William pikir, Ezra akan segera mendekati Widi setelah diberi lampu hijau. Ternyata tidak. Sudah sebulan setelah William memberikan izin, Ezra malah tidak datang ke rumah dengan alasan sibuk. Sibuk mengurus segala acara setelah kematian ayahnya, sibuk bekerja, sibuk mengurus perceraian dengan Heinrich, dan lain-lain.
Pemuda itu pikir Widi akan mencari keberadaan Ezra, minimal menanyakannya. Tapi pria mungil itu malah biasa saja.
“Kau tak merindukan Ezra?” tanya William yang duduk di ujung meja makan bersama buku-bukunya. Di ujung yang lain Widi tengah melipat pangsit untuk persediaan makanan.
“Tidak,” jawab Widi.
“Tidak sama sekali?”
“Ada sedikit rindu. Tapi bukan yang membuatku sangat ingin tahu dia ada di mana.”
“Ayah, aku memberinya izin untuk mendekatimu lagi,” kata William. Widi langsung menatapnya keheranan. “Aku serius.”
“Entahlah, Will. Apa bedanya diizinkan atau tidak, jika Ezra tak mau mendekatiku lagi?” Widi memasukkan sejumlah pangsit ke dalam plastik.
“Dia masih mencintaimu, Ayah. Aku merasa bersalah karena selama ini telah mengganggu hubungan kalian.”
“Bukan salahmu. Kalau aku jadi kamu, aku juga pasti akan begitu.” Widi tersenyum pada anaknya. Ia melanjutkan pekerjaan untuk menyedot udara dari dalam plastik lalu menyegelnya menggunakan alat vacuum sealer. “Kau hanya ingin yang terbaik bagiku.”
“Apa kau masih sering teringat Papa?”
Pertanyaan William membuat Widi teringat sosok Jon. Matanya menatap ke sisi kanan sang putra. Ia seolah melihat Jon berdiri di sana. “Kadang-kadang. Sudah lama juga aku tak memimpikan Jon. Katanya, saat kita berhenti memimpikan orang yang sudah meninggal, itu artinya dia sudah tenang di sana. Jika itu benar, aku tak perlu khawatir lagi padanya, kan?”
William mengangguk pelan. Keduanya kembali tenggelam dalam kesibukan masing-masing. William dengan tugas sekolah, Widi dengan berbagai masakan. Hening menyelimuti mereka. Tiba-tiba William menutup buku. Ia merapikan semua barang di atas meja makan dan membawa dalam pelukannya.
“Aku tidur duluan, Ayah,” pamit William sambil berdiri.
“Ya. Selamat tidur, Nak,” sahut Widi.
*
Ronan memasang kacamata di wajahnya, kemudian membaca daftar belanja yang ada dipegang. Dia menggumam dalam bahasa Spanyol. Widi memerhatikan dengan saksama sambil mendorong troli belanja. Tiba-tiba saja Ronan berjalan cepat menuju lemari pendingin berisi susu dalam kemasan galon. Ia mengambil dua galon susu dan meletakkan ke dalam troli.
Hari ini Ronan mengajak Widi berbelanja di supermarket. Widi yang sedang tidak punya kegiatan akhirnya mengiyakan ajakan sahabatnya.
“Carne?” gumam Ronan. Ia berjalan masuk ke sektor daging. Lalu memilih beberapa daging yang sudah dikemas. Kemudian ia melihat daging ayam bagian paha. “Ah! Pollo!”
Dia kenapa, sih? – Widi
Widi terus mengikuti Ronan yang berjalan sambil membaca daftar belanja. Ia menepi ke dekat rak pajang berisi sereal. Widi juga ikut menepi. Di sanalah Widi sadar kalau Ronan sedang bingung.
“Ada apa?” tanya Widi. Ronan memberikan daftar belanja padanya. Dahi Widi berkerut saat membaca isi daftar belanja yang ditulis dalam bahasa Spanyol lengkap dengan kuantitasnya. “Apa ini?”
“Aku sedang belajar bahasa Spanyol. Lalu Nando menuliskan daftar belanja dalam bahasa Spanyol untuk mengujiku. Aku janji tidak memakai aplikasi penerjemah. Tapi ternyata sulit, ya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
His Love 3 🌈
Storie d'amoreApakah kau akan terus mencintai seseorang yang punya masa lalu sangat buruk?