William masih duduk tegak dengan wajah yang sangat serius, tak terlihat ada rasa penyesalan setelah membuat hati Ezra nelangsa karena ucapannya. Sang ayah hanya terdiam sambil mencengkeram erat setir mobil. Ia marah pada dirinya sendiri karena terjebak dalam situasi ini. Widi sadar Ezra melakukan kesalahan yang fatal. Tapi cinta membuatnya bungkam atas tindakan buruk yang pria itu lakukan.
“Tolong antarkan aku ke apartemen,” pinta Ezra pada Widi.
“Oke.”
Sambil menyetir Widi memutar lagu melalui sebuah aplikasi musik menggunakan mode bebas dan acak. Lagi pertama yang muncul berjudul Cannibal dari seorang penyanyi bernama Marcus Mumford. Mereka hanya mendengarkan lagu itu saja, tanpa tahu isi ceritanya.
Di tempat yang lain, Kenny juga sedang mendengarkan lagu yang sama. Entah bagaimana cara aplikasi musik itu bekerja menemukan lagu ini untuk didengar olehnya. Pria itu menggenggam mug berisi teh hangat dengan kedua tangan. Perasaannya ibarat buah kesemek kering yang mengkeret dan menyedihkan.
Pertama kali Kenny dengar lagu ini pada awal bulan Desember 2022. Kondisi hatinya saat itu tengah rapuh. Dibelenggu depresi akibat trauma dan malu yang telah lama dibawa olehnya, ditambah pengkhianatan dari orang-orang yang disayangi.
Kenny menghela napas panjang, kemudian menyesap tehnya secara perlahan. Ketika menyadari ponselnya tak lagi bersuara, ia menoleh ke arah meja kecil di samping sofa. Jari Heinrich masih menempel di layar ponsel Kenny.
“Seharusnya kamu enggak usah dengar lagu itu lagi,” ucap Heinrich.
“Terima kasih sudah mengingatkan.” Kenny menyesap tehnya lagi. Saat melihat Heinrich sudah berpakaian rapi, lelaki itu bertanya, “Kau mau pergi ke mana?”
“Aku akan pergi ke hanggar untuk mengecek keperluan pesawat jet milik Pak Navarro.”
“Malam-malam begini?”
“Ya. Hanya mengecek hal-hal kecil. Tiga hari lagi Pak Navarro akan pergi ke Dubai untuk urusan bisnis selama satu minggu.”
“Aku tahu kau akan ikut dengannya.” Wajah Kenny terlihat murung. Heinrich langsung mengecup pipinya. “Apa Ronan akan ikut ke sana?”
“Tidak. Apa kau sudah dapat obat yang diresepkan oleh psikiatermu?”
“Sudah. Tapi aku membelinya di tempat lain. Apotek langgananku sedang dipakai polisi untuk menyelidiki kasus kejahatan seksual yang terjadi di sana.”
“Oh. Apa hal itu mengganggumu?”
“Tidak. Hanya sedikit membuatku gelisah.”
“Ikutlah denganku,” ajak Heinrich. Saat melihat Kenny yang enggan, ia melanjutkan, “Kau harus mengalihkan perasaan gelisah itu ke sesuatu yang lain. Jika kau ikut denganku, kau bisa membantuku di hanggar.”
“Bilang saja kau butuh asisten!” Kenny beranjak dari duduknya sambil tersenyum. Gelas bekas teh langsung dicuci di wastafel.
“Jadi kau mau ikut atau tidak?”
“Tentu saja aku ikut!” pungkas Kenny.
*
“Terima kasih telah mengantarku pulang, sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.”
Ezra keluar dari mobil Widi. Tak lama William segera pindah untuk duduk di kursi depan bersama sang ayah. Setelah memastikan Ezra sudah masuk ke dalam apartemen, Widi mengemudikan mobilnya menuju rumah.
Melihat sang ayah yang diam saja sejak pembicaraan panasnya dengan Ezra, William sama sekali tidak berinisiatif untuk bicara duluan pada pria itu.
Bodo amat! – William
Sesampainya di rumah, William segera turun dan mengangkat semua barang-barang milik Noel. Sementara Widi segera menuju kamar tanpa membantu sang putra. Louisa yang melihat wajah Widi yang sangat murung segera bertanya pada cucunya.
“Ayahmu kenapa?” Louisa mengangkat Noel yang berputar-putar di kakinya.
“Sepertinya Ayah marah padaku.” William meletakkan dua kantung cat litter di sebuah rak.
“Apa kau nakal?”
“Tidak.”
William pergi ke teras untuk mengangkat beberapa barang yang tertinggal. Louisa menarik sebuah kursi makan untuk duduk.
“Aku hanya mengatakan sebuah kebenaran yang pahit tentang Ezra,” lanjut William. “Seharusnya aku tak perlu mengatakannya karena Ayah pasti sudah tahu.”
“Kebenaran tentang apa?”
Remaja lelaki itu mencuci tangan di wastafel. Setelah mengeringkan tangan, ia bergegas menuju kulkas untuk mengambil beberapa bahan es kopi karamel kesukaannya.
“Ezra pernah melakukan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur,” kata William sambil menghias gelas dengan gula palem cair. Ia menatap sang nenek yang wajahnya jadi begitu pucat.
“Ini berita palsu, kan?”
“Tidak.” Tiga sendok boba dimasukkan ke dalam gelas. “Aku bertemu dengan si korban. Dia bercerita kalau perbuatan itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Aku tak tahu apa yang terjadi sampai Ezra tidak ditahan atas perbuatannya”
“Ya, Tuhan,” gumam Louisa.
“Ezra tidak mengakui, tapi juga tidak mengelak. Gerak tubuh dan ekspresi wajahnya menjelaskan semua.” Beberapa es kubus dimasukkan, disusul dengan susu yang mengisi sampai setengah gelas. Kopi ditambahkan, tidak terlalu banyak, tapi cukup. Remaja itu mengembalikan bahan-bahan tersebut ke dalam kulkas. Sebotol whipped cream dan cokelat tabur menarik perhatiannya. “Ayah dan Ezra bahkan tahu kalau si korban ada di sini.”
William menambahkan whipped cream dan cokelat tabur untuk menghias kopinya. Ia melirik sejenak ke arah sang nenek yang membisu di atas kursi.
“Aku mengatakan segala yang aku tahu di depan Ezra. Mungkin Ezra dan Ayah merasa tersinggung. Mereka tidak berbicara padaku selama perjalanan pulang.” Sebuah sedotan stainless steel digunakan oleh William untuk mengaduk bagian bawah kopinya. “Apakah aku kurang ajar?”
“Entahlah, Will.”
“Awalnya aku suka pada Ezra, tapi setelah tahu hal ini, aku hilang respek padanya. Kalau Ayah terus buta dengan kenyataan yang ada, aku takut Ayah akan memaklumi segala perbuatan buruk Ezra di masa depan.”
“Ini memang hal yang serius. Nanti aku akan bicara ada Ayahmu.”
“Aku pulang!” teriak Sarah dengan ceria. Gadis itu segera berlari ke arah William. “Wah! Es kopi! Cicip sedi—“
“Bikin sendiri!” William segera menarik gelas es kopinya sebelum diambil Sarah.
Sarah terlihat kecewa. William membawa minuman itu ke kamarnya.
“Dia galak sekali,” ujar Sarah tentang adiknya. “Aku kan hanya mau minta sedikit.”
“Dia sedang punya masalah. Buatlah minumanmu sendiri. Tapi jangan kopi. Kau kan sering sulit tidur,” kata Louisa sembari bangkit dari duduknya.
“Baiklah.” Sarah mendesah kecewa. “Eh! Apa masalah yang dia punya?”
“Nanti juga kau tahu.”
*
Widi yang bersedih berbaring di atas kasur bagaikan seekor rusa korban tabrak lari yang sekarat. Sejak Ezra pulang sampai sekarang, pria itu sama sekali tak membalas pesan darinya. Rasanya bodoh sekali karena tak bisa mendinginkan kejadian sore tadi. Andai saja Kenny tak hadir dalam kehidupan mereka.
Kenny keterlaluan. Bisa-bisanya dia membawa anak-anak dalam pusaran masalah ini. – Widi
Lelaki itu mulai memikirkan cara bertemu dengan Kenny.
Mungkin Ronan tahu di mana Heinrich dan Kenny tinggal. – Widi
Baru saja hendak menelepon Ronan, Widi dikejutkan dengan suara pintu yang diketuk. Dengan langkah gontai ia menuju pintunya.
“Hai, Ma,” sapa Widi saat melihat Louisa.
“Hai, Widi. Bisa kita bicara empat mata sebentar?” tanya wanita tua itu.
Perasaan Widi langsung tidak enak. Biasanya kalau Louisa meminta waktu untuk bicara empat mata artinya ada masalah serius.
“Apa ini tentang William dan Ezra?”
Louisa mengangguk. Widi membiarkannya masuk ke dalam kamar. Wanita itu duduk di meja kerja Widi.
“William menceritakan semua yang diketahui tentang Ezra padaku. Apakah semua itu benar?”
“Ya. Buruk, kan?” Widi memalingkan wajahnya. Ia malu. Dulu ia mendapatkan Jon yang sangat baik hati, kini malah memilih bersama seorang pria nakal.
“Apa kau mencintai Ezra?”
“Aku mencintainya.”
“Apa kau yakin dia yang terbaik untukmu?”
Lelaki itu terlihat ragu. Ezra memang tak sebaik Jon, tapi kehadirannya membawa warna baru dalam hidup Widi.
“Terlepas dari perbuatannya yang sangat buruk itu, aku merasa dia yang terbaik untukku.”
“Apa kau yakin orang-orang di sekitarmu akan setuju dengan keputusanmu mencintai Ezra?” Louisa menatap menantunya yang membisu. “Pikirkan lagi, ya.”
Perempuan tua itu pergi meninggalkan Widi sendirian di dalam kamar. Lelaki itu langsung membanting diri ke atas kasur. Sepertinya dia akan sulit tidur malam ini.
*
Dua minggu berlalu tanpa Widi menyebut nama Ezra di depan keluarganya. William dan Louisa berpikir kalau hubungan sepasang sejoli itu telah berakhir. Sarah yang tidak tahu apa-apa hanya penasaran melihat sang ayah seolah lupa dengan kekasihnya. Di tengah waktu makan malam, ia memutuskan untuk bertanya.
“Sudah dua minggu Ezra tidak ke sini.”
“Ya. Mungkin dia sedang sibuk.”
“Mungkin? Kenapa mungkin? Apa dia tidak menghubungimu?”
Widi mengedikkan bahu.
“Ayah, besok aku akan pergi ke The Wizarding World of Harry Potter bersama Kolya dan teman-temannya. Boleh, kan?”
“Boleh. Lalu di mana mereka akan menginap? Jarak Palo Alto ke sini kan lumayan jauh, paling tidak lima jam perjalanan.”
“Di sini!” Sarah menunjukkan wajah yang sangat bahagia.
Wajah Widi langsung berubah. Sebenarnya tidak masalah jika Kolya akan menginap bersama teman-temannya di sini. Tapi Sarah seharusnya mengabari lebih awal. Kalau mendadak begini, rasanya aneh sekali.
“Berapa banyak orang yang akan datang?” tanya Widi lagi.
“Lima orang. Dua orang laki-laki, tiga orang perempuan. Mereka mungkin akan tiba saat dini hari. Mereka berangkat dari Palo Alto setelah makan malam.”
“Aduh, Ayah belum belanja dan menyiapkan kamar,” keluh Widi.
“Aku dan Nenek sudah menyiapkan semuanya.” Sarah menoleh pada Louisa.
“Makanan sudah penuh, kamar sudah rapi,” tambah Louisa. “Kamar hanya akan dipakai oleh para gadis. Sisanya tak keberatan untuk tidur di ruang tengah.”
“Baiklah.” Widi kembali menikmati makanannya. Dia berpikir kalau permintaan ini sudah tidak bisa ditolak lagi. Tamunya sudah dalam perjalanan, masa mau disuruh cari hotel untuk menginap?
“Apa rencana Ayah di akhir pekan?”
“Tak ada. Sabtu, Ayah masih bekerja. Minggu dan Senin, Ayah libur dan ingin di rumah saja,” jawab Widi.
“Ezra tidak mengajakmu jalan-jalan?”
“Tidak.”
William menampakkan senyum mengejek. Hati Widi langsung mencelos melihatnya.
“Oh. Sudah dua minggu aku tak mendengarmu menyebut namanya. Apa dia pulang ke Indonesia?”
“Ya.”
Sesungguhnya Widi tak tahu Ezra di mana. Terakhir kali mereka bertemu saat Widi mengantar Ezra menuju apartemennya setelah diserang William habis-habisan.
Seminggu setelah kejadian itu, Widi pernah datang ke apartemen sang kekasih. Tapi pengurus gedung bilang kalau Ezra sudah pergi sejak empat hari yang lalu tanpa meninggalkan pesan apa pun.
“Ayah,” panggil Sarah pada Widi.
“Ada apa?”
“Aku lupa bilang ini padamu. Salah satu tamu kita adalah anaknya Ezra.”
Widi langsung melotot ke arah sang putri. “Kenapa enggak bilang dari awal?!”
Melihat Widi yang mulai emosi, Sarah jadi ketakutan. Ia tak pernah melihat Widi semarah itu sebelumnya.
“Kamu ini kebiasaan! Setiap minta izin enggak pernah dari jauh-jauh hari! Selalu mepet sebelum acara! Kalau sejak awal Ayah tahu salah satu tamunya adalah anaknya Ezra, Ayah lebih baik bayar dua kamar hotel untuk teman-teman kamu!”
