Liam menatap hiasan dinding pemberian Hami yang telah ia pasang, pagi tadi ia mendengar kakeknya memberitau baba kalau Hami mengalami demam tinggi dan dibawa ke rumah sakit. Kedua orangtuanya langsung bergegas pergi sementara Liam merasa agak berat untuk pergi meski kekhawatiran itu jelas ia rasakan.
Karena ia takut jika dengan melihat kondisi adiknya, ia justru akan luluh dan memutuskan untuk memaafkannya. Sementara Liam tak dalam keinginan untuk memaafkan adiknya dalam waktu dekat, Liam ingin Hami tau bahwa ia bisa marah padanya hingga sejauh ini. Dan ingin Hami benar seperti tebakannya— tak akan mengulangi melakukan kecerobohan dan kesalahan yang lebih dari ini.
Yang Liam pikirkan bukan hanya tentang kemarahannya, dan sakit hatinya papi juga Niall. Liam juga memikirkan jika sebenarnya yang Hami hadapi bukanlah orang-orang seperti Niall dan papi.
Bagaimana jika Hami melakukan kesalahan pada orang yang marahnya bisa lebih dari Niall dan papi, yang bisa membuat Hami jauh lebih tersiksa atas balasan dari perbuatannya sendiri. Dan memberi teguran dari sekarang pada Hami akan membuat adiknya itu takut untuk melakukan hal gegabah lagi, agar ia tak lagi mempercayai suatu hal begitu mudah, agar anak itu tak lagi menilai orang lain hanya dari cerita masa lalunya.
📞 "Liam, baba sendirian. Papa barusan keluar untuk membeli makan. Tadi sempat ada Niall temani baba, tapi sekarang sudah pulang." Suara babanya membuat Liam segera meraih mantelnya dan tanpa pikir panjang lagi bergegas untuk menemani babanya.
"Aku akan kesana." Ujar Liam.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Liam melihat papanya. Ia pun memutuskan menghentikan mobilnya, hendak menawar menu makan malam karena memang papanya terlihat di depan sebuah restoran. Tapi kemudian saat Liam hendak keluar dari mobil, ia melihat wajah yang tak asing dalam ingatannya.
Sosok itu terlihat berbincang dengan papanya yang terlihat serius, sementara Liam mengerutkan dahinya mencoba mengingat siapa itu. Dan begitu mengingatnya, Liam tersenyum. Ia mendengus geli kemudian memutuskan melanjutkan perjalanannya.
Sampai di rumah sakit, dan di ruangan Hami. Liam lansung melihat Hami dengan hela napasnya yang keluar begitu saja. Alasannya, ia khawatir pada sang adik, tapi karena kesalahan yang telah diperbuatnya membuat sebagian dari diri Liam merasa tak seharusnya ia khawatir.
Tapi ia tetap berjalan untuk melihat adiknya dari dekat, tangannya mengusap kepala Hami dengan hati-hati sebelum kembali menarik tangannya dan menghampiri babanya.
"Hami akan lama, baba?" Tanya Liam.
"Tidak, setelah napsu makan Hami kembali ia bisa pulang." Jawab Renjun, ia kemudian teringat suatu hal. "Liam, baba tadi minta papa tambah makan malamnya untuk Liam, tapi papa bilang Liam sudah lebih dulu pesan sendiri pada papa."
Liam tersenyum tiba-tiba saat ucapan babanya mengingatkannya pada apa yang ia lihat tadi, pada apa yang ia ketahui beberapa tahun ini.
"Iya, tadi aku melihat papa saat akan kemari jadi sekalian minta papa ambil menu yang aku mau." Suasana hatinya begitu baik, mungkin jika ia masih anak-anak ia bisa memekik senang atas apa yang ia membuatnya bahagia itu.
"Liam turun dulu temui papa?" Tanya Renjun kemudian.
"Tidak, aku memberitau papa lewat pesan." Setelah mengatakan itu, Liam menatap babanya lekat. Renjun yang bingung mengerutkan dahinya.
"Baba." Panggil Liam masih dengan senyumnya.
Renjun pun masih dengan kerutan pada dahinya. "Iya?"
"Kau begitu dicintai papa." Ujarnya, Liam benar sebahagia itu mengetahui papanya luar biasa dalam mencintai baba.
