5.

70 10 21
                                        

“Maafkan aku.”

Widi menatap Zoh yang wajahnya memerah karena malu. Mungkin dia sudah sadar atas perbuatannya. Apa yang dia perbuat sedikit mengingatkan Widi pada sosok Arin. Seorang perempuan cantik yang mengungkapkan perasaannya pada Widi secara terang-terangan, tapi langsung patah hati saat tahu kalau Widi gay. Saat itu Widi mencium bibirnya dengan tujuan menghibur Arin. Sekarang ia berpikir apakah Zoh menciumnya untuk menghibur hatinya yang patah karena Widi terlihat akan memilih Ezra?

“Aku pulang dulu. Aku akan mengurus surat pengunduran diri secepatnya.”

“Eh! Zoh!” Widi hendak menahannya untuk bicara sebentar. Namun, Zoh tak mengindahkan panggilan Widi. Ia terus saja berjalan menjauh. “Zoh!”

Lelaki tampan itu berdiri dari duduknya. Bisa saja ia mengejar Zoh, tapi kali ini ia memutuskan untuk tidak melakukannya. Lalu Widi balik badan dan mencari jalan pulang. Ia melewati kawasan pertokoan sebelum sampai ke halte bus. Saat melewati sebuah apotek, Widi memutuskan untuk membeli beberapa stok vitamin yang habis.

Dalam keranjangnya kini sudah dipenuhi banyak vitamin untuk ia dan keluarganya. Ketika hendak membayar, ia melewati rak yang berisi bermacam-macam kondom dan lubrikan. Kemasannya yang berwarna-warni begitu menarik perhatian. Belum lagi jika produk mengandung aroma makanan atau buah, di kemasannya sering diberikan gambar yang menarik seperti kemasan permen.

Widi tersenyum saat melihat sebuah kemasan kondom dengan gambar cokelat batangan di kotaknya. Ia teringat dengan William saat masih balita yang ngotot ingin membelinya karena ia kira itu adalah permen. Anak itu sampai menarik-narik celana Widi sambil menangis. Terpaksa Jon dan Widi membelikannya. Waktu itu wajah sang kasir dan pengunjung apotek seperti menahan tawa saat William dengan senangnya berkata, “Hore! Aku dibelikan cokelat!”

Sebuah lubrikan favorit Widi juga terpajang di sana. Dengan cepat ia meraihnya. Tapi, sebuah tangan juga sedang menyasar lubrikan yang sama sehingga tangan itu menyentuh tangan Widi.

“Maaf!” ucap mereka serentak.

Kini mereka saling menatap. Widi terdiam saat menyadari kalau itu adalah Ezra. Wajah nakalnya perlahan muncul.

“Lebih nyaman pakai lubrikan,” ujar Widi seolah tahu kira-kira apa yang akan ditanyakan Ezra. Ia mengambil sebotol lubrikan varian lidah buaya.

“Aku juga.” Ezra mengambil benda yang sama. “Wajahmu lesu sekali.”

“Mungkin karena banyak masalah.”

“Mau berbagi denganku?”

Widi menatap Ezra. Ia mulai mempertanyakan, apakah ini saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya?

“Oh, ya. Kau tak akan mau melakukannya.” Ezra mendahului Widi menuju kasir.

“Bagaimana jika aku mau?”

“Baiklah. Di mana?”

“Tempat yang lebih privat mungkin.”

Alis Ezra naik sebelah. Saat sang kasir menyebutkan harga barang yang harus dibayar, Ezra langsung mengambil uang dari dompetnya.

“Rumahmu?” Ezra menyingkir dari kasir agar Widi bisa membayar barangnya.

“Di rumahku banyak penggemarmu. Mana bisa bicara empat mata?!” geram Widi.

“Baiklah. Kita ke apartemenku saja.”

Ezra langsung meninggalkan Widi di depan kasir. Perasaan Widi begitu campur aduk. Bahagia, takut, sedih menjadi satu. Ia harap ini bukan keputusan yang salah.

*

Apartemen yang Ezra sewa sudah terisi dengan furnitur. Entah berapa banyak uang yang Ezra keluarkan untuk menyewa apartemen ini selama sebulan. Tempat ini terlihat begitu nyaman dan berkelas. Kadang Widi merasa minder dengan pencapaian Ezra dan Jon. Mereka begitu sukses dalam karier masing-masing. Widi merasa kariernya jalan di tempat.

His Love 3 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang