Pukul sepuluh pagi Widi sudah sampai di iNVT sambil membawa satu lusin cupcake kecil bertema glitter pesanan Nando. Sayangnya, Widi tertahan di ruang tunggu dan tak bisa masuk ke ruang kerja Nando. Menurut asisten Nando, pria itu sedang mengadakan pertemuan dengan pengacaranya. Jadilah, Widi menunggu selama tiga puluh menit bersama si asisten. Itu pun mereka hanya diam-diaman karena si asisten sibuk menyusun jadwal Nando untuk dua bulan ke depan.
Ronan keluar dari ruangan Nando dan menghampiri Widi di ruang tunggu. Ia tampak lega karena cupcake yang dipesan sudah datang.
“Syukurlah kau sudah datang. Nando butuh kue ini segera. Aku bawa masuk, ya. Kau tunggu sebentar di sini,” ujar Ronan. Ia membawa cupcake dalam boks itu masuk ke ruangan Nando.
Belum sempat Widi menjawab, Ronan sudah menghilang di balik pintu. Widi menunggu lagi sekitar sepuluh menit sampai Ronan kembali. Pria itu langsung menyuruh asisten Nando untuk menyingkir karena akan bicara empat mata dengan Widi.
“Ada apa?” tanya Widi saat Ronan berhasil mengusir asisten Nando.
“Aku mau minta maaf,” jawab Ronan.
Widi menghembuskan napas berat. “Aku sudah memaafkanmu. Akan aku jadikan kejadian itu sebagai rahasia. Aku juga sudah melupakan Eli. Sudah. Jangan tanya apa pun lagi.”
Ronan terlihat senang. Ia memeluk Widi. Sebenarnya banyak hal yang ingi dia tanyakan tentang kenapa Widi memaafkannya. Tapi ia menuruti perintah Widi untuk tidak bertanya apa pun lagi. “Terima kasih. Aku janji tidak akan mengecewakanmu lagi.”
“Sama-sama.”
Pintu ruangan Nando terbuka. Ernest John Irving keluar dari sana diikuti oleh seorang pria yang membawa boks cupcake dari Widi. Mungkin itu asistennya.
“Cupcake ....” gumam Widi tak percaya.
“Ya. Itu untuk Ernest,” jelas Ronan.
Tiba-tiba Widi teringat sesuatu. Ia bergegas menyusul Ernest dan pria itu sebelum turun menggunakan elevator. Ronan yang kebingungan akhirnya mengikuti Widi juga.
“Permisi! Halo!” Widi memanggil kedua orang itu.
Ya! Ernest dan si asisten berhenti. Namun, Ernest berbisik pada si asisten dan pria itu melanjutkan perjalanan menggunakan elevator tanpa Ernest. Widi berhasil berhadapan dengan Ernest.
“Halo. Ada perlu apa kau memanggilku?” tanya pria itu dengan ramah.
“Halo. Pak Irving, aku ingin mengembalikan sesuatu.” Widi mengeluarkan saputangan milik Ernest yang dibungkus dengan plastik transparan agar bersih. “Ini milikmu. Terima kasih sudah meminjamkan padaku.”
“Sama-sama.” Ernest mengambil saputangan itu. “Sebenarnya tidak dikembalikan pun tidak apa-apa. Oh, ya. Aku mengingatmu. Kau adalah temannya Nando.”
“Ya. Aku tidak enak hati jika tidak mengembalikan saputanganmu. Hm, aku sudah mencucinya juga. Aku jamin saputangannya sudah wangi.”
“Terima kasih sudah mencucinya. Ada lagi yang ingin kau sampaikan?”
“Tidak ada.”
“Baiklah. Aku pergi dulu. Semoga harimu menyenangkan.” Ernest kemudian berjalan menuju elevator. Widi melambaikan tangan dan menatapnya sampai menghilang di matanya.
Ronan yang mengintip semuanya dari sudut ruangan langsung menghampiri Widi. “Kau tampak seperti remaja yang jatuh cinta?”
“Aku suka berada di dekatnya. Aroma tubuhnya mirip dengan suamiku.”
“Kau jatuh cinta?”
“Tidak. Hanya mengagumi.”
“Benarkah?” tanya Ronan sekali lagi. “He’s single, by the way!”
“Single?”
Ronan berjalan duluan diikuti oleh Widi. Dari sudut matanya Ronan mampu melihat jika Widi seperti tertarik dengan kata single yang Ronan ucapkan. Ronan tidak bohong. Ernest John Irving memang sedang melajang. Menurut informasi yang dikatakan Nando, pria itu melajang karena pasangannya meninggal karena sakit. Ia juga punya beberapa informasi tentang Ernest yang bisa dibagikan pada Widi.
“Ya. Single. Kalau mau tahu lebih banyak, ayo ikut aku. Kita ngobrol di luar kantor,” pungkas Ronan.
*
Siapakah Ernest John Irving?
“Dia adalah pengacara Nando. Teman bisnis juga. Usianya 58 tahun. Aku tahu usia pastinya karena pernah datang ke acara pesta ulang tahun pria itu. Oh, ya. Dia pernah menikah, sayangnya sang istri meninggal karena sirosis hati. Lima tahun setelah istrinya meninggal, ia membuka hati dengan menjadi sugar daddy bagi seorang mahasiswa fakultas hukum. Dia membiayai pemuda itu sampai lulus, lho. Kemudian mereka berpisah karena Ernest tidak bisa menemukan masa depan bersama pemuda itu. Semacam kurang cocok mungkin, ya.
Sudah dua tahun ini dia melajang. Dia tipe orang yang setia, disiplin, taat aturan. Mirip Jon. Bahkan aroma tubuhnya pun mirip-mirip, aku agak terkejut dengan pilihan parfum mereka yang sama mereknya,” jelas Ronan panjang lebar.
“Kau sudah kenal lama dengannya, tapi tidak memberitahu aku?” Alis Widi menukik. “Jahat sekali.”
“Untuk apa aku harus memperkenalkannya padamu?” Ronan menyuapi mulutnya dengan gelato. “Nanti kamu baper. Kau kan paling sensitif jika ada sesuatu yang berhubungan dengan Jon.”
Widi manyun. Ia menggigit gelato dengan kasar. Ronan tersenyum jahil saat melihat Widi kesal. Keduanya menatap lurus ke arah taman bermain yang penuh anak-anak dan orang tua mereka. Widi teringat pada Jon yang sering membawanya dan anak-anak ke taman. Sedangkan Ronan teringat pada Celestino.
“Celestino sering memintaku main sepak bola di sini. Padahal aku payah sekali dalam olahraga. Dia suka melihatku kalah,” cerita Ronan sedikit tertawa.
“Kalau Jon, dia lebih suka piknik di sini. Hiburan murah meriah saat kami tidak tahu mau ke mana.”
“Oh, ya. Sarah sudah kembali ke Palo Alto?”
“Sudah. Ia dijemput oleh Kolya kemarin.”
“Sepertinya mereka sangat cocok, ya.”
“Ya. Sarah berharap dengan hal ini, Jon akan bangkit dari kuburnya.” Widi dan Ronan tertawa keras. “Mengerikan sekali.”
“Mungkin suatu hari, kau akan menikahkan mereka.”
“Semoga.”
Ronan tiba-tiba mengeluarkan ponselnya. Ia mengetik sesuatu di sana. Sebuah pesan untuk Nando. Widi melirik sejenak, ia tahu akan ditinggalkan sebentar lagi. Dengan cepat ia menghabiskan gelato di tangannya. Kalau Ronan pergi, rencananya ia akan pulang.
“Aku harus kembali ke iNVT.” Ronan berdiri dari duduknya.
“Aku juga akan pulang.” Widi ikut berdiri. Keduanya saling berjabat tangan. “Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.”
*
“Ke mana saja kau?”
Omelan William menyambut Noel yang baru pulang. Sudah seharian ia tidak melihat Noel di dalam rumah. Kucing itu berkelana entah ke mana. Noel tiba-tiba mendekati William. Ia menggigit dan menarik ujung celana William, seolah-olah ingin William ikut dengannya.
“Ke mana?” tanya pemuda itu sambil mengambil ponsel di atas meja makan. Noel mengeong. “Oke. Kita pergi.”
Noel berlari mendahului William. William terpaksa menambah kecepatannya. Sepertinya ini sesuatu yang gawat, setidaknya bagi kucing. Dan sampailah mereka di sebuah taman. Noel mengajak William ke sebuah perosotan. Awalnya William kira Noel ingin bermain, tapi kucing jantan itu mengajaknya ke bagian bawah perosotan.
“Poor thing!” ucap William saat melihat seekor kucing tabby mackerel berbulu paduan putih dan garis hitam. Napas si kucing tersengal-sengal, tubuhnya kurus dan tampak sangat kelelahan. William menggendongnya dan membawa pulang kucing itu bersama Noel.
Hal pertama yang William lakukan Adalah memberi makan dan minum kucing itu. Selesai makan dan minum, si kucing terlihat lebih segar. Barulah William memandikannya dengan air hangat. Ia bersihkan tubuh kucing itu dengan sangat teliti. Saat memandikan itulah William menemukan kalung yang dipakai si kucing menunjukkan sebuah nama dan alamat rumah. Nama yang tertera di sana adalah Cat De Luna.
“Pantas saja badan dan bulumu terlihat sangat terawat untuk ukuran kucing yang terlantar. Mungkin kau hanya tersesat.”
Selesai mandi, William mengeringkan buku kucing dengan pengering rambut. Kucing itu menurut. Dan ketika melihat kuku si kucing, ternyata kukunya masih pendek. Itu artinya ia belum lama hilang setelah diberikan perawatan.
“Ayah!” sapa William pada Widi setelah membersihkan kucing temuannya secara maksimal.
“Ada apa?” tanya Widi sambil membuat kulit lumpia.
“Noel menemukan kucing betina. Di kalungnya ada nama dan alamat si pemilik kucing. Bolehkah besok Ayah mengantarku ke sana setelah pulang sekolah?”
Widi menoleh pada William. Ia melihat kucing dalam gendongan putranya. “Boleh.”
“Terima kasih.”
“Itu kucing jantan atau betina?” tanya Widi pada putranya.
William mengangkat kucing tinggi-tinggi demi melihat apakah kucing itu memiliki biji testis. Ternyata tidak punya. “Betina, Ayah.”
“Oh. Hati-hati. Noel sedang birahi. Pisahkan. Bisa-bisa kucing orang dihamili.”
“Ya. Noel akan tidur denganku. Si cantik ini akan tidur di kandang Noel.” William mengelus kucing betina itu. Kemudian ia meninggalkan Widi sendirian di dapur, pergi bersama kedua kucingnya.
*
Sesuai permintaan William, Widi menjemput sang putra di sekolah bersama kedua kucing di rumahnya. Widi menunggu cukup lama karena datang terlalu awal. Ketika mendengar bel sekolah yang berdering, diikuti dengan keluarnya anak-anak dari dalam gedung itu, Widi tahu, waktu belajar telah usai.
William masuk ke dalam mobil. Ia disambut oleh Noel yang langsung duduk di pangkuannya. Tanpa bicara apa-apa, Widi mengemudikan mobilnya menjauh dari sekolah.
“Kita pergi ke alamat rumah kucing itu, lalu pulang, ya.”
“Ya, Ayah.”
Alamat di kalung kucing itu mengantarkan mereka ke sebuah perumahan yang terlihat nyaman, tenang, dan begitu rapi. Sebuah rumah dengan nomor yang sesuai dengan alamat membuat Widi menghentikan laju mobilnya. Ia mulai bersiap untuk turun bersama sang anak dan kedua kucing itu. William turun duluan, meninggalkan Widi yang menggendong dua kucing.
William yang sampai di depan pintu langsung menekan bel. Pintu terbuka. Seorang pria yang masih menggunakan celemek masak warna cokelat muncul setelah pintu terbuka.
“Halo, siapa kau? Apa ada yang bisa aku bantu?”
“Halo, namaku William. Aku menemukan seekor kucing betina di taman, dari alamatnya itu menunjukkan kalau kucing itu tinggal di sini. Apa kau kehilangan kucing?”
“Kucing?” tanya pria itu. Ia melihat Widi yang mendekat dan berdiri di belakang William. Pria itu tersenyum ramah.
Jantung Widi berdebar melihat senyuman itu. Ernest John Irving, pria yang akhir-akhir ini membuat Widi panas dingin kembali muncul di hadapannya. William yang melihat wajah jatuh hati ayahnya langsung menangkap sinyal-sinyal aneh.
“Itu kucingmu, kan?”
Pertanyaan William membuat kedua pria itu kembali tersadar. Mereka terlihat salah tingkah. Terutama Widi. Widi menyerahkan kucing betina itu pada Ernest.
“Ya. Ini kucingku. Aku mencarinya ke mana-mana. Terima kasih sudah mengantarnya pulang,” ucap Ernest. Ia tatap kucingnya. “Kau pergi ke mana saja, Nona?”
“Baiklah. Jaga baik-baik kucingmu. Kami pamit pulang. Sampai jumpa!” kata William.
“Bisakah kalian tinggal sebentar?” tanya Ernest ketika William dan Widi hendak membalikkan badan. Setelah ayah dan anak itu menghadapnya lagi, Ernest menambahkan, “Aku membuat butter cake. Sudah matang. Sedang didinginkan. Kita bisa menikmatinya bersama dengan teh hangat.”
