Hanya aku yang tersisa. – Sarah
Kabar kematian Louisa membuat Sarah terguncang. Kini hanya dia seorang Walter yang tersisa. Sarah menatap tiga makam di hadapannya. Milik ayah dan pamannya, kakek, juga neneknya. Gadis itu memejamkan mata sejenak. Ia harap semua di hadapannya akan berubah. Tapi saat ia membuka mata, semua sama saja seperti sebelumnya.
Sarah berlalu dari hadapan ketiga makam itu. William menepuk bahu sang ayah, seolah memintanya untuk ikut bersama Sarah. Ketiganya pulang dengan rasa hampa di dada yang begitu besar. Cukup besar untuk menelan tubuh mereka ke dalamnya.
Widi yang sejak kemarin mengurusi pemakaman Louisa tidak sempat memasak apa-apa untuk kedua anaknya. Hari ini ia terlalu lelah. Dua pizza ukuran large tersedia di atas meja sebagai makan malam mereka. Pizza itu masih utuh, tapi dingin karena sudah diabaikan selama satu jam sejak kedatangannya.
“Enggak ada yang mau makan?” tanya Widi sambil menatap kedua anaknya secara bergantian.
William langsung menggunakan satu tangannya untuk menopang dagu di atas meja. Sarah memalingkan wajahnya. Keduanya enggan, itu yang Widi tahu.
“Kalian harus makan. Boleh bersedih, tapi jangan sampai sakit,” ujar Widi yang mulai tampak khawatir. “Sebenarnya Ayah ingin menawari kalian makan sesuatu yang lain. Tapi apa, ya? Ah! Sepertinya masih ada satu bubur instan. Ada yang mau makan bubur? Ada yang mau disuapi?”
William melirik malu-malu pada sang ayah. Widi mengerti, sang anak ingin disuapi. Ia bergegas membuka lemari makan dan menemukan satu bubur instan dalam kemasan mangkuk. Kemudian ia menjerang air dalam ceret, membuka bungkus bubur itu dan mulai meracik bumbu ke dalamnya.
Dalam waktu yang singkat bubur instan itu sudah jadi. Hanya bubur polos dengan rasa gurih. Widi punya sedikit kerupuk udang dalam stoples. Itu pun hanya tinggal tiga buah. Ia menaruh bubur dan stoples kerupuk di atas meja. Sebuah kursi diletakkan di antara William dan Sarah. Widi duduk di tengah kedua anaknya.
Widi mengambil sedikit bubur dan meniupnya sebentar. Kemudian ia mulai menyuapi William. Sarah masih membuang muka. Sejak tadi ia membayangkan jika Widi akan segera berubah setelah para Walter tiada. Mungkin Widi tidak akan peduli lagi padanya. Segala pikiran negatif membuat Sarah semakin sedih. Akhirnya ia menangis.
“Sarah, ayo makan. Sini. Ayah suapi.” Widi sudah siap dengan sendok berisi bubur. Saat Sarah menoleh, Widi sangat terkejut. “Kenapa kamu menangis?”
Widi meletakkan bubur dan sendok di atas meja. Ia kembali bertanya, “Kenapa kamu menangis?”
“Aku tidak apa-apa.” Sarah menghapus air matanya sambil berusaha tersenyum.
“Kamu bohong. Pasti kau sedang memikirkan sesuatu yang membuatmu sedih atau sesuatu yang sangat negatif. Ya, kan?” Widi menatap anak gadisnya yang tertunduk itu. Ia memegang kedua bahu Sarah. “Apa pun yang ada di pikiranmu, aku hanya bisa bilang, aku tak akan pernah berubah dalam merawatmu. Meskipun sudah tak ada lagi Walter yang lain, aku akan tetap memperlakukanmu sebaik ini. Aku tetap ayahmu, kau tetap anakku. Hubungan kita akan terus baik.”
“Benarkah?” tanya Sarah dengan mata berbinar.
“Tentu saja. Sekarang lebih baik kau makan.” Widi mengambil sesendok bubur dan mulai menyuapi Sarah.
Sarah berusaha menelan bubur hangat itu. “Terima kasih.”
Widi menatap kedua anaknya. “Kita akan melalui kehilangan ini bersama , Sayangku. Jangan khawatir. Jangan merasa sendirian.”
*
Kepergian Louisa mulai diikhlaskan oleh Widi dan kedua anaknya. Ketika bangun pagi, ketiganya berdoa di kamar masing-masing agar terbiasa melanjutkan hidup tanpa kehadiran wanita penyayang itu. Kini mereka duduk di ruang tengah, menikmati sarapan pagi sambil menonton berita di televisi. Rencananya setelah selesai sarapan dan mengemas rumah, Widi dan William akan mengantarkan Sarah kembali ke Palo Alto.
Berita pagi itu mengenai penembakan massal di klinik psikologi. Wajah ketiga manusia itu mendadak murung, tapi tak satu pun dari mereka mengganti saluran televisi. Diberitakan bahwa polisi telah menetapkan seorang tersangka kasus penembakan massal. Seorang pria veteran pasukan perdamaian Amerika Serikat dalam misi di Afghanistan. Yang merupakan pria suku Uyghur asal Xinjiang dan penerima suaka politik akibat represi yang dialaminya di RRC. Yang paling mengejutkan adalah pembelanya di persidangan, Ernest John Irving.
“Bukankah itu pengacaranya Nando?” tanya Sarah sambil terus menatap tak percaya ke arah televisi.
“Ya. Pria ini juga pemilik kucing yang tersesat itu. Cat De Luna,” kata William. “Bagaimana bisa dia membela seorang kriminal?”
Widi lemas. Ia tak menyangka jika Ernest yang akan membela pembunuh mertuanya. Widi berpikir untuk meminta bantuan Nando agar Ernest melepaskan kasus ini. Dengan cepat ia meraih ponsel dan menelepon pria tua itu.
“Kau lihat berita tentang penembakan massal itu?” tanya Widi pada Nando di saluran sebelah.
“...”
“Bagaimana bisa?”
“...”
“Pro bono?”
Menurut KBBI, pro bono adalah bantuan hukum yang diberikan secara cuma-cuma kepada seseorang yang tersangkut kasus hukum, tetapi orang tersebut tidak mampu membayar jasa pengacara sendiri. Pihak yang wajib memberikan layanan pro bono ini adalah pengacara atau advokat.
“...”
“Oke. Aku akan ke sana,” pungkas Widi. Sambungan diputus. Widi menatap kedua anaknya yang penasaran. Ia berkata, “Nando bilang dia akan mempertemukan kita dengan Ernest John Irving.”
Tanpa membuang waktu, Widi ditemani Sarah dan William segera menuju kantor Nando. Nando bilang kalau hari ini Ernest akan menyelesaikan beberapa hal kecil mengenai kasusnya yang kemarin. Sejak dalam perjalanan Widi terus mewanti-wanti pada Sarah dan William untuk tidak bertindak anarkis di kantor Nando.
Setelah diizinkan masuk ke dalam ruangan Nando, Widi dan kedua anaknya bisa melihat dengan jelas betapa tenangnya Ernest menikmati secangkir teh yang disajikan. Ernest sudah tahu alasan Widi dan kedua anaknya datang ke sini. Mereka akan menanyakan hal yang sama seperti keluarga korban penembakan massal yang lain. Kenapa Ernest mau membela pelaku?
“Duduklah,” suruh Nando pada ketiga tamu barunya. Setelah mereka duduk, Nando berkata, “Tanya saja. Ia siap menjawab.”
“Dia pembunuh massal berdarah dingin. Kenapa kau membelanya? Apa kau tidak memikirkan mereka yang mati sia-sia?” tanya Sarah dengan penuh emosi.
“Dia tak bisa membayar pengacara. Dia seorang veteran perang, dia pasti mengerti senjata. Lalu dia adalah seorang imigran dari China dan seorang muslim.” Ernest membetulkan posisi duduknya. Ia terlihat lebih tegap dan percaya diri. “Kau pikir setelah Trump, COVID-19, dan Bin Laden, ada yang mau bersimpati padanya?”