Sarah tertunduk di atas kursi. William terus menyuapi mulutnya dengan kuah sup sambil menatap bergantian pada ayah dan kakaknya. Kejadian ini sangat menarik.
“Aku rasa tak apa-apa jika salah satu tamunya adalah anaknya Ezra. Kau tak perlu marah seperti itu. Tak ada yang akan membocorkan hubungan kalian di depannya,” ujar Louisa.
“Siapa yang bisa menjamin?” tanya Widi. “Dia semakin dekat dengan lemari kami! Lemari tempat kami bersembunyi!”
“Hubungan kalian akan menjadi rahasia kami.”
“Aku enggak janji, lho,” sahut William atas perkataan sang nenek. Ia menatap Louisa dan Sarah yang tampak kesal padanya.
“Tak bisakah kita bekerja sama sekali ini saja, Will?” tanya Sarah dengan nada putus asa.
William menggelengkan kepalanya. “Aku hanya ingin Ayah dan Ezra berpisah. Jika Ayah tidak bisa berpasangan dengan Papa, lebih baik Ayah menikahi seorang perempuan. Jika Ayah tidak bisa menikahi seorang perempuan, tolong jangan menjalin asmara dengan lelaki mana pun. Terutama Ezra! Dia menjijikkan!”
“Apa yang membuatmu berani berkata seperti itu tentang Ezra?”
“Tanya saja pada Ayah!” William segera membawa peralatan bekas makannya ke wastafel, kemudian ia pergi dari ruang makan.
Sarah menatap Widi seolah minta jawaban atas pertanyaannya. Lelaki itu menggeleng pelan dan keluar dari sana.
Di dalam kamarnya Widi segera mengambil jaket dan kunci mobil. Dengan sangat tergesa-gesa ia pergi meninggalkan rumah.
Widi mengemudikan mobilnya di jalanan yang ramai. Ketika sampai di lampu merah, ia menghubungi Ronan melalui video call.
“Halo!” sapa Ronan. “Ada keperluan apa kau menghubungiku? Eh! Kau tak di rumah, ya?”
“Apa kau tahu di mana Heinrich dan Kenny tinggal?”
“Ah! Mereka lagi! Mau apa, sih?”
“Kirimkan saja alamat mereka!”
“Baiklah. Tapi sepertinya mereka belum berada di rumah kalau sekarang kau mau ke sana. Mereka masih sibuk di hanggar. Aku dan Nando meninggalkan hanggar sepuluh menit yang lalu. Tadi kami menemui mereka untuk mengecek kerusakan interior jet pribadi milik Nando. Chihuahua milik Nando sangat—“
“Kirim saja alamat tempat tinggal mereka dan alamat hanggar milik Nando!” ujar Widi dengan suara keras.
“Oke. Baiklah. Tunggu sebentar.” Meskipun merasa aneh dengan sikap Widi, Ronan tetap mengirimkan apa yang lelaki itu inginkan. “Sudah. Kau ada perlu apa dengan mereka?”
Widi menjalankan mobilnya setelah lampu hijau menyala. “Terima kasih.”
Sambungan telepon diputus oleh Widi. Kemudian ia memasukkan alamat hanggar milik Nando dulu ke dalam peta daring. Jaraknya tak terlalu jauh jika dia bisa menyetir dengan kecepatan 60 mil per jam. Ia berharap bisa menemui Kenny di sana.
Ronan merasa khawatir dengan Widi yang tiba-tiba menutup teleponnya. Ia mencoba menghubungi Widi lagi sampai tiga kali, tapi sama sekali tak diangkat.
“Ada apa, Bello?” tanya Nando.
“Aku rasa Widi hendak menemui Kenny atau Heinrich. Aku sudah memberikan alamat rumah mereka. Aku juga memberikan alamat hanggar karena aku pikir kedua lelaki itu masih akan bekerja di hanggar. Sekarang aku jadi khawatir pada Widi, untuk apa dia menemui mereka?”
“Entahlah. Menurutmu Widi akan pergi ke mana dulu?”
“Hanggar. Tolong putar balik, Nando.”
“Tentu saja.”
*12 Januari 2022
Halo,
Apa kabar?
Sudah lama enggak jumpa dengan kalian. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu, ya.
Jangan lupa vote dan kirim apa pun pikiran kalian tentang cerita ini lewat kolom komentar. Ditunggu, lho!
Terima kasih sudah membaca cerita ini.
Cheers.

KAMU SEDANG MEMBACA
His Love 3 🌈
RomansaApakah kau akan terus mencintai seseorang yang punya masa lalu sangat buruk?