“Aku suka butter cake,” ujar Widi yang membuat William memutar bola mata.
“Oke. Sepotong saja, ya,” kata William pada sang ayah.
“Ayo! Mari masuk!”
Ernest memberikan jalan agar Widi dan William bisa masuk ke rumahnya. Dalam hati, Widi sangat senang. Rasanya keberuntungan sedang berpihak padanya akhir-akhir ini. Pokoknya senang, senang, senang!
*
Pintu ruang kerja Nando terbuka dengan kasar. Tanpa ketukan, tanpa salam, Ronan masuk bagaikan angin tornado. Detik selanjutnya ia melemparkan sebuah amplop cokelat ke atas meja Nando. Nando menatap amplop itu dengan penuh tanda tanya. Kemudian menatap Ronan yang wajahnya memerah. Sepertinya ia akan meledak.
“Bello, you’re here!” Nando bangkit dari duduknya. Ia membuka lengannya untuk memeluk Ronan.
“Apa-apaan semua ini?!” teriak Ronan. Nando berhenti di tempatnya berdiri. “Kau gila!”
“Jaga bicaramu! Jelaskan baik-baik, apa yang terjadi?”
“Lihat saja amplop itu!” Tunjuk Ronan ke arah meja Nando.
Nando menuju mejanya. Ia meraih amplop cokelat yang lumayan besar itu. Ketika melihat isinya, Nando hanya mendesah pasrah. Jika kau mau tahu apa isinya, isinya adalah foto beberapa pria dan wanita muda menarik hati. Lalu daftar nama-nama orang yang entah untuk apa semua itu. Ronan mengenali beberapa nama di sana, mereka teman-teman Nando.
“Apa yang kau rencanakan dengan semua foto dan daftar nama ini?”
“Hanya kegiatan bulanan. Bersenang-senang bersama.”
“Pesta seks?” Ronan melipat kedua tangan di atas perutnya. Nando mengangguk dengan sedikit senyum di wajahnya. Ronan mengamuk. “Damn you, Juan Fernando!”
“Kenapa kau sangat marah? Kau tidur dengan Ezra dan Eli pun aku tak marah.”
Bagaimana bisa dia tahu? – Ronan
Wajah Ronan sepucat bulan kesiangan. Nando tersenyum jahil sambil berjalan mendekati sang suami. Jujur saja, Ronan takut jika Nando dalam mode sinting begini. Wajahnya terlihat ceria, tapi hatinya sedang meletup-letup.
“My eyes are everywhere,” bisik Nando di telinga Ronan.
Bulu kuduk Ronan meremang. Tubuhnya mulai lemas. Ia merasa tak berdaya karena sikap Nando padanya. Pria itu menelan ludah. “Why? Aku pikir kau sudah meninggalkan semuanya. Aku pikir setelah kematian Celestino—“
Nando meletakkan satu jari telunjuk di depan bibir Ronan. Ronan sudah mulai sesenggukan. “Ck, jangan bawa-bawa Celestino.”
“Aku mengenal setengah dari seluruh daftar nama itu!” ujar Ronan melalui sela-sela giginya. Ia marah sekali. Marah yang sampai tidak mampu meledak.
“Ya. Sebut saja namanya. Dahl, Marlon, Irving, Chavez, Schaefer, dan lainnya, hampir semua temanku ada di sana. Ini sudah berlangsung lama sekali. Jadi jangan protes.”
“Kau gila, Nando.”
“Baru sadar sekarang, ya?” Nando berjalan menuju gantungan jaket. Ia mengambil jaketnya di sana. “Simpan saja bukti yang kau pegang itu. Aku masih punya seribu cara untuk tetap melaksanakan acara itu. Sampai jumpa.”
Nando melenggang begitu santai meninggalkan Ronan. Ronan masih terpaku di sana. Ia menghapus air matanya. Perlahan ia mengambil amplop cokelat itu. Ia perhatikan satu per satu foto itu. Kemudian daftar namanya juga.
“Irving,” gumamnya saat menatap nama Ernest John Irving dalam daftar nama itu. “Bagaimana caranya memberitahu Widi tanpa membuatnya sedih?”
*
02 Januari 2024Terima kasih sudah membaca. Vote dan komentarnya ditunggu, lho.
![](https://img.wattpad.com/cover/317717789-288-k273906.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
His Love 3 🌈
RomanceApakah kau akan terus mencintai seseorang yang punya masa lalu sangat buruk?