Sarah terdiam. Tapi tatapan matanya yang tajam masih tertuju pada Ernest. Benci dan marah terlihat di sana.
“Dan kenapa masih dibela? Mau jadi pahlawan kesiangan, ya?” kesal Will memandangi laki-laki matang itu.
“Di usiaku sekarang, mau jadi pahlawan atau penjahat tak lagi penting, Anak Muda. Dia hampir pasti kalah, dan inilah yang membuat kasus menarik. Aku suka terlibat dalam kasus menarik.” Ernest tersenyum tajam.
“Dan kau membiarkan para korban mati sia-sia demi kasus menarikmu?” gugat Sarah lagi.
“Mereka tak akan mati sia-sia. Seandainya laki-laki ini terbukti tak bersalah dan memenangkan kasus ini, ini membuktikan kalau negara ini dan warganya tetap menjunjung kebenaran yang sejati. Bukan hanya berkutat pada prasangka, stereotip, dan penghakiman berbasis rasial.”
Ketika William hendak bicara, Ernest mengangkat jari telunjuk untuk membungkam pemuda itu.
“Ayah kalian ini seorang homo, muslim dan berasal dari Asia. You guys should know better,” pungkas Ernest dalam senyum penuh rahasianya.
Sarah merasa tidak puas dan meradang memandang Ernest. “Apa pun latar belakangnya pembunuh, ya pembunuh.”
Ernest menatap Sarah. “Aku bisa membawa kasus ini ke gangguan mental, dia punya gejala PTSD. Tapi tidak ada rekam medis, karena ia tak punya asuransi. Dia hanya veteran perang Afghanistan yang miskin, bekerja sebagai kurir demi menyambung hidup di tengah prasangka orang-orang terhadapnya. Kalau juri objektif, pria ini punya kesempatan untuk bebas atau minimal dimaafkan.”
“Kau mau dia bebas?”
“Aku mau negara adil padanya. Aku mau kalian adil padanya.” Ernest tersenyum tipis.
“Persetan dengan keadilan!” Sarah bangkit dari duduk dan segera pergi dari ruangan itu. William menyusul sang kakak.
Widi terdiam dalam duduknya. Kemudian ia mengusap wajah dengan kasar. Sebenarnya ia juga tak setuju dengan tindakan Ernest. Tapi ia tahu, Ernest lebih mengerti tentang kasus ini daripada dirinya. Semua tindakan pasti sudah dipikirkan dengan matang.
“Maafkan anak-anakku. Aku pergi dulu,” pamit Widi sebelum keluar dari sana.
*
Walaupun Sarah ingin sekali mengikuti sidang, Widi tetap menyuruhnya untuk kembali ke Palo Alto. Gadis itu menurut walaupun berat hati untuk melakukannya. Setelah kepergian Sarah, Widi merasa sedikit lega. Melihat Sarah sedih dan marah-marah membuatnya stres. Belum lagi William yang mendadak punya prasangka buruk pada imigran.
Widi menggenggam sendok sangat erat. Ia muak dengan William yang membicarakan tentang kehadiran imigran yang mengambil kesempatan kerja warga lokal, menambah kepadatan penduduk, membuat lingkungan menjadi kumuh, serta menciptakan konflik dan tindakan kriminal di masyarakat.
“Dan mereka ada di mana-mana.” William menyeruput kuah ramen buatan sang ayah. “Mungkin harus ada aturan baru yang lebih ketat untuk para imigran masuk ke sini.”
“Can you stop talking shit about immigrant?” tanya Widi dengan suara selembut mungkin. William terkejut mendengar sang ayah mengumpat. Sepanjang dia hidup, seingatnya belum pernah mendengar sang ayah mengumpat seperti itu. “Did you forget i’m an immigrant too?”
“T-tapi Ayah kan tidak problematik seperti mereka.” William sejenak merasa bersalah. Ia merasa seperti Kaukasian rasis penuh privilese, tapi malu untuk mengakuinya.
“Walaupun nanti aku punya kewarganegaraan Amerika Serikat, orang-orang sepertimu tetap akan memperlakukanku dengan buruk. Karena aku akan selalu disebut sebagai pendatang. Kamu tidak akan pernah tahu rasanya disebut ching chong. You’re just so white, William!”
Widi meletakkan sendok di atas meja dengan kasar. William terkejut dengan sang ayah yang tiba-tiba naik darah.
“Ih, ya Allah, anakku cangkeme persis Karen!” ujar Widi seraya mengacak-acak rambut sendiri dengan frustrasi sebelum meninggalkan William di meja makan.
Menurut situs dictionary.com, Karen adalah istilah slang peyorasi untuk seorang wanita kulit putih paruh baya yang menjengkelkan, pemarah, merasa berhak atas sesuatu, dan sering kali rasis yang menggunakan hak istimewanya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya atau mengawasi perilaku orang lain.
Pemuda itu terdiam melihat kepergian sang ayah. Tapi bukannya merasa bersalah, William berpikir kalau ayahnya terlalu sensitif atas masalah ini.
Ezra mengirimkan pesan pada Widi untuk menemuinya sekarang di sebuah taman. Tanpa banyak basa-basi, Widi yang saat itu juga sedang sumpek langsung membalas kalau dia akan segara datang menemui Ezra. Widi menyiapkan diri, kemudian turun ke bawah. Ia kembali berpapasan dengan William, tapi tidak berpamitan saat keluar rumah.
William mengintip dari jendela, melihat sang ayah pergi menggunakan mobil. Dalam hati ia bertanya-tanya mau ke mana pria itu.
Di sebuah taman yang ditentukan, Ezra dan Widi bertemu. Ezra sedang asyik mengunyah burger keju seorang diri. Widi datang membawa dua smoothie dari sebuah gerai. Ezra melirik Widi yang duduk di sampingnya. Keduanya berdiam diri cukup lama dan hanya memandang beragam aktivitas yang orang lain lakukan di taman itu.
“Mau?” Ezra menawarkan burger keju yang baru digigit sedikit. Tanpa diduga, Widi meraihnya dan menggigit besar burger keju itu. Kemudian dia kembalikan makanan itu pada Ezra. Ezra melirik burger keju miliknya, setelah itu menatap Widi yang kesulitan mengunyah karena gigitannya sangat besar. “Kamu mengunyah seperti singa. Wajahmu kelihatan kesal. Ada masalah apa?”
“Do you have fries?” tanya Widi masih dengan mulut penuh makanan. Ucapannya jadi terdengar kurang jelas.
Ezra menarik napas panjang, kemudian mengembuskan dengan pasrah. “Hash brown and potato wedges with cheese. Di dalam kantong.”
Pria itu melanjutkan makan sambil memerhatikan Widi yang sedang membuka kantong kertas. Widi segera menyantap potato wedges milik Ezra tanpa malu-malu. Keduanya sebenarnya tahu kalau masing-masing punya masalah, bisa terlihat dari Ezra yang pasif dan Widi yang agresif. Yang satu sedang bersedih, yang satunya sedang marah. Tapi mereka tak saling bertanya, malah sibuk makan dan membisu.
Widi sendawa beberapa detik kemudian setelah berhasil mengunyah bagian terakhir hash brown. “I’ll pay you later.”
“Ora usah,” sahut Ezra. “Aku suka bersama kamu di sini. Tenang. Damai.”
“Begitu, ya.” Widi mengangguk setuju. “Heinrich jadi pergi dengan Nando?’”
“Enggak. Batal. Dia malah disuruh untuk mengantarkan anak-anak Nando pergi ke Spanyol. Mereka mau menonton pertandingan sepak bola antara Real Madrid versus klub apa gitu, aku lupa.”
“Oh, ya. Tadi pagi aku ke kantornya juga. Bertemu dengan pengacaranya, Ernest John Irving. Sedikit kecewa dengan keputusan pria itu yang membela seorang kriminal.”
“Kenapa harus kecewa? Tugasnya pengacara memang begitu.”
