya menerimaku. Sedangkan dengan Ezra, aku rasa, hm, entahlah. Ezra saja sampai sekarang tak pernah melela pada keluarganya. Satu-satunya yang tahu kalau Ezra adalah gay, hanya mantan istrinya.”

Air mata Widi kian deras. Nando menawarkan sapu tangan miliknya untuk dipakai lelaki kecil itu. Widi mengambilnya sambil bergumam terima kasih.

“Ronan ada di kantornya?” tanya Widi yang mengalihkan pembicaraan.

“Tidak. Ia sedang pergi ke bank untuk menyelesaikan beberapa urusan. Aku yang hari ini bertanggung jawab atas tempat ini.” Nando berdiri lagi. “Kalau ada masalah segera bicara padaku atau Ronan. Jangan suka memendamnya sendirian.”

Nando keluar dari ruangan karyawan. Widi menatap sapu tangan milik Nando, kemudian kembali mengelap matanya yang basah.

*

Heinrich memotong tipis sajian falscher hase yang telah matang. Hari ini ia sengaja memasak makanan lezat itu demi membujuk suaminya agar tidak mengambek lagi. Dengan keahlian a la koki bintang lima, ia menata irisan daging itu ke dalam piring, lalu menambahkan gravy, kentang tumbuk dan sayuran yang ditumis dengan minyak zaitun. Tampak sangat lezat.

His Love 3 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang