62.

29 8 6
                                    

Sesuai dengan ucapan Widi, pria itu sampai di rumah pada sore hari, tepatnya pada pukul tiga. Ia memanggil nama anak-anaknya setelah membuka pintu rumah. Namun, tak ada jawaban. Sambil mengecek ke dapur, ia mencoba menelepon nomor William dan Sarah bergantian. Tak ada satu pun dari mereka yang menjawab. Widi bingung sekali. Tak biasanya anak-anak pergi tanpa pamit.

Langkahnya kini menuju ke lantai dua. Ketika hendak masuk ke kamar, Widi terkejut melihat pintu kamar William terbuka lebar.

“Ya Allah, apa-apaan ini?” kata Widi saat melihat kamar William yang sangat berantakan. Ia memeriksa kondisi pintu dan jendela di kamar itu. Tidak tampak ada tanda-tanda dibuka paksa. Widi menuju kamarnya, ternyata masih rapi dan aman.  Di kamar Sarah juga begitu, hanya ada handuk basah tergeletak di atas kasur. “Kenapa, ya?”

Widi mengecek sistem keamanan rumah di ponselnya. Terakhir kali yang memasang sistem keamanan adalah Sarah. Itu satu jam yang lalu. Ia kembali menelepon Sarah. Dan masih tidak dijawab.

“Astaga! Anak-anak ini ke mana, sih?” gumam Widi sambil menuruni tangga. Ia mengecek ke rubanah, loteng, gudang, dan garasi. Hasilnya sama, tak ada seorang pun di sana. Di tengah kebingungan, sebuah pesan dan lokasi masuk dari Sarah.

Ayah, pergilah ke sini.

-Sarah-

Ketika Widi mengecek lokasi yang dibagikan oleh Sarah, matanya langsung melotot. Tentu saja itu rumah sakit tempat William dirawat. Widi yang tak tahu apa-apa semakin tak karuan perasaannya. Ia segera menuju rumah sakit untuk memastikan apa yang terjadi.

*

Jantung Sarah berdetak cepat setelah mengirimkan pesan dan lokasi untuk Widi. Ia menatap pintu berkali-kali untuk memastikan apakah sang ayah akan datang dengan wajah penuh amarah. Tangannya menggenggam tangan William. Sebelum Sarah kembali ke rumah sakit, Ezra bilang ada dokter yang mengecek kondisi William. Detak jantung William berangsur normal dan jika dia sadar, penunggu pasien diharapkan segera menghubungi dokter.

Sarah yang tak bisa beristirahat dengan tenang memilih kembali ke rumah sakit. Ia menyuruh Ezra untuk pulang dan meyakinkan pria itu kalau mereka akan baik-baik saja. Ezra pun pulang dan berkata akan datang lagi ke sana.

Pintu kamar itu diketuk dari luar. Mata Sarah langsung tertuju ke arah pintu yang perlahan terbuka.

Widi muncul. Ia dan Sarah saling menatap sebelum Widi mengalihkan pandangan pada William yang terkapar di atas ranjang rumah sakit. Raut wajah Widi berubah. Kebingungannya sudah terjawab dengan jawaban yang membuatnya marah.

“Maafkan aku.”

“Aku pikir aku bisa menitipkan William sebentar padamu,” ucap Widi dengan nada dingin. Ia mendekati putranya. “Apa yang terjadi?”

“William overdosis obat,” kata Sarah yang ketakutan setengah mati.

Widi menghela napas panjang. “Kok bisa?”

“Dia bilang mau pergi ke acara menginap dengan seorang teman pria yang asing bagiku. Ternyata dia pergi ke pesta. Aku bahkan tahu saat teman aslinya muncul.”

“Kamu ceroboh, ya,” ujar Widi sambil membalikkan badan ke arah Sarah. “Kalau kamu merasa kesulitan menjaga William, seharusnya bilang dari awal. Jadi Ayah bisa cari orang lain untuk menjaganya. Ditinggal bekerja dua malam saja adikmu begini, bagaimana kalau ditinggal seminggu? Bisa-bisa sudah ada tahlilan di rumah. Ya, kan?”

“Menjaga William tidak sulit jika dia mau jujur dengan segala hal yang akan dilakukan. Dia sedang tumbuh, mana aku tahu dia akan berbohong sampai jadi seperti ini? Jika dia berani bohong padaku, mungkin dia juga bohong pada Ayah.”

“Kamu menyalahkan William?” Secara tidak sadar, Widi mengeluarkan salah satu sifat alami orang tua. Membela anaknya. Walaupun ini bukan saat yang tepat, karena jelas William juga salah.

“Ya,” tegas Sarah. Ia menatap Widi. “Aku lengah, aku salah. Tapi jangan kau limpahkan semua kesalahan ini padaku. Aku sudah berinisiatif untuk memperbaiki kesalahanku dengan mencari William.”

“Aku enggak pernah berharap ini terjadi.” Widi menoleh sejenak pada sang putra.

“Ini sudah terjadi. Terus mau apa?” Sarah berdiri dari tempat duduk. “Apa tidak bisa bersyukur dengan keadaan yang sekarang?”

Sarah yang terus menjawab membuat ego Widi tersakiti. Perasaannya mulai menguasai, perlahan ia melihat masalah secara tidak adil.

“Kenapa kamu selalu menjawabku? Apa tidak bisa diam saja dan dengarkan aku?”

“Aku membela diri. Aku tak mau jadi satu-satunya orang yang disalahkan.” Nada bicara Sarah mulai meninggi. “Aku bukan Papa yang selalu memberikanmu kesempatan mengomel sampai kau puas hati.”

“Dan aku juga bukan papamu yang selalu suka dengan sikap kritismu.”

Sarah tertegun. Di tengah suasana yang memanas, Ezra masuk. Melihat Sarah dan Widi saling menatap penuh amarah membuat nyali Ezra ciut.

“Kamu ngapain ke sini?” tanya Widi dengan ketus.

“Mengecek kondisi William dan Sarah. Aku pikir kamu belum pulang,” jawab Ezra sambil menutup pintu.

“Jadi kamu tahu masalah ini?”

“Ya. Sarah dan aku mencari William ke tiga pesta. Di pesta ketiga, aku menemukannya tidak sadar di kamar mandi. Beruntung—“

“Beruntung katamu? Lihat anakku! Overdosis! Kamu masih bisa bilang beruntung?” Widi mencecar Ezra. Ia berjalan menuju pria itu. “Dan kalian enggak ada yang hubungi aku!”

“Kami panik. Lebih baik menangani William dulu. Alhamdulillah, dia sudah membaik,” kata Ezra.

“Kalau dia meninggal bagaimana? Mau begitu juga?”

Ezra menggaruk kepalanya. Sebisa mungkin dia menghindari balasan yang akan menyulut amarah Widi. Ia pun berkata, “Hargailah usaha kami dengan tidak berandai-andai sesuatu yang buruk. Kondisi William sudah jauh lebih baik sekarang. Syukuri itu dulu.”

Widi menatap tajam ke arah Ezra. Tiba-tiba ia terlihat sedih. “Seandainya saja William tidak pergi ke pesta itu.”

“Oh! Mulai lagi,” keluh Sarah.

“Pergi ke pesta atau tidak, anakmu tidak akan begini selama tidak mencoba fentanil dan kawan-kawannya. Dia masih muda. Kita juga pernah muda. Semua yang pernah muda pasti melakukan kesalahan. Yang penting, sekarang anak-anakmu aman. Kau masih bisa melihat mereka.” Ezra membalikkan tubuh Widi agar menghadap ranjang William. “Banyak orang tua yang tidak bisa melihat anaknya lagi.”

“Tapi ini bahaya sekali, Zra.” Widi mulai menangis. “Aku sudah kehilangan Jon. Aku hampir kehilangan William. Aku takut kehilangan Sarah juga. Kenapa enggak ada yang mengerti kalau ini perbuatan bodoh?”

“Ini memang bodoh. Sama bodohnya dengan remaja yang mau aja kabur bersama om-om.”

Seketika Widi mendongak pada Ezra. “Maksudmu apa?”

Kalau kamu perhatian dengan kisah Widi dari awal, kamu pasti paham kalau Ezra sedang menyinggung masa lalu Widi remaja yang kabur dari rumah bersama Jon. Widi saat itu berusia 15 tahun, kabur dengan Jon yang berusia 23 tahun. Tidak salah jika Ezra menyebut Jon dengan sebutan om-om. Percaya atau tidak, dulu Widi pikir tindakannya bersama Jon itu romantis. Setelah dewasa Widi tahu kalau tindakan mereka itu gila. Lebih banyak hal merugikan secara fisik dan mental yang bisa saja terjadi.

Dan Widi tersinggung saat Ezra mengingatkannya dengan hal itu.

“See, you did something stupid too. Jangan terlalu menghakimi anak-anakmu. Pastikan saja mereka tak akan mengulanginya lagi.” Ezra tersenyum dan mengelus-elus puncak kepala Widi. “Kamu harus minta maaf pada Sarah. Dia sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan William.”

Hati Widi tersentuh. Ketika ia hendak minta maaf, Sarah sudah pergi dari kamar itu. Widi dan Ezra saling menatap penuh kebingungan.

“Aku akan cari Sarah.” Ezra segera keluar dari kamar.

*

Hari sudah gelap saat Ezra keluar rumah sakit untuk mencari Sarah. Ia sempat bertanya pada beberapa orang ke mana perginya gadis itu. Tentu saja dengan menyebutkan ciri-cirinya saja. Mereka menunjuk keluar, ada yang bilang ia menuju halte dekat rumah sakit. Pria itu segera berlari agar tidak kehilangan jejak.

Sarah tengah duduk menunggu bus di halte dekat rumah sakit. Ketika melihat Ezra, ia hanya tersenyum dan sedikit bergeser agar Ezra bisa duduk di sebelahnya.

“Kenapa kamu pergi?” tanya Ezra.

“Capek. Mendengar ocehan Ayah juga membuatku sakit hati. Ya, aku memang salah. Tapi kan aku sudah berusaha memperbaiki semuanya. Ini lebih baik daripada mendapatkan kabar William telah meninggal dari orang lain,” jawab Sarah tanpa menatap Ezra. Ia fokus pada kendaraan yang berlalu lalang di depannya.

“Dia hanya panik. Kau pasti paham, kan?”

“Ya. Dulu Papa yang selalu menenangkan Ayah. Aku sadar aku tak bisa melakukan itu.” Sarah mengenang Jon begitu dalam. “Kenapa papaku harus pergi duluan? Mungkin hidupku akan lebih bahagia jika ia tetap hidup.”

“Jon terlalu baik untuk dunia ini.”

“Apa kau pernah merindukan putrimu?”

Ezra melirik Sarah. “Tentu saja pernah.”

“Kau pernah mengatakan itu padanya?”

“Pernah. Walaupun aku selalu merasa berjarak dengannya. Aku tak tahu sejak kapan, mungkin sejak aku bercerai dengan ibunya Widuri. Atau sejak Widuri tahu aku penyuka sesama jenis. Entahlah.”

“Tapi kau tetap mencintainya?”

“Tentu saja. Aku mengharapkannya, masa aku tidak cinta padanya? Dia adalah harapan baik yang menjadi nyata.”

Sebuah bus berhenti di hadapan mereka. Pintunya terbuka. Sarah atau Ezra tak ada yang beranjak untuk naik ke sana. Pintu bus tertutup lagi. Dan bisa itu melaju tanpa ada seorang pun yang naik di halte ini.

“Boleh aku menginap di apartemenmu?”

“Untuk apa?” Dahi Ezra berkerut.

“Menenangkan diri.”

“Bagaimana bisa kau menenangkan diri jika berada di sarang badai?” tanya Ezra dengan mereferensikan dirinya sebagai badai. Ezra merasa tak akan ada ketenangan jika seseorang berada di dekatnya. Selalu akan ada yang hancur.

Sarah mendekati Ezra. Ia menggaet lengan dan bersandar pada bahu pria itu. “You’re not a storm. You’re a human just like me.”

*

“Ya. William sudah sadar.” Widi menjawab telepon dari Ezra sambil mengamati William yang sudah sadar. Putranya belum mau bicara apa pun. Ketika mendengar Sarah hendak menginap di tempat Ezra, Widi hanya bisa pasrah. Ia sadar betul kalau Sarah sakit hati padanya. “Tolong jaga Sarah. Terima kasih sudah mengabarkan. Sampai jumpa.”

Widi melepaskan ponsel dari telinganya. Perhatiannya kembali fokus pada William. Wajah William terlihat sangat bersalah. Namun, Widi tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia akan menunggu sementara waktu sampai sang anak bicara duluan.

William yang masih lemah menatap sang ayah. “Aku minta maaf atas segala kekacauan ini. Maafkan aku.”

“Ya. Aku harap kau menyesal,” kata Widi yang emosi. “Kalau kau tidak menyesal, aku buat hidup menderita sampai kau menyesal karena sudah dilahirkan.”

Mendengar ancaman Widi, nyali William langsung ciut. “A-aku menyesal, Ayah. Sungguh!”

“Kita harus minta maaf dan berterima kasih pada Sarah dan Ezra. Minta maaf atas segala kekacauan yang kau buat, juga berterima kasih karena mereka yang menyelamatkanmu.”

“Baik, Ayah.” William menatap ke sekeliling ruangan. “Dimana Sarah?”

“Menginap di tempat Ezra. Kami bertengkar beberapa jam yang lalu. Dan aku juga mendapat teguran dari polisi. Mereka akan mengirimmu ke pusat rehabilitasi jika hal ini terjadi lagi.” Melihat wajah William yang ketakutan, Widi langsung melembutkan hati. “Kamu ingin jadi dokter hewan kan, Will? Kalau begitu jangan membahayakan diri sendiri. Rawat dirimu. Jadi kau bisa merawat makhluk lain.”

“Maafkan aku, Ayah. Aku akan berusaha agar hal ini tidak terjadi lagi.”

“Bisakah kau jujur, sudah berapa kali kamu begini?”

“Baru sekali ini. Sumpah! Minum dan obat, baru sekali ini! Aku kapok, Ayah!”  tegas William yang tahu jika sang ayah akan meragukan dirinya.

Widi menggenggam tangan putranya. Tatapannya sangat lembut seperti peri baik hati. “Aku percaya padamu. Namun, jika hal ini terulang lagi, aku akan mengirimmu ke pusat rehabilitasi dan tidak mengizinkanmu untuk sekolah kedokteran apa pun itu. Aku tidak mau jika anakku membahayakan makhluk lain. Ingat itu!”

“Baik, Ayah.” Hanya itu yang bisa William katakan setelah mendengar ancaman dari Widi. Nada bicaranya lembut sekali. Tapi isinya ancaman semua. Mengerikan.

“Sekarang, kamu istirahat. Tidur yang nyenyak,” suruh Widi sebelum mengecup dahi sang anak.

*

Karena Sarah enggan pulang ke rumahnya untuk mengambil pakaian, Ezra memberikan kaos katun polos biru pastel dan celana joger abu-abu. Ia mempersiapkan kamarnya untuk ditempati gadis itu. Ketika Sarah keluar dari kamar mandi, Ezra selesai mempersiapkan kamar. Mereka saling melempar senyum.

“Kau tidur di sini, ya,” kata Ezra.

“Tidak,” tolak Sarah. “Aku tidur di sofa saja. Kau butuh tidur yang nyaman setelah kekacauan ini.”

“Tidak bisa. Kau tidur di sini dan sebelum tidur harus mengunci pintunya.”

“Kenapa begitu?”

Ditanya begitu, Ezra hanya terdiam. Ingatannya kembali ke masa lalu. Tentang awal kehancuran Ezra dan Kenny. Mengerikan. Wajah Ezra sampai pucat saat mengingatnya.

“Ezra,” panggil Sarah sambil menjentikkan jarinya di depan wajah pria itu.

“Ya.” Ezra kembali sadar.

“Kau menghilang beberapa detik. Kau pucat seperti habis melihat hantu.”

“Sepertinya memang begitu,” ucapnya dengan lirih. “Lakukan saja apa yang aku suruh.”

