5 9 || Hasil Rapat

116 15 4
                                    

SELAMAT MEMBACA🌻

🕊️🕊️🕊️

Zelyn menyilangkan kedua tangannya di depan dada diiringi jemarinya yang mengetuk-ngetuk. Seolah menunggu hitungan sampai Reiga tiba. Sejak tadi ia tak bisa berdiri tenang di depan ruang rapat, cemas menanti Reiga. Tidak mungkin ia akan masuk seorang diri sebagai perwakilan siswa menghadap para petinggi sekolah.

Ya, tepat hari ini rapat besar itu akan dilaksanakan. Dan di sinilah Zelyn berdiri dengan senyum merekah melepas raut khawatirnya. Dagunya mendongak berhadapan dengan sosok lelaki  berseragam rapi tersebut, tidak seperti biasanya. Baguslah Reiga cukup tahu tempat.

"Akhirnya," gumamnya lega

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Akhirnya," gumamnya lega. Namun hatinya masih tidak tenang. Sebab ia masih belum yakin akan berdiri di kubu mana. Mengingat perkataan Sananta beberapa hari lalu masih menghantui pikirannya.


"Kalau begitu lo protes agar biaya sewa kantin lebih ramah dikantong. Bukan tetap mempertahankan kantin belakang!"

"Lo protes aturan sekolah? Sekolah memperbolehkan mereka merokok meski di kantin belakang aja udah keluar dari aturan."

Zelyn menggeleng keras, mencoba menepis jauh-jauh suara Sananta yang kembali terdengar. Meninggalkan Reiga berjuang sendirian bukan hal yang ingin ia lakukan.

Reiga menjentikkan jarinya, "hey! Ayo masuk!"

"Iya, lo duluan."

Tubuh Zelyn sedikit menyingkir untuk memberi ruang Reiga. Setelah pintu itu terbuka, perlahan langkah Zelyn mengikuti dari belakang. Dengan keberanian yang ia punya kepalanya begitu tegak dengan tatapan mata tegas. Netranya mengamati begitu banyak kursi yang terisi dengan orang-orang berpakaian jaz atau blazer formal.

Zelyn menarik napas perlahan, pertama kalinya ia harus berhadapan dengan para petinggi sekolah. Tepat saat ia diperselisihkan duduk, kursinya berhadapan dengan Sananta yang sama berseragam rapi. Sebisa mungkin Zelyn menutupi rasa kebingungan atau keterkejutan nya.

Bagaimana pun, ia tahu Sananta berbeda pendapat dengannya.

"Zelyn," lirih Reiga memanggil. "Lo nggak perlu satu suara sama gue. Lo bisa--"

"Jangan berisik!"

Zelyn memotong ucapan Reiga tanpa menoleh sedikit pun. Tetapi di bawah meja tangannya meraih telapak tangan besar itu. Dengan hangat ia menggenggam nya sembari ibu jarinya mengelus lembut. Berharap itu bisa cukup membantu.

N I S C A L ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang