Fiana terlelap selama perjalanan. Terlihat damai tidak terusik. Entah apa yang dia impikan.
Alva menatap jalanan di bawah sana. Dia mendapat tempat di atas. Ada dua tingkat bus ini.
Pantas saja membayar mahal. Ternyata memang senyaman itu, seperti di hotel namun versi mini.
Alva merangkak mengukung Fiana saat hendak turun untuk ke toilet. Sekilas dia kecup pipinya barulah turun.
Fiana tetap terlelap, wajahnya yang berjerawat mulai bersih walau sisa-sisa jerawat yang menghitam masih cukup terlihat.
Perawatan Ayu sungguh keren. Tak butuh waktu lama, Fiana jadi terlihat tidak selusuh sebelumnya.
Bibirnya yang pucat bahkan berwarna lebih hidup namun tetap natural. Ayu sungguh mengubah Fiana dengan totalitas.
Fiana berdecap sambil membuka matanya perlahan nan sedikit lalu kembali terpejam. Dia dijemput mimpi namun tidak jadi saat sesuatu mengukungnya sekilas.
Alva ternyata kembali.
"Apa liat-liat?" Alva mengecup dagu Fiana sampai tersentak pelan karena kaget lalu dengan santainya Alva kembali bermain ponsel.
Fiana terlihat melamun, lebih tepatnya mengumpulkan nyawa. Dia jadi tidak sabar bagaimana Bali itu.
Katanya perjalanan akan menempuh 1 hari penuh jika tidak ada kendala. Pantas saja busnya di desain begini.
Jika duduk Fiana pastikan akan sangat lelah dan sakit pinggang.
Fiana mengalihkan pandangnya saat melihat Alva ternyata melihatnya yang tengah melamun.
Alva mematikan ponselnya lalu merangkak lagi, mengukung Fiana untuk menggapai kunci pintu.
"Ke-kenapa di kunci?" Fiana mengerjap gugup karena Alva masih mengukungnya.
"Emangnya cuma lo yang mau tidur?" Alva ambruk setengah menindih Fiana.
Fiana agak manyun mendengarnya. Kenapa harus seketus itu. Padahal dia hanya bertanya.
"Be-berat, Alva.." Fiana menggeserkannya walau susah.
Alva pun menggeser tanpa menjauhkan wajahnya di leher Fiana. Dia mencoba tenang, mengosongkan pikiran lalu mendongak senang.
"A-ada apa?" Fiana mengerjap gugup.
Alva tidak menjawab, dia menatap lekat leher indah itu cukup lama. Desiran itu memang muncul namun kini Alva bisa kendalikan.
Alva mengosongkan pikiran, mengatur nafas dan miliknya tidak meronta-ronta seperti biasanya.
Fiana hanya mengerjap gugup lalu terpejam sekilas saat lehernya di kecup sekilas.
Alva kembali merebahkan tubuhnya di tempatnya, tidak mengganggu lagi.
Fiana menatapnya agak bingung namun malu bertanya.
***
"Makan siang," jawab Alva.
Fiana pun merapihkan rambut yang di kepang duanya. Dia senang Alva menyuruhnya begitu karena dia tidak perlu kegerahan lagi.
Apa sungguh Alva tidak masalah.
Alva mengecup bibir Fiana sekilas, Fiana hanya terhenyak sesaat tanpa bisa protes. Posisinya menjadi istri Alva membuat Fiana serba salah.
"Lagi?"
Fiana sontak menggeleng. Mencoba tenang dan Fiana tidak peduli dengan pikirannya. Dia segera turun sebelum Alva mengukungnya. Semua orang sudah mulai turun.
Fiana agak canggung, dia hanya tersenyum kecil nan gugup.
Alva membiarkan Fiana turun duluan, dia meregangkan otot lalu meraih ponsel dan dompet barulah turun.
Fiana celingukan setelah berhasil keluar mobil mewah itu. Dia kembali takjub dengan besarnya bus di sekelilingnya.
"Lo ada temen?" Alva baru turun, berdiri di belakang Fiana selangkah.
Fiana sontak menoleh dan menggeleng Putri tidak ada di pandangannya. Teman-teman sekelasnya tidak terlalu akrab.
Menyedihkan bukan.
Alva meraih lengan jaket Fiana. "Lo ikut gue," putusnya.
"Va, kemana?" Anton yang ikut menyusul keduanya.
Fiana meliriknya. Dia tahu, Anwar tidak ikut dan tempatnya yang di samping Alva harusnya tempat Anwar.
"Makan kemana lagi," Alva melepaskan genggamannya di lengan jaket Viana.
Anton merangkul Alva lalu tersenyum pada Fiana. "Gue tidur lama banget di bus, malem begadang nemenin si Anwar," ujarnya pada Alva.
"Gue juga tidur,"
Anton mengulum senyum usil lalu berbisik. "Ngelonin bini?" kikiknya.
"Engga, dia juga asyik sendiri," jawab Alva santai.
Fiana hanya diam, tidak tahu apa yang mereka bahas.
"Hotel masih jauh?" tanya Alva.
"Aduh, ngebet banget pengen nyampe ke hotel," goda Anton.
Fiana tiba-tiba merona mendengarnya.
"Ck!" Alva meraih lengan Fiana lagi lalu menuntunnya agar jauh dari Anton yang usil.
***
"Al," panggil Raisa dengan senyum ramah, melirik Fiana juga dengan sama ramah.
Fiana mencoba balas tersenyum walau canggung.
"Apa?"
Fiana menatap Alva, kenapa responnya begitu. Namun masa bodoh, Fiana lebih baik makan agar tidak masuk angin.
"Em, nanti aja.. Lanjut makannya," Raisa jadi ragu melihat respon Alva, ditambah ada Fiana yang katanya keluarga Alva juga.
Fiana menghentikan makannya, tidak bisa menghabiskan semuanya karena selama ini makannya selalu sedikit.
Bukan diet, memang jatahnya sehari sehari dan porsi sedikit. Tak heran dia kurus.
Fiana menatap lurus orang yang menatapnya penuh benci dan iri. Fiana terhenyak, kenapa Melati melihatnya seperti itu?
Fiana berdebar, apa Melati akan melakukan sesuatu?
Kegelisahan kembali muncul.
Alva melihat itu lalu mengikuti arah pandang Fiana. Ternyata dia yang selalu membuat Fiana bertingkah aneh.
Alva terlihat tenang. "Lo tunggu di sini," Alva beranjak untuk mendekati Anton yang tertawa ria dengan teman dari kelas lain.
Alva membisikan sesuatu pada Anton lalu Anton melirik sosok yang di maksud dan mengangguk.
"Gampang, Al.. Asal bayarannya yang pasti,"
"Hm," Alva berlalu dan kembali duduk di samping Fiana.
***
Fiana terhenyak kaget saat Alva memeluknya dari belakang, telapak tangannya itu mengusap bulatannya dari luar pakaian.
Bukankah Alva sedang tidur? Apa dia sedang bermimpi.
Perjalanan begitu gelap, mungkin karena sudah tengah malam juga. Hanya beberapa sorot lampu yang menyapa di balik tirai dekat Alva.
Fiana menggigit bibirnya, kini bibir Alva merambat dari pundak ke lehernya.
Alva sepertinya tidak tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cinta; Turn On (TAMAT)
RomanceKutukan Cinta #3 Alva menjadi satu-satunya perjaka di antara teman-temannya yang sudah beranjak dewasa. Bukan karena pergaulannya baik, dia juga sering minum-minum di club. Dia hanya tidak merasakan itu. Turn On. Sekali pun melihat video dewasa. Ba...