Awalnya Sarah tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak, sepertinya Sarah paham apa yang Ezra anggap sebagai hantu. “Apakah hantu itu masa lalumu?”

Ada dua guling di atas kasur. Ezra mengambil satu untuk dibawa tidur di sofa. “Ya.”

“Mau membicarakannya?”

“Tidak.” Ezra membuka lemari dan mengeluarkan sebuah bantal cadangan. Kemudian ia keluar dari kamar tanpa bicara apa-apa lagi.

Kini keduanya berbaring di tempat berbeda. Sarah berbaring di atas kasur kamar Ezra, memikirkan apakah Ezra akan baik-baik saja esok hari. Menurut Sarah, yang dianggap hantu oleh Ezra adalah kenangan saat Ezra merudapaksa Kenny. Sarah lupa dari siapa mendengar hal ini, apakah dari William, Widi, atau langsung dari Kenny. Dia hanya tahu masalah intinya saja. Ezra merudapaksa Kenny. Itu saja. Cerita lengkapnya tak pernah tahu.

Ezra yakin, setidaknya Jon menceritakan kisahnya pada Widi. Entah kapan itu terjadi. Widi itu kepo, apalagi pada sesuatu yang menyangkut dirinya. Mungkin Widi bertanya karena ia tak terima ditinggal begitu saja oleh Ezra. Tapi jika Jon dan Widi bercerita pada Sarah, untuk apa? Pria itu kini menduga jika Sarah tahu dari William atau Kenny. William dulu membencinya, wajar jika cerita itu digunakan sebagai senjata agar Sarah ikut benci dan hubungannya dengan Widi semakin sulit. Kalau Kenny, jangan ditanya. Dendam yang mengakar kuat dalam hati bisa mendorongnya untuk melakukan apa pun untuk membalas perbuatan Ezra.

Mengingat perlakuannya pada Kenny selalu membuat sedih. Ezra merasakan hukuman yang lebih berat dari dikurung dalam penjara. Rasa malu dan bersalah yang ditanggung seumur hidup. Apalagi kini Kenny telah meninggal dengan cara yang tragis. Beban yang Ezra pikul semakin berat. Semua kekacauan dalam hidup Kenny ialah penyebabnya.

Heinrich adalah satu-satunya orang yang menemani Kenny melalui masa kelam. Dia tahu cerita itu dari Kenny langsung dan Kenny tidak mengurangi atau menambahi ceritanya. Semua yang diceritakan benar-benar hal yang terjadi pada malam itu. Kenny bahkan memberikan alasan yang sama pada Heinrich dan Ezra saat ia memutuskan untuk tidak melaporkan hal ini ke polisi. Takut dan malu. Takut akan penilaian orang terhadapnya, takut tidak dipercaya karena masyarakat masih berpikir kaum Adam tidak mungkin mengalami kekerasan seksual. Juga malu karena baginya ini adalah sebuah aib.

Saat bersama Heinrich, Ezra pernah bertanya apakah perlu dia menyerahkan diri ke polisi. Heinrich bilang tidak perlu. Korban sudah meninggal, barang bukti tidak ada, sekuat apa pun Ezra minta ditahan, prosesnya tidak akan mulus. Itu hanya akan jadi kasus yang membuang waktu. Baginya, Ezra sudah mendapatkan hukuman yang setimpal. Rasa bersalah dan malu seumur hidup. Biarkan saja kejadian sebenarnya terkubur bersama Kenny.

“Kamu tidak bisa minta maaf lagi pada Kenny. Satu-satunya cara untuk menebusnya adalah menjadi orang yang lebih baik. Kenny mungkin tak bisa melihat usahamu untuk menjadi lebih baik. Tapi Tuhan bisa.” Itulah pesan Heinrich yang selalu Ezra ingat.

Ezra selalu mempertanyakan hal ini, apakah cukup dengan berusaha menjadi orang yang lebih baik bisa menghilangkan semua bebannya?

*

08 Oktober 2024

Terima kasih sudah membaca. Aku tunggu vote dan komentarnya. 🙂

His Love 3 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang