9.

58 11 28
                                    

Sebuah jari telunjuk menyentuh pucuk hidung Widi berkali-kali. Hal itu benar-benar mengganggu Widi yang tengah tidur. Masih dalam keadaan memejamkan mata, Widi meminta pada si pelaku untuk menghentikan aksinya. Namun, sentuhan itu semakin lama malah semakin kasar.

“Apaan, sih?!” pekik Widi sambil membuka mata. “Eh?!”

Seulas senyum menghiasi wajah si pelaku yang begitu tampan. Sepasang mata biru menawan miliknya membuat hati Widi seketika menjadi adem. Kini pipi Widi malah bersemu merah saking malunya karena telah berteriak pada lelaki tampan itu.

“Rasanya seperti mimpi,” gumam Widi.

“Memang mimpi. Di mana lagi kita bisa bertemu jika bukan dalam mimpi?” Jon langsung duduk dan meregangkan tubuhnya. “Sini. Aku rindu memangku dan memeluk tubuhmu.”

Widi beranjak dari tempat berbaring dan naik ke pangkuan Jon. Keduanya saling berhadapan, saling menatap penuh cinta. Jon mendekap erat tubuh Widi. Ruangan terasa hening dan hangat saat kulit mereka bersentuhan. Widi tersenyum, tangannya merengkuh balik tubuh Jon.

I miss you, sudah lama kamu enggak datang ke tempatku,” ucap Jon.

Tempat yang Jon maksud tentu saja makamnya. Widi baru sadar kalau ia sudah lama tidak pergi ke sana, rasanya jadi tidak enak hati. Ia mengelus punggung Jon.

“Aku juga rindu padamu. Maafkan aku. Aku begitu egois sampai tidak bisa menyempatkan waktu untuk datang ke sana.”

Keduanya melepaskan pelukan. Jon mengelus pipi kiri Widi. Ia berkata, “Tak apa-apa. Selama kau berbahagia, tak apa-apa jika lupa padaku.”

“Jangan bicara begitu.” Widi merajuk.

“Apa kau bahagia, Cherry Lips?”

“Entahlah. Aku bingung. Kadang aku merasa kalau aku berbahagia di atas penderi—“

Jon meletakkan jari telunjuk di depan bibir Widi. Lelaki pirang itu menggeleng pelan. “Sekarang kau hanya perlu merasa bahagia tanpa memikirkan perasaanku. Aku sudah bahagia di duniaku yang baru. Ya meskipun kurang lengkap tanpa kamu.”

“Tentang Ezra ....”

“Tak apa-apa. Dia memang kurang ajar. Termasuk padamu. Tapi sebenarnya dia tulus, kok.”

“Bagaimana kau bisa menilai seseorang seperti itu?”

“Kalau saat itu dia tidak bertindak bodoh pada Kenny, juga tidak menikahi perempuan pilihan ibunya, kaulah satu-satunya orang yang akan mendampinginya.” Jon menghela napas panjang. “Kau pernah merasa bahagia bersamanya karena dia sangat jauh berbeda denganku. Hidupku lebih sering lurus-lurus saja. Sedangkan hidupnya berkelok-kelok, naik dan turun, lebih banyak petualangan.”

“Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain, Jon.”

“Oh, ya. Aku lupa.” Jon tersenyum malu-malu. “Pokoknya nikmatilah hidupmu dengannya.”

“Kau merestui kami?” Dahi Widi berkerut.

“Ya. Tapi kalau Tuhan berkehendak lain, ya jangan marah.”

“Aku kira kau akan cemburu.”

“Kebahagiaanmu lebih penting. Kalau cemburu bisa membuatku hidup lagi, aku pasti akan cemburu.” Jon tertawa terbahak-bahak.

“Padahal aku hendak menumbalkan Ezra pada raja iblis demi menghidupkan kamu lagi.” Widi berpura-pura sedih. Bibirnya dimajukan, pipinya menggembung.

“Jangan ngaco! Syirik itu namanya. Sudah, ah! Bangun sana!” Jon mendorong Widi sampai jatuh ke belakang.

*

His Love 3 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang