"Renaya," lalu melepaskan tangan dingin Fiana yang bergetar.Fiana terlihat gugup, tidak percaya diri. Alva terus menatap wajah gelisah itu di banding wajah cantik itu.
"Apa lo ga bisa pulang sekolah aja ketemunya?" Alva mencoba tenang, tidak menyebar kebencian.
"Aku penasaran, mau cepet kenal," suaranya begitu lembut terdengar seperti dibuat-buat manja lalu tersenyum tipis yang manis.
Anton sampai menganga samar. Dasar buaya, melihat yang bening langsung tertarik.
"Beneran udah tunangan?" Anton bertanya ramah agak salah tingkah.
Renaya tersenyum. "Gosipnya berlebihan ya, kita belum tunangan tapi akan secepetnya kata papa," jawabnya lalu melirik Fiana.
Akhirnya Renaya bisa melihat istri rahasia calon suaminya. Ternyata akan sangat mudah dia jadikan alat mengingat pasti Fiana akan patuh dan mudah dikendalikan.
"Kalau gitu aku pulang ya," jujur saja Renaya tidak nyaman dengan kursi lusuh yang dia duduki, pasti sangat banyak debu.
Alva hanya mengangguk singkat.
"Nanti malem makan sama aku," Renaya mengusap bahu Alva sekilas.
Alva menahan sengatan itu lalu mengangguk.
"Aku pulang ya temen-temen Alva," pamitnya.
***
"Alva.." Fiana menggeliat gelisah saat lehernya terus di sasar oleh Alva yang kini mulai melepas kancing seragamnya.Fiana gelisah dan mulai terengah pelan.
Alva mengecupi leher itu hingga basah, jemarinya masuk ke dalam pelindung bukit itu lalu meremasnya.
Fiana menggeliat gelisah, nafasnya kian memberat. Wajahnya terdongak seolah memberi jalan untuk Alva terus menyasar lehernya dengan kecupan.
Fiana kian gelisah.
Jemari Alva menyentil manja bulatan kecing yang menegang itu, memilinnya membuat Fiana kian gelisah.
Alva menjauhkan bibirnya, apakah dia meninggalkan jejak tidak sengaja. Untungnya tidak, lalu kembali menciuminya.
Alva menarik rok Fiana hingga ke perut, menurunkan celana dalamnya lalu melepas resletingnya dan kembali mengukungnya.
Fiana terlihat sayu, punggungnya melengkung saat kecupan Alva kini menyasar dua bobanya. Menghisap dan mengulumnya. Memainkan lidahnya sampai Fiana terengah.
"Alva.."
"Hm?" gumam Alva tanpa berhenti, mengecupi pinggiran daging itu lalu kembali menyerang puncaknya.
Alva sungguh sedang mencari hiburan. Dia agak kesal karena Renaya terlalu cepat datangnya.
"Alva," Fiana semakin gelisah saat pusarnya di kecup lalu pinggulnya dan beralih ke pahanya.
Fiana kembali merasa malu. Alva terlalu dekat dan jelas melihat miliknya. Fiana meremas jemari Alva yang bertengger di bobanya.
Fiana sungguh malu saat kakinya berada di bahu Alva dan mulut Alva sedang beraksi.
Fiana sangat berisik, menggeliat bagai cacing kepanasan.
"Oh astaga!" Fiana semakin menegang, menahan nafas lalu detik selanjutnya bergetar.
Alva pun berhenti dan kembali mengukung Fiana, mulai menggesekannya sebagai sapaan lalu melesak masuk sampai Fiana memekik tertahan.
"Sstt.. Berisik banget sih," goda Alva lalu mengecup singkat bibir Fiana lalu menggigit bibir bawahnya sekilas.
Fiana tetap tidak bisa untuk tidak berisik. Alva terlalu menumbuk kuat g*irahnya. Keduanya terlihat menggila dari sore menuju malam.
Fiana yakin, dia akan melewati banyak waktu dengan tidak belajar. Alva terus meminta lagi.
***
Alva mengusap punggung Fiana, mengecupnya sekilas. "Lo harus bangun, bunda sama ayah nunggu kita buat makan malem, ayah lagi ada di rumah.." bisiknya.
Fiana menggeliat dengan merasakan pegal di tubuhnya. Mencoba membuka mata walau terasa berat.
Alva usap punggung yang penuh jejak merah itu, dia kecup lagi sambil beralih meremas sebelah bulatan yang menyembul.
Fiana menahan lengan Alva agar berhenti dan Alva patuh asal Fiana bangun maka dia akan berhenti mengganggu.
"Aku nyusul," cicit Fiana dengan suara serak khas bangun tidur.
"Bareng." Alva menyingkirkan selimut lalu menggendong Fiana bagai koala.
Fiana hanya pasrah walau malu karena keduanya ternyata masih polosan.
"Soal Reyana, lo ke ganggu?" Alva menurunkan Fiana di bawah shower.
Fiana memeluk dirinya sendiri lalu menggeleng. "Aku percaya kok sama kamu," jawabnya pelan karena malu.
"Bagus. Lain kali lo harus lebih percaya diri!" tegasnya galak. "Lo juaranya, ga boleh kalah walau dia anak presiden sekali pun," lalu Alva cubit sekilas pipinya.
"Lo mandi duluan, gue mau BAB dulu,"
Fiana mengangguk lega lalu memburamkan kaca di sekitarnya agar Alva tidak jelas melihatnya tengah mandi.
Fiana pun membersihkan diri. Menikmati air hangat yang pas itu yang kini memanjakan tubuh pegalnya.
Alva juga fokus BAB sambil membuka ponsel yang sebelumnya dia bawa dulu ke dalam. Pesan dari Anton menyapa.
Soal foto Fiana yang di club yang menjadi ancaman dari Melati pada Fiana. Akhirnya Alva tahu.
Walau agak kecewa Alva tetap maklum. Fiana pasti serba salah, jika memberitahu bisa saja semua jadi kacau.
Alva terus membalas pesan Anton dan Anwar yang mengeluh karena pulang sekolah seharusnya mereka mendapat penjelasan
Alva melarangnya datang, jelas saja dia butuh hiburan dan menekan kekesalan. Dia butuh Fiana untuk melepaskan stressnya.
Alva menyimpan ponsel, mulai membersihkan diri lalu beralih ke dalam lagi yang tentunya mengagetkan Fiana.
Alva bantu mengusap menghilangkan busa-busa sabun.
"Alva.." Fiana merasa geli jika Alva yang melakukannya.
"Kenapa? Gue suami lo," galak Alva yang asyik membasuh di sana sini tanpa peduli gelisahnya Fiana. "Ga usah mupeng gitu," kekehnya pelan.
Fiana sontak malu. Dasar Alva! Sudah membuatnya lelah ternyata kembali lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cinta; Turn On (TAMAT)
RomanceKutukan Cinta #3 Alva menjadi satu-satunya perjaka di antara teman-temannya yang sudah beranjak dewasa. Bukan karena pergaulannya baik, dia juga sering minum-minum di club. Dia hanya tidak merasakan itu. Turn On. Sekali pun melihat video dewasa. Ba...