Mereka berakhir di hotel Gracia.
Renata tersenyum saat Gracia membukakan pintu untuknya dan mempersilahkannya untuk masuk. Entah mengapa mereka kemari, namun menerima undangan pribadi dari Dimas sangat tidak memungkinkan karena pasti kedua pasangan itu tengah bermesraan sekarang apalagi hubungan mereka yang semakin intim sejak lamaran tadi berhasil. Hanya saja Gracia dan Renata membutuhkan tempat untuk saling berbicara.
"Gue masih gak percaya lo ada disini sekarang," Renata menyandarkan dirinya didepan pintu ketika Gracia tengah sibuk menggantungkan jaketnya.
Gracia tidak membalas ucapan Renata dan balik bertanya. "Mau minum?"
Renata tersenyum dan mengangguk.
Kini keduanya sudah duduk bersantai dibalkon kamar. Mereka sibuk menikmati suasana di malam itu dengan secangkir espresso.
"Seingat gue lo gak minum kopi, bahkan nyium bau nya aja lo gak suka." Celetuk Renata.
"Gak tau sejak kapan, tapi kopi bikin gue jadi rileks." Jawab Gracia.
Renata tersenyum karena Gracia meresponnya dengan baik, tidak seperti sebelumnya. Hening sempat menjebak mereka selama beberapa saat hingga Renata membuka suaranya kembali.
"Kenapa lo pergi hari itu?"
Gracia memejamkan matanya. Akhirnya ia sampai pada saat dimana ia akan menjawab pertanyaan yang ia sendiri pun ragu dengan jawabannya. Renata diam menunggu jawaban wanita disebelahnya.
"Gue takut." Gracia tidak berani menatap kearah Renata. Ia terlalu malu karena hari itu tidak bisa menahan keraguannya dan memilih untuk mengakhiri hubungan mereka.
Benar yang dikatakan oleh Renata. Gracia hanya lah omong kosong. Semua ucapannya dulu nyatanya tidak ada yang terjadi, Gracia terlalu takut untuk menghadapi dunia luar. Ia sudah merasa kalah. Memangnya siapa mereka bisa melawan norma?
Gracia merasa tidak sanggup dan berfikir lebih baik untuk mengakhiri saja.
"Gue takut kita nggak bisa."
Renata masih diam, ia berusaha mencerna apa yang sedang terjadi, mengingat kembali kejadian tiga tahun lalu saat dimana Gracia pergi meninggalkannya.
Sebenarnya tidak siapa pun yang bisa disalahkan disini. Renata pun mengerti, mereka hanya berusaha untuk saling menguatkan dan percaya bahwa mereka bisa, namun nyata nya mereka masih takut untuk keluar dari zona nyaman. Terlalu takut untuk menghadapi kenyataan.
Namun Renata juga tidak bisa membenarkan apa yang sudah dilakukan oleh Gracia.
Seharusnya mereka berdua disana, memberikan kekuatan masing-masing, dan memberanikan diri untuk keluar, menghadapinya bersama-sama.
"Lo tau? Gue cukup bangga dengan diri gue sendiri karena sudah melalui masa-masa sulit gue. Hanya sendirian, Gre, nggak ada Dimas atau pun lo."
"Setiap hari gue selalu bertanya-tanya apakah memang begini akhir dari kita berdua?"
"Namun gue selalu ingat dengan janji gue. Bahwa gue gak akan ninggalin lo, dan sekali pun lo yang pergi, gue bakal cari dimana pun lo berada. And see, you're here, in front of me."
"Setiap hari, Gre, setiap hari yang gue lakukan adalah menyemangati diri sendiri. Gue tahu gue bisa melewati ini supaya gue bisa nyusul elo. Selama setahun gue gak pernah nyerah dan akhirnya gue bisa kembali berjalan normal seperti sebelumnya."
"Banyak yang udah terjadi selama lo pergi."
Renata tidak melepaskan tatapannya dari iris hitam Gracia. Gracia berusaha sekuat tenaga untuk tidak berlarut dalam tatapan itu, namun mau bagaimana pun ia tidak bisa melakukannya. Manik indah itu selalu menarik perhatiannya sepenuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us || gxg (End)
Teen Fiction"Ta, lo anggap gue apasih?" "Ya sahabat lah, emang apa lagi?" "Sahabat? Jadi selama ini yang kita lakuin cuman sebatas sahabat doang?" "Gre. Lo berharap apa sama hubungan kita?" "Gue yakin lo punya rasa yang sama kayak gue." "Tapi lo tau kan gi...