“Selain kecewa karena dia membela orang yang menembak ibuku, aku merasa jika dia tak sebaik yang aku kira.” Widi menatap ujung sepatunya. “Maksudku, kamu pernah kan menyukai seseorang, kemudian berpikir kalau dia adalah orang yang tepat, tapi kenyataan membantah itu semua.”
“Kau menyukainya?” Ezra bertanya walaupun ia merasakan desiran cemburu dalam tubuhnya. Dalam hati ia berusaha menangkan diri dengan cara meyakinkan kalau hubungan persahabatan yang membaik di antara mereka sudah cukup untuknya. “Sudah pernah menyatakan padanya?”
“Ya. Aku suka. Dia seperti wine tua dan berkualitas baik. Sangat memesona. Tapi aku tak pernah menyatakan perasaan padanya.”
“Sayang sekali kamu enggak bisa merasakannya. The good quality old wine.” Kemudian Ezra menambahkan, “Kamu bisa mendapatkannya. Kamu mudah disukai.”
“Enggak segampang itu.” Widi menggigit bibirnya sejenak. “Selain masalah itu, aku juga bermasalah dengan William. Dia berpikir sangat putih seperti orang-orang di sini. Masa dia berkomentar sesuatu yang kurang pantas tentang imigran? Gila, kan?”
“Keplak sirahe, Wid. Lakukan parenting seperti leluhur kita,” ucap Ezra sambil cekikikan. Widi yang duduk di sebelahnya tak bisa menahan tawa.
“Ya, bolehlah dicoba.” Widi berusaha diam. Ia menoleh pada Ezra. “Kenapa kamu ingin bertemu?”
“Sedikit kesepian.”
“Bertemu aku malah membosankan. Kenapa kamu enggak bertemu dengan Ronan? Kalau kamu bertemu dengan dia hari ini, mungkin besok kamu akan diajak ke Miami. Besok dia mau ke Miami, lho.”
“Enggak mau. Aku tahu aku akan berakhir di mana kalau pergi bersama dia.” Ezra meregangkan otot-otot tubuhnya. Tiba-tiba ia berdiri. “Bawa mobil?”
“Ya. Kenapa?”
“Boleh aku menyetir? Aku mau keliling kota denganmu. Soal bensin jangan khawatir. Nanti aku isi full lagi, kok.”
“Oke.” Widi meraih uluran tangan Ezra. Keduanya berjalan bersama. “Kita mau ke mana?”
“Ke mana saja. Buang-buang bensin seperti dulu.”
Seperti dulu yang Ezra maksud adalah saat mereka masih tinggal bersama di Bogor. Naik motor keliling kota tanpa ada tujuan, tiba-tiba berhenti di warung makan yang secara acak dipilih hanya karena mereka lapar, lalu pulang dengan memilih jalan yang lebih jauh untuk sampai ke rumah. Lebih menyenangkan lagi ketika tiba-tiba hujan turun ditambah sedikit petir di langit. Mereka akan berteduh di ruko-ruko pinggir jalan, kadang membeli jas hujan plastik warna-warni yang dipakai untuk menerjang hujan. Widi tersenyum saat mengingatnya.
“Lebih enak naik motor,” kata Widi.
“Ya. Tapi kan di sini enggak punya motor. Ah, kamu gimana, sih?”Widi tersenyum geli mendengar Ezra yang menggerutu.
*
13 Februari 2024Halo,
Sekian lama berpisah, akhirnya kita bertemu lagi, ya.
Alhamdulillah walaupun diselingi meriang, liburan, dan pencoblosan, cerita ini selesai.
Terima kasih untuk om bintarobastard yang jadi teman menulis saya kali ini. Jangan lupa main ke akunnya, ya. Banyak cerita asyik di sana.
Terima kasih juga untuk kalian yang masih setia menjadi teman untuk aku dan para tokohku. Kami sangat mencintaimu.
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa bintang dan komentarnya.
Mmuach.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Love 3 🌈
RomanceApakah kau akan terus mencintai seseorang yang punya masa lalu sangat buruk?