"Papi, nanti malam aku tidur lagi denganmu ya?" Niall berlari menghampiri papinya yang turun dengan tangan yang menyampirkan selimut rajut milik Niall pada bahunya.
"Niall cuaca semakin dingin, kau tak bisa terus memakai baju setipis itu meski di rumah." Jika tidak diingatkan Niall akan terus memakai pakaian semaunya, bahkan terkadang sampai terkena flu.
Tak peduli atas peringatan papinya, Niall lebih fokus pada bagaimana papinya mau keluar kamar tanpa ia dan ayahnya bujuk. Ia senang dengan itu.
Dan papi sendiri berpikir, ia tak bisa terus berdiam diri di kamar dengan Liam yang tak pernah absen mengiriminya pesan permintaan maaf, juga menanyakan kabar Niall. Jika Liam yang hanya orang luar saja begitu ingin tau kabar Niall, ia yang orangtuanya juga harus tau keadaan anaknya.
Karena beberapa hari ini ia terbilang tak memperhatikannya. Ia terlalu banyak mengikuti kesedihannya, tanpa mau memikirkan bagaimana keluarganya kehilangan sosoknya yang jarang berinteraksi dengan mereka. Maka ia memutuskan turun dan memastikan sendiri kondisi Niall baik-baik saja.
"Ayah juga keluar hanya dengan sweater tanpa mantel, papi." Niall mengadukan ayahnya yang tadi mengatakan akan ke rumah sakit.
Papi tersenyum geli, karena tau Niall hanya mencari hal lain untuk papinya komentari selain dirinya yang sering lupa dengan baju hangatnya. Melihat senyum papi, Niall ikut tersenyum.
"Untuk makan malam besok kita siapkan sama-sama ya papi? Selesai makan malam kita menonton dulu dengan ayah, sebelum tidur kita buka kado sama-sama." Sejak tadi ia sudah banyak memikirkan tentang papinya yang cukup pendiam, Niall takut malam natal yang biasa diisi dengan hangatnya interaksi mereka bertiga tiba-tiba hanya dinikmati berdua dengan ayahnya. Mengingat akhir-akhir ini papinya selalu langsung menuju kamar selesai mereka makan malam.
Niall takut ia kehilangan lagi kehangatan utuh dari keluarganya itu, jadi saat melihat papinya mau keluar ia lega. Dan ia luar biasa senang begitu melihat anggukan ringan dari papi.
"Aku sudah menyiapkan kado untuk papi." Niall tak bisa menahan pekikan senangnya.
Tangan papi mengusap pipi anaknya. "Padahal papi belum menyiapkan kado untuk Niall."
"Tidak apa, yang penting papi." Niall memeluk papinya erat, berharap senyum papinya benar menandakan bahwa lukanya telah membaik.
Kemudian terdengar suara bel rumahnya berbunyi, Niall melepas pelukan itu untuk melihat siapa yang mendatangi rumahnya. Niall hanya langsung membuka pintunya tanpa menengoknya lebih dulu lewat jendela, dan saat dibuka ia menemukan Rui disana dengan semua raut bersalah yang selalu ia tampilkan sejak kejadian malam itu.
"Rui, aku sudah mengatakannya padamu, kau tak perlu kemari lagi." Niall tak bisa semudah itu memaafkan hal yang Rui lakukan padanya, jadi meski nada bicaranya tak terlihat marah ia tetap menaruh risih atas kedatangan mantan kekasihnya itu.
Memang sejak kejadian malam itu Rui selalu menyempatkan diri mendatangi rumahnya, ia bahkan pernah ikut sarapan juga dengan ayah dan papinya. Rui bersikap seperti bagimana mereka saat masih sepasang kekasih dulu.
Niall tak ingin berbicara terlalu banyak lagi dengan Rui, karena terakhir kali ia meladeni Rui berbicara berakhir ia yang kembali diingatkan bahwa ia tak pernah mendapat tempat di hati Rui. Semuanya telah terisi oleh Hami.
"Aku minta maaf Niall." Rui merasakan penyesalan, atas sikapnya pada Niall di malam itu, atas ucapan-ucapannya, dan atas perginya Niall dari sampingnya.
Sekarang Rui iri, luar biasa iri melihat bagaimana Liam yang kini memiliki Niall. Karena beberapa kali ia mencoba mengajak lagi Niall berbicara, dan memikirkan untuk kembali padanya yang Rui dapat justru penegasan dari Niall bahwa ia telah memiliki Liam yang ia cintai. Niall juga tak segan mengatakan ia tak akan meninggalkan Liam atas alasan apapun itu, dari ucapan itu saja Rui merasakan kecintaan Niall pada Liam sebesar itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/353335148-288-k146532.jpg)