"Niall, saat nanti kau kembali ke paris beritau aku. Aku akan menjemputmu di bandara."
Liam menatap pesan yang ia kirim pada Niall beberapa hari yang lalu, tapi belum juga dijawab oleh Niall. Hal itu semakin membuat Liam banyak menghela napasnya, rasanya ia menjalani harinya dengan perasaan tak karuan.
"Niall belum kemari?" Damien seolah bisa membaca pikiran Liam.
"Ia masih ingin bersama papinya." Jawab Liam dengan malas, tubuhnya ia sandarkan pada sofa di apartemen milik Damien itu.
Mengenai kembalinya Liam ke paris, ia kemari tanpa mengucapkan selamat tinggal pada adiknya. Liam benar-benar masih ingin meninggalkan rasa bersalah pada Hami, maka saat ia akan berangkat pun ia hanya meminta babanya turun dari ruang inap Hami untuk menemuinya.
Sesampainya di paris saat itu, Liam mendapat pesan dari sang adik.
"Kakak, aku tidak sempat meminta maaf lagi padamu sebelum pergi. Aku akan mengatakannya disini saja.
Kakak Liam, maaf karena kesalahan yang aku perbuat kau jadi sedih. Maaf karena kesalahanku hubunganmu dan kak Niall jadi serunyam itu.
Kak Niall bilang sudah memaafkanku, aku juga sudah mengatakan padanya agar kembali bersama kakak karena aku tak akan mengusik hubungan kalian lagi. Tapi kak Niall tak menjawab apapun.
Kakak, baba bilang ada kado natal dari kakak di kamarku. Terimakasih, nanti aku buka setelah sembuh."
Dan hari-harinya disini masih pun diisi beberapa pesan singkat dari adiknya, seperti biasanya. Hanya saja jika dulu Liam selalu meladeninya tanpa keberatan, tapi kali ini Liam bahkan belum pernah membalas satu pun pesan sang adik.
Selain memang Liam belum bisa sepenuhnya menghilangkan kekesalannya pada sang adik, Liam juga jadi merasa kehidupannya di paris terasa berjalan dengan tak jelas. Liam rasanya jadi kesulitan menemukan kesukaannya lagi di paris, ini seperti Liam dipaksa kemari tanpa ada minat dalam dirinya. Padahal Liam kemari atas kemauannya, tapi suasana hatinya benar seburuk itu, seolah ia dipaksa kemari oleh orang lain. Tak jarang ia menanggapi oranglain dengan dengusan tak suka atau tatap tajam miliknya.
Liam merasa kurang, karena kembali ke paris dengan tanpa adanya Niall di sampingnya. Paris tanpa Niiall terasa salah bagi Liam. Karena sejak awal pun paris jadi titik pertemuan mereka, disini kisahnya dan Niall dimulai. Liam merasa sebanyak ia mengenal paris, ia juga mengenal Niall di dalamnya. Jadi sekarang dengan ia berada di negara itu tanpa adanya Niall, Liam merasa bukan seperti ini rasanya di paris. Ini seperti bukan tempat yang dulu Liam datangi, karena terasa begitu aneh. Paris selalu lebih menyenangkan karena ada Niall, tanpa sosok itu Liam merasa asing lagi dengan tempat ini.
"Ah iya Liam, aku sempat bertemu Mara sebelum natal. Kami pergi minum bersama, dan disana kami sempat melihat bagaimana pertengkaran sepasang kekasih? Yang satu menangis sementara yang satu mencoba meraihnya, itu seperti potongan film menurut Mara."
"Tapi bukan itu fokus pembicaraan kami, Mara melihat bahwa lelaki itu mencium kekasihnya? dengan paksa untuk membuatnya berhenti menangis. Dan Mara meringis melihatnya."
"Ia bilang kalau Niall melihatnya pasti akan menangis." Damien menatap Liam yang tak terlihat terkejut mendengar ceritanya barusan. "Liam, Niall memiliki sebuah ketakutan?"
Liam mengangguk mengiyakan. "Iya, Niall tak suka dengan dunia yang kalian sukai." Rasanya sekarang Liam jadi memiliki bayangan tentang alasan Niall benci tempat seperti itu. Semua itu mungkin ada hubungannya dengan papinya.
"Tapi ia berteman dengan Mara yang begitu menyukai pesta." Damien tau bagaimana Mara.
"Mara kenal bagaimana Niall, ia tak pernah memaksa Niall ikut pestanya. Mara juga selalu memastikan tak akan ada yang berusaha menggapai Niall, dan menyentuhnya." Saat mengatakan itu Liam jadi teringat Rui yang melakukan kebalikan dari semuanya.