1. Another, beginning

11.8K 476 264
                                    

Liam menggenggam tangan babanya begitu keduanya keluar dari sebuah restoran setelah memiliki kencan berdua, meninggalkan Hami dan Jeno di rumah.

"Papa." Renjun menunjukkan ponselnya pada Liam, yang memperlihatkan bahwa Jeno menelpon mereka.

Melihat itu Liam tertawa. "Hami pasti sedang cemberut."

Renjun mengangguk dan tersenyum geli, sebelum mengangkat panggilan dari Jeno. Liam ganti memeluk pinggang babanya, menuntunnya menuju mobil.

Dan begitu keduanya memasuki mobil bertepatan dengan Jeno yang mengatakan bahwa Hami terbangun, dan menanyakan Liam juga Renjun. Keduanya langsung saling tatap dan tersenyum geli. Semua orang rumah tadi sudah menebak reaksi Hami jika terbangun dan mendapati kakak dan babanya tak ada pasti akan cemburu.

Sebenarnya Renjun dan Liam sempat ingin membatalkan kepergian keduanya, sementara di rumah Hami tengah sakit. Tapi Jeno meyakinkan untuk pergi meninggalkan Hami dengannya, karena Liam hanya memiliki satu hari lagi di rumah sebelum besok akan kembali berangkat ke Paris.

Dan semua tebakan mereka benar, ketiganya tertawa pelan.

"Maaf, lenganmu pasti pegal." Renjun ingat tadi saat ia dan Liam pergi Hami tengah tidur di atas lengan Jeno.

📞 "Hami mengatakan hal yang sama saat bangun." Jeno ikut terkekeh, mendapati persamaan putrinya dengan Renjun.

"Pa, aku baru saja menebak kalau Hami cemberut mengetahui ia ditinggal." Liam berbicara.

📞 "Tepat sekali, ia mungkin sekarang tengah mencoba menghubungi kalian." Kekeh Jeno yang tengah turun untuk membawa minum Hami.

Liam pun segera melajukan mobilnya, untuk pulang. Sebelum Hami semakin sedih karena ditinggal pergi.

Memasuki rumah, Liam melihat papanya baru turun. "Hami baru saja selesai meminum obatnya."

Renjun mengangguk, lalu segera menarik Jeno menuju area dapur. "Kau harus meminum vitamin sebelum tertular."

Sementara Liam menuju kamar Hami. Tangannya membuka pintu kamar sang adik—setelah beranjak remaja ia dan Hami telah mendapat kamar terpisah. Jadi sekarang ia tengah memasuki kamar bernuansa baby blue milik sang adik berbeda dengan kamarnya yang didominasi warna putih dan coklat.

Di kamar Liam ada sebuah kemari putih yang beberapa mainannya semasa kecil yang maeih ingin ia simpan, sementara kamar Hami masih berjajar boneka miliknya. Dan ada juga lego flower yang dulu mereka rakit bersama, Hami menyimpannya seperti karangan bunga nyata di kamarnya.

"Kakak Liam." Suara serak Hami menyambutnya, ia meringis membayangkan sakitnya tenggorokan sang adik.

Liam duduk di sisi ranjang Hami, saat merasakan angin yang berhembus kencang Liam pun melirik jendela kamar Hami yang terbuka lebar. "Papa tak mungkin melakukannya, Hami."

Hami merengut, itu memang ulahnya. Karena merasa sesak dengan udara kamarnya, padahal karena dirinya yang tengah flu.

"Kalau seperti ini bukannya sembuh, kau hanya akan bertambah sakit Hami." Liam bangun berdiri lalu menutup lagi jendela.

"Kak, tadi pergi dengan baba?" Ada kecemburuan dari nada bertanyanya.

Liam terkekeh. "Kau takut baba terlalu banyak bersamaku, Hami?" Si sulung berbaring di sisi tubuh sang adik tanpa ikut masuk dalam selimut, namun tetap memeluk tubuh sang adik.

Hami tersenyum mendapat pelukan itu, tadinya ia ragu untuk menawar ingin memeluk sang kakak atau meminta pelukan karena tau dirinya tengah sakit dan tak mau membuat kakaknya tertular. Tapi sekarang Liam lebih dulu memeluknya, membuatnya tersenyum. Dirinya menyamankan diri dalam pelukan sang kakak.

A Thousand Winds ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang