part 16

952 67 9
                                    

"Tante Sarah cantik banget." Leta berseru lagi sambil memandangi penampilan Sarah dari atas hingga bawah. Tangannya anak itu ulurkan untuk memegang dress yang dikenakan Sarah.

"Baju Tante bagus. Leta mau juga." Lihat bukan. Ternyata bukan hanya laki-laki dewasa saja yang bisa tertarik dengan penampilan Sarah, nyatanya anak kecil seperti Leta juga bisa menunjukkan ketertarikannya pada Sarah.

"Iya, bagus." Hanya tanggapan seperti itulah yang bisa diberikan oleh Sarah. Suasana yang tidak berubah membuat Sarah menjadi kikuk.

Selain Leta tidak ada yang memulai percakapan lagi diantara lainnya. Irham dan Randi, keduanya menatap ke arah Sarah.

Sarah yang ditatap seperti itu menjadi tidak nyaman. Seharusnya sebagai perantara, dia harus saling mengenalkan Irham dan Randi. Tapi sepertinya itu bukanlah ide yang bagus.

Sarah seperti sedang terjepit saat ini. Bodoh sekali memang. Sarah berusaha untuk tidak menatap ke arah dua laki-laki di depannya. Dia hanya memfokuskan perhatiannya pada Leta yang tidak lelah untuk terus mengoceh.

"Papa aku mau beli baju kayak Tante Sarah. Papa beliin ya?" Ucap Leta.

"Iya nanti beli."

"Tapi aku mau belinya ditemenin Tante Sarah." Sarah terperengah mendengarnya.

"Tante mau kan?" Aduh lagi-lagi Sarah berada di kondisi yang tidak mengenakkan untuk dirinya.

Jika menolak, maka kasihan pada Leta anak itu pastinya akan merasa sedih. Sedangkan jika di-iyakan, Sarah tidak sanggup. Lebih tepatnya tidak sanggup jika berada di dekat Randi lama-lama. Apalagi setelah melalui keadaan seperti ini.

Pasti rasa canggung akan kental sekali di antara mereka.

"Ehmmm." Irham berdeham karena sedari tadi merasa terabaikan.

Semua yang ada di satu meja dengan mereka, langsung mengalihkan perhatian pada Irham. Jujur, Irham tidak suka dengan keadaan yang terjadi saat ini.

Makan malam romantis di antara dirinya dan juga Sarah harus buyar karena kehadiran bocil dan Papa nya ini. Irham kesal sebenarnya, saat Sarah mengiyakan permintaan mereka untuk bergabung. Irham merasa sia-sia malam ini.

Handphone Irham bergetar, tanda ada panggilan masuk.

"Aku ke toilet." Irham pamit pada Sarah. Lalu laki-laki itu berdiri dan melangkahkan kakinya menjauh.

"Pacar kamu?" Randi bertanya setelah sosok Irham tidak lagi terlihat.

"Bu-bukan." Kenapa sih Sarah harus gagap seperti ini? Sudah komplit gak tuh, seperti sedang terciduk selingkuh beneran jadinya.

Ingin rasanya Sarah menghilang seketika dari tempat ini.

Randi hanya mengangguk-angguk sebagai respon. Lalu pandangannya dia alihkan pada Leta.

"Leta jadi mau ngajak Tante Sarah beli baju?" Diungkit lagi. Padahal Sarah tadi sudah bernafas lega karena berhasil menghindar dari pernyataan Leta.

Tapi sekarang malah diungkit lagi oleh Papanya bocil. Memang Papa dan anak sama-sama bahayanya untuk Sarah.

"Jadi dong. Tante Sarah mau kan?" Leta menatap Sarah dengan pancaran pengharapan yang tinggi.

Tidak tega rasanya Sarah jika harus membuat anak ini kecewa. Tidak ada jalan lain, akhirnya Sarah mengangguk saja.

"Yeyyy. Kita belinya besok aja ya Pa." Kenapa harus buru-buru sih dek? Setidaknya kasihlah waktu pada Sarah untuk mempersiapkan mentalnya lebih dulu.

"Tanya Tante Sarah kapan bisanya." Randi melemparkan pertanyaan yang di layangkan padanya pada Sarah.

"Tante Sarah bisa kan besok?"

"Besok Tante harus kerja."

"Papa juga kerja, kita perginya malam aja."

Heran deh, umur berapa sih anak ini sebenernya? Masih kecil begini sudah pandai berkata-kata.

"Iya boleh." Tidak bisa ditutup-tutupi lagi raut bahagia di wajah Leta. Membuat Randi yang melihat itu merasa ikut bahagia juga.

Menjadi single parents untuk Leta bukalah hal yang sulit. Leta anak yang penurut dan mudah untuk diatur.

Jika ditinggal bekerja, maka Leta akan dititip pada neneknya. Dan Leta sama sekali tidak pernah mengeluh tentang hal itu.

Minusnya, adalah Randi harus rela melewatkan tumbuh kembang Leta saat masih bayi dulu. Dan saat melihat anaknya bahagia seperti sekarang ini, mana mungkin Randi tidak merasakannya juga.

Rasa ingin mendekati Sarah semakin bergejolak di hati Randi. Apalagi melihat anaknya yang terlihat nyaman dengan kehadiran Sarah.

Sementara di dalam sebuah toilet, Irham mengernyit saat melihat nama Divya yang tertera disana. Biasanya jarang sekali Divya menghubungi di jam-jam seperti ini.

Irham menekan tombol hijau lalu panggilan mereka pun terhubung.

"Halo."

"Iya, kenapa?"

Divya memanyunkan bibirnya mendengar pertanyaan Irham yang sangat to the point. Laki-laki ini memang tidak senang dengan basa-basi.

"Kangen." Divya berucap dengan suara manjanya.

"Kan kamu baru balik Surabaya. Masa udah kangen aja."

"Ya namanya juga kangen. Gimana dong? Kamu bisa ga sih nyusul kesini?"

Irham menghela nafas.

"Kan kamu tau aku sibuk."

"Weekend emangnya kamu sibuk juga?" Irham terdiam. Jika yang dimaksud sibuk bekerja, maka jawabannya tidak. Tapi Irham sibuk ingin pergi dengan Sarah.

"Ya." Jawaban singkat itu terlontar dari mulut Irham.

"Tadi kak Widya telepon aku, ngasih tau kalau kamu akhir-akhir ini lagi lenggang. Makanya aku minta kamu nyusul."

Irham kaget. Darimana kakak iparnya itu tau bahwa Irham sedang ada waktu lenggang.

"Satu hari aja masa gak bisa?"

"Gak bisa, Div."

"Gak bisa atau kamu gak mau?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Divya mampu membungkam Irham.

Benar memang Irham yang tidak mau. Tidak mau meluangkan waktunya barang sehari saja untuk Divya.

"Kamu sebenarnya sayang sama aku gak sih?" Terdengar dari nada bicaranya, Divya sudah mulai kesal dengan sifat Irham yang seperti ini.

Bukan pertama kalinya dia mendapat penolakan dari Irham. Tapi selama itu pula Divya selalu memaklumi pria itu.

Tapi untuk sekarang tidak. Divya tidak lagi percaya jika Irham mengatakan sibuk. Divya sudah memastikan lebih dulu dengan cara menelepon Mama Irham, dan ya jawaban yang diberikan sama dengan apa yang dikatakan Widya.

Irham tidak sesibuk itu hingga tidak bisa menyusulnya. Malah Mama Irham berkata, bahwa Irham setiap weekend tidak pernah pergi bekerja.

Divya merasa sangat bodoh saat mendengar itu. Maka sebagai pembuktian, hari ini dia akan memastikan sendiri.

"Ya, nanti weekend aku nyusul." Irham mengatakan dengan berat.

Dan Divya dapat mengetahui itu dari nada bicara Irham yang terdengar sangat terpaksa. Hati Divya berdenyut sakit.

Memang benar Irham akan menyusulnya, tapi itu bukan dikarenakan rasa rindu tapi sebuah tuntutan.

Kecewa yang Divya rasakan saat ini. Maka dari itu dia lebih memilih untuk mengakhiri panggilan tersebut.

Rasa sabarnya dalam menghadapi Irham selama ini rupanya tidak berbuah manis. Nyatanya Irham masih seperti menciptakan batasan diantara mereka.

Entah ada apa dengan laki-laki itu sebenarnya. Ingin menyerah pun Divya tidak bisa. Divya sudah terlanjur menaruh hati nya pada laki-laki itu.

Apa yang terbaik untuk mereka sebenarnya?

To be continued

Malam tahun baru kalian ngapain aja nih?

Back or GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang