54.

24 8 7
                                        

Suasana ruang tengah mendadak sunyi setelah Ezra memberikan pengakuan. Bayu terlihat marah dan kecewa. Pria itu sampai melarang Ratri, Widuri, dan Dewa berada di sana. Mereka disuruh masuk ke kamar masing-masing. Ezra mulai takut dengan nasibnya ke depan, tapi akhirnya ia pasrah. Kalimat istigfar dari mulut Bayu memecah keheningan malam itu. Tampaknya ia sudah bisa mengendalikan diri.

“Sejak kapan?”

“Sejak kuliah di Bogor. Kalau enggak salah mulai semester empat atau lima.” Ezra meraih sebungkus rokok yang tergeletak. Ia ambil sebatang dan dinyalakan. Isapan pertama terasa nikmat.

“Temanmu?”

“Ya. Aku dulu sewa kamar di rumahnya. Waktu itu yang bisa datang ke wisudaku hanya Bapak dan Rubiyah. Mas Bayu masih bertugas. Mbak Ratri temani Bunda di ICU.” Ezra menatap foto wisudanya. Sebenarnya di foto asli hanya ada Ezra dan Sujimin. Ia tak sempat berfoto dengan Rahmi, ibunya, karena kondisi wanita itu sudah sangat lemah. Setelah Rahmi wafat, Ezra mengedit foto wisudanya. Ia ambil gambar Rahmi dari foto wisuda Bayu dan menempelkannya di sampingnya. “Rubiyah dan Bapak pernah bertemu dengannya, tapi mereka enggak ngeh kalau dia itu lebih dari sekadar teman.”

“Ya Allah, Ezra,” gumam Bayu sambil mengusap wajah. “Dan sekarang kamu tinggal di Amerika Serikat karena dia juga tinggal di sana?”

“Bukan itu saja alasan aku tinggal di Amerika Serikat. Banyak hal yang enggak aku suka di sini. Makanya aku pilih merantau ke sana. Atau lebih tepatnya, aku melarikan diri.” Ezra mengetukkan rokok ke pinggiran asbak. Abu bekas pun terjatuh. “Kaget, ya?”

“LGBT bukan hal yang baru. Aku hanya tidak pernah berpikir kalau salah satu anggotanya adalah adikku sendiri.” Bayu menatap sang adik. “Apa ada yang salah dari cara kami mendidikmu?”

“Oh! Enggak ada!” seru Ezra. Ia mengisap rokoknya sekali. “Aku jatuh cinta secara alami. Itu saja.”

“Terus kamu mau bagaimana ke depannya?”

“Jalani hidup sebaik-baiknya.”

“Apa ada hal lain yang kamu sembunyikan?”

“Ada. Tapi aku enggak akan ungkapkan sekarang. My coming out sudah cukup untuk membuatmu kaget malam ini.” Tentu saja Ezra tak mau membicarakan pernikahan dengan Heinrich. Apalagi membahas perlakuannya terhadap Kenny. Giliran Ezra yang bingung dengan sikap Bayu. Kenapa pria ini tak melarang atau marah padanya?

Mata mereka bertemu. Bayu pun bertanya, “Kenapa?”

“Kamu enggak marah, Mas? Atau kamu enggak ada niat untuk melarang aku atau apa gitu?”

“Aku mau marah atau melarang juga tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap kamu. Kamu pasti sudah kebal dengar ini itu dari orang lain.” Bayu tampak sangat pasrah dengan kondisi Ezra. “Tetap jaga diri, Zra. Aku tidak mau ada hal buruk terjadi padamu. Walaupun kita tidak dekat selama bertahun-tahun, kamu tetap adikku. Aku mau memperbaiki hubungan kita.”

Ezra tak bisa menahan senyumnya. Ia pun mengangguk pelan. Tangannya menekan rokok ke dalam asbak. “Terima kasih.”

“Ya.”

Bayu mendekat dan memeluk adiknya. Kali ini Ezra tidak menolak untuk berpelukan, ia bahkan membalas pelukan kakaknya.

“Aku minta maaf atas segalanya,” ucap Ezra.

“Ya. Maafkan aku juga,” balas Bayu.

*

Prom night semakin dekat. Sekolah akan mengadakan acara ini di bulan Juni. Sepanjang jalan menuju loker, William mendengar banyak orang membicarakan berbagai hal yang berhubungan dengan acara itu. Hatinya mendadak panas ketika teringat Ginny akan datang ke sana bersama Jules. Meskipun katanya itu karena tugas, firasatnya mengatakan kalau alasan sebenarnya bukanlah hal itu.

Hari ini William akan bertemu dengan Ginny di kelas Bahasa Spanyol. Begitu masuk ke dalam kelas, ia melihat Ginny sedang diapit oleh Kendra dan Alicia. Mereka sedang melihat gaun yang akan dipilih Ginny untuk ke prom night. William berada di belakang mereka dan menatap ke layar. Pemuda itu cukup terkejut dengan gaun pilihan Ginny. Gadis itu memilih sebuah gaun ketat berbelahan dada rendah, berwarna hijau zamrud yang dihiasi dengan batuan yang berkilau.

“Ayahmu mengizinkanmu untuk memakai gaun itu?” tanya William. Belum sempat Ginny menjawab, William sudah duduk di kursinya sendiri.

“Belum tahu. Tapi ini sangat bagus. Aku sudah lihat pakaian yang akan Jules kenakan ke sana. Dan aku rasa gaun ini cocok untuk disandingkan dengan pakaian Jules.”

“Semoga beruntung,” sahut William.

“Aku membuat kukis cokelat dan selai kacang untukmu.” Ginny memberikan kotak kertas berisi lima kukis untuk William. “Aku harap kau menyukainya.”

“Terima kasih.”

Aku sedang disogok, ya? – William

Jules datang ke kelas itu. Ia menyapa Ginny dengan begitu ramah. William langsung memalingkan wajahnya.

“Ginny,” sapa Jules. Ia merangkul gadis itu. “Kau sedang apa?”

“Aku memilih gaun bersama Kendra dan Alicia. Kami juga sedang mencicipi kukis cokelat dan selai kacang. Mau coba?”

“Selai kacang? Maaf sekali. Aku tidak bisa makan itu. Kacang membuatku gatal-gatal.” Jules terlihat sangat menyesal.

“Sayang sekali.”

Jules menatap William yang sedang makan kukis pemberian Ginny. “Hai, Will.”

“Hai.”

“Aku ajak Ginny ke prom night. Tidak apa-apa, kan?”

“Kalau aku bilang, aku merasa tidak suka, apa kalian akan membatalkan rencana untuk datang bersama?” Mata William menatap ke arah Ginny dan Jules bergantian. Ketika tak ada yang menjawab, William berkata, “Sudah jelas sekali jawabannya.”

“Will, aku tak bermaksud—“ Bel tanda mulai pelajaran berbunyi. Jules langsung pamit pada William dan Ginny. “Aku pergi dulu.”

Pemuda pirang itu segera keluar kelas. Ginny menatap William yang masih asyik makan. Gadis itu menggelengkan kepalanya.

“Kau tak tahu betapa pentingnya—“

“Ya. Acara itu penting sekali untukmu. Aku paham. Sekian. Terima kasih,” kata William yang menyela Ginny.

*

Saat Ronan liburan ke Brasil, Widi mendapatkan tugas darinya untuk mengatur Sugar Gems. Sejak pagi ia membuat mengerjakan banyak laporan yang belum diselesaikan oleh Ronan. Terutama pajak. Widi beruntung, sebelum makan siang, laporan-laporan itu sudah selesai dikerjakan.

Sambil menikmati roti isi sayuran, alpukat, dan tuna, Widi membalas pesan dari William. Sang anak meminta untuk makan di luar. Makanan cepat saji pun tidak apa-apa katanya. William hanya butuh suasana baru untuk makan malam.

Pintu kantor di ketuk dari luar. Zoh muncul saat pintu itu terbuka.

“Widi,” sapa Zoh sambil mendekat ke mejanya. “Ada Heinrich mencarimu.”

“Oh, ya? Hm, oke. Suruh dia menunggu sebentar. Aku habiskan ini dulu,” kata Widi yang mengangkat makan siangnya.

“Baiklah. Aku permisi.”

Widi menggigit roti isi dengan cepat. Tak biasa ia mendapatkan kunjungan dari Heinrich. Terakhir mereka bertemu sudah lama sekali. Itu pun saat ia tahu Heinrich menikahi Ezra.

Sekarang apa lagi? – Widi

Heinrich duduk di salah satu pojok kafe. Dua buah egg tart dan hazelnut latte hangat menemaninya di atas meja. Pria itu masih memakai seragam pilot lengkap dengan koper kecilnya. Aroma tubuhnya tercium begitu wangi, kulit wajahnya tampak segar walaupun ekspresinya begitu muram.

“Hai,” sapa Widi padanya sambil duduk di kursi. “Sudah lama kita tak bertemu, bagaimana kabarmu?”

“Cukup baik.” Heinrich menyesap minuman hangatnya.

“Kalau kau sudah di sini, berarti Ronan sudah pulang dari Brasil, ya?”

“Ya. Ngomong-ngomong soal pulang, apa kau tahu kapan Ezra akan pulang ke sini?”

Mata Widi membulat. Bagaimana bisa Heinrich yang notabene suami Ezra, malah bertanya padanya kapan Ezra pulang ke Amerika Serikat. “Aku tidak tahu. Memangnya Ezra tidak bilang padamu?”

“Tidak. Kau pasti tahu kalau kami bertengkar pada malam sebelum Ezra pulang ke Indonesia.”

“Aku tahu itu.” Widi menarik Zoh yang lewat di sampingnya. Ia berkata pada perempuan tomboi itu, “Iced Americano satu. Yang large.”

“Oke,” sahut Zoh sebelum berlalu.

Widi kembali memusatkan perhatian pada Heinrich. Dari cara pria itu memegang cangkirnya dengan erat, terlihat seperti ada sesuatu yang mengganggunya. “Tell me, sebenarnya apa yang membawamu kemari?”

“Aku akan bercerai dengan Ezra.”

“Apa aku tidak salah dengar?!” seru Widi.

“Kau tidak salah dengar. Aku bertanya kapan Ezra pulang ke sini karena aku ingin segera mengurus perceraian kami. Aku belum bilang apa-apa tentang hal ini padanya. Aku berniat membicarakan ini langsung di hadapannya. Sejak Ezra sampai di Semarang, dia hanya sekali membalas pesanku. Aku tidak diizinkan untuk menelepon, dia bilang akan menelepon jika kondisinya sudah kondusif. Tapi sampai sekarang tidak ada kabar,” jelas Heinrich yang wajahnya terlihat sangat frustrasi.

“Apa perceraian ini hasil pemikiran satu malam?”

“Tidak. Setidaknya sejak dia pergi meninggalkan apartemen, aku mulai memikirkan tentang hal ini.” Heinrich bersandar pada kursinya.

Kepala Widi mendadak pusing. Untung saja Zoh datang membawakan iced Americano untuknya.

“Kopi,” kata Zoh singkat sebelum pergi lagi.

“Terima kasih.” Widi langsung menyedot kopi dingin itu sampai tinggal setengah cup. Barulah ia bicara, “Apa alasannya?”

“Dia bukanlah seseorang yang kuinginkan.”

Dahi Widi berkerut. “Bagaimana bisa? Kau kan menikahinya karena kau menginginkannya. Oh! Aku tahu! Kau gagal membentuk Ezra menjadi Kenny! Itu kan maksud ucapan “bukan seseorang yang kau inginkan”?”

“Bukan!” Heinrich langsung mengelak walaupun hatinya tidak suka dengan apa yang keluar dari mulutnya. Sebuah kebohongan. Pria itu merasa kalah karena tak bisa menaklukkan Ezra. Selain itu bayangan dirinya menjadi monster juga sangat menyebal. “Ezra butuh seseorang yang lebih baik dariku. Seseorang sepertimu. Kalian cocok, lho.”

“Jangan jadikan aku alasan dalam perceraian kalian. Aku tidak suka,” tegas Widi. Sorot matanya yang tajam langsung melembut ketika melihat Heinrich yang bersalah. “Kau adalah pria yang baik. Aku tahu itu. Berhentilah mengubah Ezra menjadi Kenny. Dia manusia yang punya hati. Dia bukan Boeing atau Airbus yang bisa kau kendalikan. Kalau kau ingin mempertahankan Ezra, jadilah manusia. Jangan terlalu dingin dan kalkulatif.”

“Aku ingin mempertahankan Ezra. Tapi aku takut pada diri sendiri. Ada sebagian dari diriku yang ingin dia menderita saat bersamaku.”

“It will not happen for a long time. Ezra is a badass fighter. Dia akan memberontak. Dari empat belas bulan pernikahanmu dengan Ezra, sudah berapa bulan dia memberontak karena ulahmu?”

Heinrich terdiam. Hampir enam bulan ini hubungannya dan Ezra penuh gejolak. Mereka bahkan tidak merayakan ulang tahun pernikahan. Pria itu menatap Widi.

“Kalian butuh bicara berdua,” tambah Widi. Ketika mata Heinrich mulai berkaca-kaca, Widi mencoba menenangkannya. “Jangan menangis. Kau masih memikirkan perasaan Ezra walaupun kau ingin menyakitinya, itu tanda kau masih peduli padanya. Itu tanda kalau kau adalah pria yang baik. Bertahan atau berpisah, semua ada risikonya. Pilihlah yang terbaik untuk kalian.”

“Terima kasih,” ujar Heinrich sambil menahan air matanya agar tak jatuh.

“Kau sangat baik, Heinz. Kau akan bertemu pasangan yang baik, aku yakin itu. Entah apakah itu Ezra atau bukan.”

Senyum Heinrich mulai merekah. Pria itu mengangguk. Dalam hati Widi merasa iba padanya. Pria sebaik Heinrich kenapa harus mengalami banyak ujian dalam asmara. Dulu ia mengabaikan perasaan Heinrich karena tak bisa berpaling dari Jon. Hingga saat Jon meninggal, hatinya masih tak terbuka untuk Heinrich. Lalu Heinrich bertemu Kenny, mereka menjalani kisah yang indah. Sayangnya, dendam Kenny pada Ezra menghancurkan segalanya. Dan terakhir, ia menikahi Ezra. Their marriage is a catastrophe!

*

“Kami akan segera tutup, Will.”

Pustakawan lelaki itu bernama Cassidy. Ia menatap William yang mulai meletakkan kembali buku-buku yang telah diambilnya ke dalam rak. William membawa sebuah buku novel yang menarik untuk dibawa pulang. Keduanya menuju meja pustakawan. Di sana William akan menyelesaikan proses peminjaman buku.

“Apakah ayahmu akan datang menjemputmu?” tanya Cassidy sambil memindai buku novel dan kartu perpustakaan milik William.

“Ya. Aku sudah meminta ayahku untuk datang ke sini,” jawab William. Saat diberikan buku oleh Cassidy, William mengucapkan terima kasih. “Terima kasih, ya.”

“Sama-sama. Oh, ya. Gerbang depan sudah ditutup. Ada pekerjaan konstruksi di sana selama akhir pekan. Kita bisa lewat lapangan, di sana masih ada tim rugbi yang sedang latihan. Lalu menuju gerbang belakang.”

“Oke. Kau akan pulang sekarang, Pak?” William memasukkan buku novel ke dalam tas.

“Ya. Pekerjaanku sudah selesai.” Cassidy mengambil tas, mematikan lampu perpustakaan, lalu mengunci pintu dari luar. Ia berjalan bersama William menuju gerbang belakang. “Kau suka sekali membaca buku. Apakah itu kebiasaan yang berawal dari keluargamu?”

“Aku rasa begitu. Ayahku suka membaca sesuatu yang berhubungan dengan makanan. Resep, kandungan gizi makanan, gastronomi. Papaku suka komik. Favoritnya adalah seri Petualangan Tintin. Kakakku lebih suka membaca sesuatu yang menarik tentang make up, film, atau dunia hiburan.”

“Keluargamu tampak menyenangkan. Kalian bisa membaca buku bersama atau mengeksplorasi berbagai hal baru.”

“Ya. Kami suka menonton film dokumenter yang unik dan mendapatkan pengetahuan dari sana.”

“Bagus sekali.”

Mereka melewati sisi lapangan. Di dekat bangku penonton, ada tim rugbi sekolah yang sedang beristirahat. Cassidy terus bercerita tentang cucunya, tapi William tak memerhatikan karena sibuk mengenali dengan siapa Jules sedang duduk bersama. Awalnya dia ragu untuk meyakinkan jika gadis yang berada di samping Jules adalah Ginny. Namun, setelah melihat ada Kendra dan Alicia. Ia yakin itu adalah Ginny.

Dan benar.

Gadis yang tengah bertukar ciuman dengan Jules adalah Ginny.

William mendadak menghentikan langkahnya. Ia menatap kosong ke arah kedua orang itu. Hatinya patah dan kakinya lemas tak mampu untuk melangkah.

Kenapa tidak bilang saja jika menyukai Jules? – William

“Will,” sapa Cassidy yang menghampiri William yang terdiam. Ia menatap ke arah yang William lihat. Ia turut prihatin dengan hal itu. “Oh, Buddy!”

“It’s okay,” sahut William sambil menghapus air matanya. Ia mengangkat ponselnya ke arah Ginny dan Jules yang masih berciuman, lalu mengambil gambar mereka.

“Kau mau ke sana dan menghajar pemuda itu?”

“Tidak. Buang-buang energi saja,” kata William sambil berlalu. Sekarang ia meninggalkan Cassidy. William menahan diri untuk tidak marah.

Suasana hati William yang sedang kacau membuat Cassidy berhenti bicara. Ia hanya berjalan beriringan dengan William sampai parkiran.

“Kalau butuh teman bicara, kau boleh datang padaku,” ucap Cassidy. Sedikit senyum William membuatnya lega. “Aku pulang dulu, Will.”

“Terima kasih, Pak.”

Keduanya saling melambaikan tangan dan berpisah. William mencari sosok Widi di sekitar sana. Ia menemukan Widi berdiri di samping mobilnya tak jauh dari tempat William berdiri.

“Ayah,” sapa William sambil membuka lengan untuk memeluk Widi.

Widi awalnya terkejut dengan William yang ingin memeluknya. Kemudian ia langsung membuka lengan dan membiarkan sang putra memeluk tubuhnya. Mereka berpelukan seperti sudah lama tak bertemu.

“Apa yang terjadi?” tanya Widi saat melihat wajah lesu anaknya.

“Patah hati,” jawab William yang membuat Widi terkejut. “Sepertinya sebentar lagi hubunganku dan Ginny akan berakhir.”

“Kenapa?” Widi tampak sedih mendengar kabar itu. Lebih sedih lagi saat melihat wajah muram William. Ia genggam kedua tangan putranya.

“Aku belum siap bercerita. Bolehkah malam ini kita makan ayam goreng yang banyak?” Mata William terlihat berkaca-kaca.

Widi tak tega melihatnya. “Kalau itu membuatmu merasa lebih baik, ayo kita makan ayam goreng yang banyak.”

“Terima kasih, Ayah.”

*

08 Juni 2024

Terima kasih sudah membaca. Aku tunggu vote dan komentarnya.

His Love 3 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang