Semua kejadiaannya sudah lama berlalu, bertahun-tahun ia hidup dengan kebahagiaan keluarga kecilnya. Tapi ternyata itu tak menutup semua luka yang sempat Renjun miliki, disaat jelas ada sosok yang menjadi gambaran apa yang pernah ia terima. Sebuah penolakan.
Jeno selalu berusaha membuatnya hidup dengan senyum, Jeno selalu berusaha menebus dosa-dosanya. Renjun pikir lukanya itu turut sembuh dengan berjalannya waktu, nyatanya itu tetap meninggalkan bekas pada ingatannya.
Bukan berarti sekarang Renjun kembali membenci Jeno sebagaimana dulu, justru sekarang Renjun merasa mengerti akan apa yang Jeno khawatirkan dulu setelah melihat bagaimana Hami memandang sosok Niall.
Renjun sadar bahwa ketakutan yang Jeno miliki dulu terhadap keluarganya memanglah akan terjadi, bisa saja jika dulu Jeno nekat mengenalkannya pada keluarga Jeno dengan semua asal usulnya yang tak jelas sudah bisa dipastikan respon mereka tak akan berbeda jauh dengan Hami saat ini.
Ditambah jika mereka tau keberadaan makhluk kecil dalam perutnya saat itu, sudah bisa dibayangkan kalimat yang keluarga Jeno lontarkan tak akan jauh berbeda dengan ucapan Hami tadi.
"Jeno, kau bisa mendapat yang lebih baik, mama tak ingin kau dengan orang dengan asal usul tak jelas."
Muncul suara yang berasal dari khayalan Renjun sendiri tentang penolakan mama Jeno. Jika saat itu mereka bertemu lebih cepat.
"Kau memang senakal itu, Jeno. Tapi papa masih tak menyangka kau begitu kukuh ingin bersamanya? Dan ia tengah hamil? Benar-benar murahan, seperti pelacur."
Suara khayalan papa Jeno pun mengisi telinga Renjun.
Ucapan Hami tentang papi Niall yang menurutnya pernah menjadi pelacur Eric membuat Renjun semakin memiliki gambaran bagaimana respon orangtua Jeno jika mereka menghadap keluarga Lee dulu.
"Aku mengenalkanmu pada kakakku bukan untuk membiarkanmu menjalin hubungan dengannya. Dan kau dengan lancangnya mencintai kakakku? Kau pikir kau siapa Renjun?!"
Kalimat Jaehee dulu berputar dalam kepalanya, bersahutan dengan suara Hami tadi.
"Aku tak suka kak Niall. Aku tak suka kakak berakhir dengan anak dari orang yang seperti itu."
Renjun mengerti maksud kalimat Hami itu, anak itu menganggap Niall begitu lancang mencintai Liam padahal Niall dari keluarga yang menurutnya seperti itu.
Berkat Hami, Renjun benar mendapat gambaran semua penolakan itu. Sangat mungkin keluarga Jeno mempertanyakan bayi yang Renjun miliki saat itu, dengan semua ketidak jelasan asal usul yang dimilikinya. Dirinya benar bisa dianggap pembohong, atau sengaja memanfaatkan keluarga Lee.
Sekarang Renjun benar sadar akan hal ini. Tak ada yang salah dari ketakutan Jeno saat itu. Hanya saja, dulu Jeno salah memilih jawaban dari ketakutannya. Dominan itu berpikir bahwa jalan keluarnya adalah dengan memintanya melenyapkan Liam. Dan langkah itu justru dibenci Renjun.
Sejak semua ingatan buruknya kembali bermunculan, yang ada dipikiran Renjun hanya satu orang. Liam. Apalagi begitu memori buruk itu kembali keluar, Renjun merasakan dadanya kembali sakit. Potongan kejadian dalam hidupnya selama ia hanya memiliki Liam membuat hatinya kembali perih.
Ia sekarang ingin segera memeluk putranya, ingin mendapat lagi penenang dari semua resah dan takutnya. Karena sejak dulu Liam tetap jadi obatnya.
Tapi sekarang ia tak mungkin melepas pelukannya dari Hami begitu saja, putrinya baru saja menangis tak mungkin ia meninggalkannya. Dan yang lebih membuatnya ragu melepas pelukan Hami, ia bingung cara menghindari tatapan putrinya.
"Baba..." Hami melirih, ia tak mendengar respon apapun dari babanya setelah semua ceritanya.
"Hami, sekarang tidur ya?" Renjun terkejut dengan suaranya yang sedikit bergetar.
Gadis itu pun mengerutkan dahinya. "Baba?" Ia berusaha melepas pelukannya, ingin melihat bagaimana babanya itu.
"Baba, ada apa?" Hami bertanya panik begitu melihat mata Renjun berkaca-kaca.
Renjun meremas sisi baju Hami pelan, berusaha tak memalingkan wajahnya dari putrinya sendiri. "Tidak ada, kau tidurlah. Baba juga akan pergi tidur."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Renjun jelas tak bisa tidur semudah itu, Jeno yang baru datang pun mengerutkan dahinya melihat Renjun yang masih membuka mata.
"Ini sudah begitu larut." Jeno mengusap lengannya lembut. "Kau ingin teh hangat?" Ia menawarkannya dengan perhatian.
"Liam." Renjun justru mengucapkan nama putranya.
Sejak tadi ia benar ingin menemui Liam, tapi berpikir putranya telah tidur. Membuatnya masih diliputi resah.
Jeno menaikan halisnya. "Ada apa dengan Liam?"
"Aku ingin memeluknya." Dari jawaban Renjun ini, Jeno baru menyadari tatapannya yang tak fokus padanya. Ada yang mengganggu submisifnya itu.
"Ia sudah tidur?" Jeno bertanya.
Renjun menggelengkan kepalanya tak tau, sampai akhirnya ia pada keputusan untuk mendatangi kamar Liam. Entah putranya sudah tidur atau belum, Renjun ingin menemuinya dan mendapat pelukannya. "Aku akan menemuinya."
Kaki Renjun berjalan cepat menuju kamar sulungnya, tangannya membuka pintu kamar dengan hati-hati dan melihat Liam telah terlelap. Bahu Renjun melemas seketika, matanya memanas dengan denyutan sakit pada dadanya.
Liam yang juga kesulitan tidur langsung membuka matanya saat mendengar babanya memanggil. "Baba."
Dan Liam mengerutkan dahinya tak suka saat menemukan adanya air mata yang turun dari mata indah Renjun, kamarnya memang masih ia biarkan dengan pencahayaan meski tak begitu terang tapi cukup membuatnya bisa melihat basahnya pipi Renjun.
Kakinya turun dari ranjang, berjalan cepat menghampiri Renjun yang merasakan tubuhnya semakin lemas. Bertemu Liam membuat tubuhnya menunjukkan kejujuran dari apa yang ia rasakan sejak tadi.
Tangan Liam menghapus lelehan air mata Renjun, tapi itu justru kembali menetes. "Papa belum pulang?" Tanyanya.
Renjun menggelengkan kepalanya, kemudian meraih tubuh Liam dalam pelukannya. Ia memeluk Liam erat, menyampaikan ketakutan akan kejadian yang telah lama berlalu.
Pelukan Liam yang ia butuhkan sekarang, pelukan Liam selalu jadi penenangnya disaat ia tertekan. Bahkan disaat dulu itu hanya pelukan dari tangan mungil Liamnya yang lucu, tapi itu selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik.
Sosok yang menemaninya selama ia kesulitan hanya Liam, putranya yang tau seluruh lukanya disaat ada beberapa yang ia sembunyikan dari Guanlin juga Ningning.
"Ada. Baba hanya ingin peluk Liam." Jawab Renjun dengan air mata yang tak lagi turun, tapi ia masih merasakan sesak di dadanya
Liam pun mengangguk, meski dengan kekhawatiran yang dimilikinya. Ia pun mengusap punggung babanya lembut.