“Ayah akan bercerita lagi, kan?”
Widi yang baru menaruh pantat di atas sofa langsung terdiam. Jujur, ia masih merasa tak nyaman untuk menceritakan hal ini. Alasannya adalah ia tak terlalu suka kisah masa lalunya. Selain itu William juga tidak ramah pada orientasi seksualnya. Untuk apa juga ia bercerita jika William masih akan berkeras hati padanya?
“Aku ingin mengenalmu lebih dalam. Mungkin nanti aku akan melakukan hal yang sama pada Maddy,” jelas William.
Mau tak mau Widi harus bercerita. Ia pun mengangguk pelan. “Tadi sampai mana, ya?”
“Pertemuan pertama dengan Papa. Lalu kau bilang tentang apa yang kau rasa menjauhkanmu dari orang-orang yang kau sayangi.”
“Oh, ya.” Widi terdiam untuk mengingat apa saja yang terjadi. “Pertemuan kami berlanjut. Kami menjadi sangat dekat. Biasanya setelah menyelesaikan tugas sekolah, aku akan pergi ke rumah Walter. Aku mengerjakan beberapa pekerjaan seperti mencuci mobil, menyapu halaman, atau hanya menemani Jon saja. Saat menemani Jon, aku merasa sikap pria ini menjadi semakin manis.”
“Apakah Papa menyatakan perasaan padamu?”
“Ya. Sebelum ia pulang ke Amerika Serikat, ia menyatakan perasaan padaku.”
“Pasti indah, ya?” tanya William yang mulai merasakan bunga-bunga dalam cerita sang ayah.
“Aku malah takut,” jawab Widi diikuti senyuman. William terlihat heran. “Ya, dicintai oleh Jon memang yang aku inginkan. Mungkin hampir seluruh khayalanku sebelum tidur adalah dicintai olehnya. Tapi saat semua menjadi nyata, ternyata sangat menakutkan. Bayangkan, seorang pria dewasa jatuh cinta padamu. Perbedaan usia sangat jauh, kau masih di bawah umur. Kalian sama-sama lelaki.”
“Lalu apa yang kau katakan padanya?” William mengambil sepotong kukis dari dalam stoples.
“Aku bilang aku tak bisa dengan banyak penjelasan. Syukurlah dia mengerti.”
Widi kecil tidak buta dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Ada banyak kasus tentang hubungan pasangan berbeda ras yang berakhir buruk. Kasus penganiayaan, pemerasan, kekerasan seksual, sering didengarnya. Widi takut, jika Jon hanya berpura-pura menyatakan cinta demi mendapatkan keuntungan dari dirinya.
“Tapi Jon sangat sabar. Dia datang ke Bali tiga kali. Setiap kami bertemu, ia selalu membuatku merasa nyaman. Saat kedatangannya yang ketiga, dia menyatakan lagi perasaannya dan menanyakan apakah aku punya perasaan yang sama untuknya.” Widi membelah kukis di tangannya. Lalu menggigit sedikit kudapan itu.
“Then?”
“Aku bilang aku menyukainya. Lalu kami saling menatap, saling memberi senyum. Dia kembali bertanya apakah dia boleh jadi milikku, aku jawab boleh. Kami sama-sama tersipu malu. Dan dia bilang mulai hari ini dia adalah pacarku.”
William ikut tersenyum mendengar cerita ayahnya. “Itu enggak romantis, sih. Tapi bolehlah. Ayah, aku penasaran, di usiamu yang begitu muda, apa Papa pernah meminta sesuatu padamu?”
“Enggak. Enggak ciuman, enggak berhubungan intim, atau apa pun yang bisa mengarah ke sana. Dia mengerti kalau aku masih di bawah umur. Dia jarang sekali menyentuhku.”
“Baguslah.” William terlihat lega sekali. “Bagaimana tanggapan orang tua kalian?”
“Dulu aku berpikir kalau semua baik-baik saja di pihak Jon. Setelah bertahun-tahun, Jon menjelaskan kalau orang tuanya pernah melarang kami bersama karena perbedaan usia. Tapi Jon terlalu keras untuk dinasihati. Sampai akhirnya mereka meminta pada ibuku agar aku tidak datang ke rumah dulu. It didn’t work. Jon selalu punya cara untuk menemuiku.” Widi meminum air dalam gelas. Tiba-tiba ia teringat dengan sang ibu yang mulai mempertanyakan kedekatan mereka. “Lalu ibuku mulai menanyakan tentang kami.”
Ibunda Widi bernama Sawitri. Perempuan ini tahu si bungsu berbeda dari ketiga kakaknya. Anak pertama Sawitri terkenal sebagai orang yang berwatak keras, ia tak segan untuk adu jotos demi menyelesaikan masalah. Anak keduanya nakal dan jahil, sering kali tercebur dalam masalah karena ulahnya. Anak ketiganya paling biasa-biasa saja. Nah, Widi sangat lemah lembut dan manja sejak kecil.
Saat Louisa meminta Widi untuk menemani Jon, Sawitri sama sekali tidak berpikiran negatif. Ia menganggap kalau Louisa butuh seseorang yang bisa menemani Jon menjelajahi Bali. Semacam jadi tour guide dadakan. Melihat mereka yang semakin dekat juga tidak mengganggunya. Tapi semua berubah ketika Louisa meminta Sawitri melarang Widi datang ke rumah itu untuk sementara waktu.
“Apakah anak saya membuat masalah, Nyonya?” tanya Sawitri.
“Tidak, Witri. Jon hanya butuh berapa waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya,” jawab Louisa.
Jawaban sang nyonya sangat melegakan bagi Sawitri. Sekitar dua minggu Jon tidak bertemu dengan Widi. Tapi Jon sering menitipkan hadiah untuknya lewat Sawitri, hanya saja Sawitri diminta untuk merahasiakan ini dari Louisa.
Hadiah dari Jon membuat Widi senang. Kadang isinya makanan ringan atau tempat pensil berisi alat tulis. Hal ini malah membuat Sawitri penasaran. Jadi dia memutuskan untuk bertanya pada Widi.
“Widi, apa kamu minta dibelikan barang-barang ini pada Jon?”
“Ndak, Bu. Widi ndak tahu kalau Jon membelikan semua ini.”
“Jangan sampai kamu minta-minta pada orang lain, ya. Ndak baik. Ibu masih mampu biayai kamu.”
“Ya, Bu.”
Suatu hari saat sedang membersihkan dapur, Sawitri tak sengaja mendengar obrolan Jon dan Louisa. Mereka berbicara dalam bahasa Inggris. Walaupun Sawitri tidak paham semua obrolan mereka, tapi ia paham inti dari pembicaraan itu. Obrolan yang semula biasa saja malah menjadi ajang debat saat membahas perasaan Jon untuk Widi. Di sanalah Sawitri akhirnya tahu kalau Jon adalah penyuka sesama jenis dan sedang jatuh cinta pada anak bungsunya. Parahnya lagi Jon juga mengakui kalau mereka sepasang kekasih. Louisa sangat marah dan langsung menampar lelaki itu.
“He’s still a minor, Jon. Don’t you dare get close to him again!”
Sebagian seorang ibu, Sawitri jelas marah. Ia tak mau terjadi hal yang tidak diinginkan pada Widi. Ia bahkan berpikir untuk melepaskan pekerjaannya saat ini.
Saat waktu liburnya tiba, hanya Sawitri dan Widi saja berada di rumah. Mereka duduk di belakang rumah. Duduk di atas balai bambu sambil melipat pakaian. Sawitri menatap putranya yang tampan dan manis. Ia sadar pesona Widi yang menarik hati anak majikannya.
“Ibu mau berhenti bekerja di rumah Walter,” ucap Sawitri membuka pembicaraan.
Widi langsung menatap ibunya. “Kenapa, Bu? Di sana kan orangnya baik semua. Ibu juga digaji dengan layak.”
“Ada hal yang lebih penting dari semua itu.” Sawitri mengelus satu sisi wajah putranya. “Kamu, Nak.”
“Aku? Kenapa?”
“Justru Ibu yang harus tanya kenapa. Apa ada rahasia yang kamu sembunyikan?” Matanya mulai berkaca-kaca. Suaranya mulai bergetar. “Ibu pernah ndak sengaja dengar obrolan Jonathan dengan Nyonya Louisa. Dia katakan semuanya. Ibu tahu siapa Jonathan. Ibu tahu isi hatinya. Sekarang Ibu mau kamu jujur, apa ada rahasia yang kamu sembunyikan?”
“Ndak ada, Bu.” Widi menundukkan kepalanya. Sang ibu mengangkat wajah Widi agar bisa menatap wajahnya. Widi yang tidak nyaman langsung memutuskan kontak mata.
“Ibu tahu Widi sedang berbohong,” ucapnya dengan lembut, menahan amarah di hatinya. “Widi, Ibu perjelas, ya. Ibu tahu Jon penyuka sesama jenis. Ibu tahu Jon jatuh cinta padamu. Bahkan Ibu tahu kalian pacaran. Apa semua itu benar, Nak?”
Widi tak bisa mengelak lagi. Perlahan ia menganggukkan kepalanya. Hancur sudah hati Sawitri.
“Widi, kamu tahu ini salah. Kenapa dilakukan juga? Apa kamu dirayu sampai akhirnya mau dengan Jon? Apa kamu diapa-apain juga?” Sawitri yang marah besar berusaha menekan suaranya agar tidak menakuti Widi. Ia juga menjaga agar masalah ini tidak terdengar tetangga.
“Widi ndak dirayu atau diapa-apain!” tegas remaja itu. “Karena Widi juga menyukai Jonathan.”
“Ya Allah, Nak!” desah sang ibu yang seketika lemas mendengar pengakuan anaknya. “Sejak kapan kamu suka laki-laki?”
“Sejak lama.” Widi terisak. “Jauh sebelum bertemu Jonathan. Widi mau bilang ke Ibu. Tapi, Widi takut Ibu marah.”
“Duh Gusti! Widi, kalau kamu bilang dari awal, insha Allah Ibu bisa bantu kamu lebih baik,” kata Sawitri. Ia mengusap bahu anaknya. Ia meraih sang anak dalam pelukannya. Widi menangis sejadi-jadinya. “Ibu ndak tahu harus bagaimana. Tapi Widi harus menurut sama Ibu. Mulai hari ini Widi jangan pernah bertemu Jonathan lagi. Widi harus tahan perasaan Widi. Widi juga harus rahasiakan ini dari siapa pun. Cukup Ibu saja yang tahu, ya.”
Widi tak kuasa untuk membantah ibunya. “Ya, Bu.”
Setelah menceritakan pengalaman melela pada ibunya, Widi terdiam cukup lama. Melihat wajah sang ayah yang kusut, William tak berani bertanya lebih jauh. Biarkan saja sang ayah yang menentukan kapan hendak bercerita lagi.
“Aku berusaha menjauhi Jon. Tapi tak berhasil. Kami sudah saling jatuh cinta terlalu dalam. Kami mencuri waktu untuk sekadar bertemu.”
Di sisi lain, Sawitri mantap untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya di rumah Walter. Louisa sangat terkejut ketika mendengarnya.
“Saya sudah ndak betah, Nyonya,” ucapnya sambil menundukkan kepala.
“Setelah bekerja satu tahun, kamu bilang tidak betah. Begitu?” tanya Louisa yang masih tak percaya. Sawitri mengangguk. “Kita bisa bicarakan hal ini. Kamu bisa bilang apa saja yang membuatmu tidak betah.”
“Saya sudah mantap untuk berhenti bekerja, Nyonya.”
Louisa menatap ke arah taman luar. “Sawitri, saya tahu alasan kenapa kamu minta berhenti bekerja. Saya sudah cek CCTV. Saya lihat kamu sedang memerhatikan saat saya bicara dengan Jon.”
Tangis Sawitri pecah. “Maafkan saya, Nyonya.”
Perempuan berambut merah itu mendadak sedih. “It’s okay. Saya juga minta maaf. Anak saya membawa pengaruh buruk untuk anakmu. Saya tidak akan menyalahkan keputusan kamu jika memang itu alasannya.”
“Terima kasih, Nyonya,” kata Sawitri dengan suara gemetar.
“Sebentar, ya.”
Louisa menghapus air mata dan bangkit dari duduknya. Ia menuju lantai dua. Sawitri menunggu dengan gelisah sampai sang nyonya kembali. Ketika kembali menemui Sawitri, Louisa membawakan dua amplop cokelat.
“Yang satu, gaji kamu. Saya bayar penuh untuk bulan ini.” Ia menyodorkan satu amplop untuk Sawitri. “Satu lagi untuk membantu menopang sekolah anak-anak kamu. Saya harap kamu segera mendapatkan pekerjaan setelah ini.”
“Terima kasih, Nyonya. Terima kasih banyak.” Sawitri mengambil kedua amplop itu dengan ragu-ragu.
“Terima kasih sudah menemani saya selama ini. Bagi saya, kamu adalah seorang teman. Jika butuh bantuan, jangan sungkan untuk datang ke sini, ya.”
“Ya, Nyonya. Terima kasih sekali.”
“Oh, Witri.” Louisa memeluk ibunya Widi dengan penuh haru.
Setelah Sawitri berhenti bekerja di rumah Walter, Widi tak punya alasan untuk ke sana. Jon juga kesulitan menemui Widi karena remaja itu tak berani pulang terlambat saat ibunya berada di rumah.
“Dua bulan kemudian ayahku mengetahui rahasiaku melalui binder milikku. Oh, ya. Nama ibuku adalah Sawitri. Nama ayahku adalah Nasiruddin. Aku memanggil mereka ibu dan bapak.” Widi terlihat malu untuk menceritakan bagian ini.
“Mother is ibu. Father is bapak. Oke. Aku mengerti. Apa yang ada di dalam binder milikmu?”
“Puisi-puisi erotis tentang cinta terhadap seorang pria, gambar vokalis band yang bertelanjang dada hasil menggunting dari majalah remaja, terus apalagi, ya?” tanya Widi pada diri sendiri.
“Weird,” komentar William mengenai isi binder sang ayah.
“Ya mau bagaimana lagi. Dulu sangat sulit mencari yang seksi-seksi. Internet bisa dipakai, tapi sinyalnya tidak sebagus sekarang. Sewa video biru di rental DVD bisa, sih. Tapi kan aneh kalau ada remaja lelaki mencari video biru tentang gay,” jelas Widi.
“Betul juga, sih. Apa yang terjadi saat ayahmu tahu tentang isi binder itu?”
“Aku diinterogasi. Aku mengelak. Tapi ayahku tahu ada yang salah denganku. Aku dimaki-maki dan dihajar habis-habisan. Dikurung dalam kamar. Sempat tidak diberi makan. Lalu aku tidak diizinkan untuk sekolah lagi.” Widi mengusap wajah dengan kedua tangannya. Ia terdiam sejenak. Rasanya ia kembali mendengar sang bapak yang memanggilnya dengan sebutan sampah dan gigolo. Tiba-tiba ia merasakan usapan di punggungnya. Ia melirik William. Mereka saling melempar senyuman.
“Kalau Ayah mau berhenti bercerita, itu tak apa-apa.”
“Tidak. Aku akan selesaikan semuanya. Tapi setelah ini jangan tanya apa pun lagi.” Widi bersiap bercerita kembali. “Ayahku sempat ingin memasungku di rumah kakek di Banyuwangi. Karena kakakku, Dani dan Tyo, tidak setuju, mereka membawa aku lari dari rumah. Aku dibawa ke Surabaya. Beberapa hari kemudian Jon datang dan membawaku ke Bogor.”
“Dan keluargamu mengizinkannya? Kok bisa? Kan Ayah masih di bawah umur!”
“Dari cerita kakakku dan Jon, ibuku meminta tolong pada keluarga Walter untuk merawatku di luar Bali. Karena ibuku tidak percaya kalau aku hanya akan dipasung. Ayahku cukup gila untuk membunuhku. Kemudian aku hidup di Bogor sekitar delapan tahun sampai memutuskan untuk merantau ke Amerika Serikat.”
“Selama delapan tahun itu, kau pernah pulang ke Bali?”
“Tidak. Aku menelepon ibuku beberapa kali dalam seminggu. Biasanya saat ayahku tidak di rumah. Video call agak sulit di waktu itu. Jadi kami melihat wajah masing-masing hanya melalui foto yang dikirim lewat pos. Setiap bulan kami saling berkirim foto secara sembunyi-sembunyi. Terakhir aku lihat ibuku sudah memakai kerudung dan berhenti bekerja karena kakakku sudah bisa memberi uang padanya.” Wajah Widi kembali sendu. Ia teringat pada saat pulang ke Bali dan melihat ibunya sudah tak bernyawa. Sampai sekarang ia masih bertanya-tanya kenapa ia bisa sampai terlambat menemuinya. “Aku beruntung bisa melihat sosoknya sebelum dikebumikan.”
“Dia meninggal?!” pekik William.
“Ya. Aku punya firasat tak enak padanya. Ketika aku memutuskan untuk pulang, ternyata ibuku sudah meninggal. Meninggal karena kanker payudara. Selama beliau sakit, keluargaku dan keluarga Jon kompak tidak memberitahu hal ini padaku. Aku sempat marah pada mereka. Tapi di saat inilah hubunganku dengan ayah menjadi lebih baik. Kami bicara, dia ternyata merindukanku. Beliau hendak pergi ke acara wisudaku. Sayangnya, itu tak terjadi. Ayahku meninggal karena serangan jantung.”
“Ayah pasti sedih sekali saat kehilangan mereka dalam waktu yang berdekatan. Aku enggak bisa bayangkan hal itu.”
“Ya. Memang berat. Tapi aku harus terus berjalan. Setelah menerima semuanya, aku memperbaiki hubunganku dengan Jon. Lalu aku memutuskan untuk pindah ke sini. Begitulah kisahku,” pungkas Widi. Ia menoleh ke arah jam dinding. “Sudah, ya. Ayah capek sekali.”
“Oke. Selamat tidur.”
“Selamat tidur.”
Setelah Widi pergi, William terdiam di atas sofa. Ia menyadari kalau hidup Widi berat sejak dulu. Kemudian sesuatu menggelitik hatinya.
Kapan-kapan aku mau tanya tentang kakek nenek dari pihak ibuku. Tapi tanya pada siapa, ya? – William
*
08 April 2024Apa kabar?
Ya Allah, aku mager. Doain ya supaya enggak mager ☹️
![](https://img.wattpad.com/cover/317717789-288-k273906.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
His Love 3 🌈
RomansaApakah kau akan terus mencintai seseorang yang punya masa lalu sangat buruk?