"Kau tidak terserang flu, kan?"
Niall nyaris mengerang mendengar perhatian lembut Liam padanya, karena itu membuat ia semakin berat dengan keadaan hubungan mereka yang seperti ini.
Liam yang melihat wajah Niall tenggelam sebagian oleh scarfnya, berpikir Niall tengah menyembunyikan hidungnya yang memerah karena flu. Namun saat melihat sosok itu menggeleng, scarfnya sedikit turun membuat ia tau bahwa Niall baik-baik saja.
Sebenarnya Niall mengenakan scraf karena papinya tadi langsung melilitkan itu di lehernya, papinya khawatir setelah mendengar beberapa hari ini Niall mengeluh tenggorokannya mulai tak nyaman. Papi begitu menjaga agar Niall tak benar-benar terserang flu setelah tau beberapa gejala itu.
"Tiga hari lagi aku akan kembali ke paris." Ujar Liam setelah beberapa saat.
Keduanya berada di rumah Niall, Liam mengunjungi Niall karena rindu melihat sosok itu. Juga ia memang berniat mengatakan kepergiannya itu secara langsung, karena Niall pun semakin sulit ia hubungi.
"Iya." Jawaban Niall hanya satu kata pendek itu.
Liam menghela napasnya, ia padahal sudah mengatakan maksudnya mengatakan itu juga adalah mengajak Niall kembali kesana lebih awal. "Niall.."
"Aku masih ingin dengan papi." Niall melirik Liam sekilas, sebelum kembali menatap asap dari coklat panas yang ia buatkan untuk Liam.
Dan Liam terdiam, tak bisa memaksa Niall jika seperti itu alasannya. Berbeda dengan Liam yang merasa memang ia perlu segera pergi karena ia tak bisa tinggal di rumah dengan Hami yang tak ada disana dan ia merasa bersalah atas itu. Sementara jika Hami ada pun Liam belum bisa bersikap biasa lagi, ia masih memiliki rasa kesal yang tertinggal untuk adiknya itu. Jadi satu-satunya yang Liam pikirkan adalah untuk kembali ke paris, membiarkan Hami kembali ke rumah agar tak berjauhan dengan baba dan papa.
"Niall, Hami sudah meminta maaf padamu?" Liam pernah mendengar Hami mengatakan bahwa ia telah meminta maaf, dan sekarang ia bertanya memastikan.
Tak langsung ada jawaban, Niall diam beberapa saat. "Sudah." Jawabnya tanpa menatap Liam.
"Aku tak sedang memaksamu memaafkannya, karena akupun bahkan belum ingin berbicara dengannya." Ungkap Liam.
"Hami juga pergi dari rumah, dan tinggal dengan kakek karena ia tau aku masih menghindari bertatapan dengannya." Lanjutnya.
Hal itu membuat Niall mendongak, menatap Liam. Ia tau Liam merasa kesal juga pada Hami, tapi ia tak tau jika Liam bisa semarah itu pada adiknya. Yang mana Niall ketahui dengan jelas bagaimana Liam begitu menyayangi Hami, tapi sekarang Liam sampai enggan untuk sekedar menatapnya? Ini agak mengejutkan untuk Niall.
Karena tadinya ia pikir bahwa Liam memang akan marah pada Hami, tapi tak seperti ini dan selama ini. Kejadian itu sudah terlewat satu minggu, dan Liam masih dengan amarah yang sama? Niall sendiri bahkan merasa tak serisih itu lagi setiap mengetahui Hami yang sesekali menemui papi kemari, juga menanyakan dirinya. Dan tak jarang Niall menjawab seperlunya semua pertanyaan dan sapaan anak itu.
"Ia perlu teguran itu." Liam tau Niall mungkin tak percaya akan sikapnya, tapi Liam tak merasa sepenuhnya salah atas sikapnya. Itu teguran atas kesalahan yang telah Hami perbuat.
"Ia juga sudah meminta maaf pada papi." Ujar Niall.
Dan Liam mengangguk mendengarnya, ia telah mengetahui itu dari papi sendiri tempo hari saat ia menanyakan keadaan Niall.
"Papi tak merasa kalau Hami memiliki salah, justru papi yang merasa bersalah karena— " Niall melipat bibirnya sebelum melanjutkan dengan suara pelannya. "..kita jadi seperti ini."