36. Datang Bulan Yang Tepat dan Kecupan Fiana

34.5K 1.7K 19
                                    

"Egh.." Fiana mengeluh sakit semenjak keluar dari villa, apa mungkin karena kelelahan dan beberapa kali melakukannya?

Fiana gelisah selama perjalanan pulang. Apa dia akan datang bulan? Memang sudah mendekati tanggalnya.

Alva melirik Fiana yang gelisah bahkan memunggunginya di jok samping. Alisnya bertaut. "Ngapain?" Alva menepikan mobil ke dalam minimarket.

Alva meraih lengan Fiana agar berbalik menghadapnya. Peluh menghiasi wajah Fiana, bibirnya pucat karena tidak memakai apapun.

"Alva, kayaknya mau datang bulan," lirihnya lalu terpejam menahan tak nyaman di bawah perutnya.

"Terus harus gimana?"

Fiana menelan ludah, mencoba menahan rasa sakitnya. "Mau ikut pakai pembalut sama beli obat, di dalem kayaknya ada," Fiana menatap mini market di depannya.

Kebetulan sekali Alva berhenti di sini.

Alva melepas sabuk pengamannya, tak lupa sabuk Fiana juga.

"Kita turun." putus Alva. 

***

Fiana sungguh datang bulan. Pantas dari semalam sudah mulai tak nyaman, untung tidak mengganggu kebersamaan mereka.

Datang bulan di waktu yang tepat.

"Ini, sama hot pack."

Fiana menerima sebotol kecil obat pereda nyeri dan bantalan hangat untuk perutnya. Alva tahu dari mana? Ah! Mungkin tahu dari mba kasir.

"Makasih," Fiana meminumnya walau tidak enak. Terlalu takut melihat Alva yang mengawasinya.

Fiana diam saja saat Alva meraih hot pack itu, meletakannya di perut lalu meraih bahunya hingga Fiana berbalik padanya lalu mengangkatnya.

Fiana agak kaget. "Nga-ngapain?" cicitnya hanya patuh hingga duduk menghadap Alva di pangkuannya.

Memangnya bisa posisi begini sambil menyetir dan ternyata bisa. Tubuh kecil Fiana tentu saja bisa, apalagi Alva cukup besar untuk menjangkau stir.

Fiana tidak banyak bergerak, posisinya diam memeluk hot pack di perutnya hingga terlelap dan melupakan sakitnya.

Alva juga tidak terlalu terganggu, setiap lampu merah, dia akan membenarkan posisi Fiana, atau mengusap punggungnya atau mengendus wangi rambutnya.

Mobil pun sampai di rumah dengan selamat. Fiana masuk dengan lunglai, di sambut Ayu yang paham dan langsung menyuruhnya istirahat.

Hari pertama haid memang kadang menyebalkan.

"Jangan galak-galak! Fiana lagi haid,"

Alva hanya mengangguk malas. Dia ingin tidur dulu, cukup lelah di perjalanan dan begadang dua malam.

Tapi Alva puas. Untungnya hari ini Fiana datang bulan bukan kemarin. 

***

Fiana menungging memeluk perutnya. Posisinya tengah enak, semoga tidak ada yang mengganggunya.

Alva yang baru bangun di suguhkan pemandangan itu sontak menampar pelan dumpelan itu.

Fiana tersentak kaget. Yah, ada gangguan, padahal sedang nyaman. Fiana mendudukan tubuhnya.

Alva masih rebahan, mengusap pinggang Fiana. "Masih sakit?" tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur. Muka bantal Alva terlihat tampan.

Fiana agak minder jadinya.

Alva juga jadi lebih perhatian. Rasanya hangat tidak terlalu canggung.

"Mendingan," Fiana rebahan di perut Alva tiba-tiba. Fiana juga tidak tahu kenapa, detik berikutnya dia menyesal malu.

Alva diam sedetik lalu tersenyum tipis, dia usap pinggang Fiana lalu Fiana membalik wajahnya menjadi menatap Alva.

Lagi-lagi Fiana tidak berpikir, langsung bertindak. Membuatnya tidak bisa mundur.

Tangan satunya lagi Alva gerakan mengusap kepala Fiana yang ada di perutnya, menghadapnya.

Kenapa terlihat seperti istri yang tengah bermanja.

"Udah jamnya makan malam belum?"

Fiana melirik jam di atas kepala
ranjang. "Kayaknya ayah, bunda udah beres," jawabnya.

"Kalau gitu kita turun." makan terlalu malam tidak baik.

Fiana dengan lunglai turun dari kasur dan duduk di pinggirannya untuk menunggu Alva mencuci wajah dan sikat gigi.

Fiana tersenyum samar mengingat perubahan Alva dari semenjak mereka pergi ke villa. Bahkan sebelum itu juga.

Dengan waktu singkat cinta tiba-tiba menyapa. Berarti cinta pandangan pertama itu ada nyatanya.

Cinta bisa di rasakan walau waktunya sangat singkat.

Fiana mendongak saat Alva keluar dari kamar mandi dengan terlihat lebih segar. Fiana beranjak, mengekor Alva yang keluar kamar.

"Besok sekolah?" Fiana harus bersiap setelah makan jika iya.

"Hm," Alva terus berjalan di depan Fiana.

"Besok olah raga ya," gumam Fiana yang terdengar mengeluh dan Alva samar menangkap itu.

"Ga usah, diem aja di pinggir,"

Fiana mengangguk. Dia tidak akan ikut, apalagi olah raganya bola voli yang melompat-lompat dan tidak bisa diam.

Fiana mulas membayangkannya saja.

"Kita di satuin?" Alva duduk di kursinya setelah melirik ayah dan bundanya yang sudah tidak ada di lantai bawah.

"Apanya?" tanya Fiana lesu dan tidak konek.

"Olah raga." Alva menatap pelayan yang segera menyiapkan makanan itu.

"Oh,  kayaknya.." Fiana belum yakin, kadang guru sering plin plan.

Alva tidak membahas lagi, mulai mengambil makanan sendiri tanpa menyusahkan Fiana yang masih agak pucat dan sayu lemas.

"Duduk sini," Alva mendekatkan kursi sampingnya agar Fiana duduk berdekatan.

Fiana patuh, makan perlahan sambil sesekali di usap punggungnya. Sungguh terasa nyaman dan hangat.

Fiana tersentuh. Alva tidak lepas tanggung jawab, dia tidak hanya ingin enaknya saja.

Ketiga kalinya hari ini Fiana bertindak tiba-tiba dan yang terakhir dia kini mencium pipi Alva hingga Alva terdiam sejenak.

"Makasih udah perhatian," cicit Fiana yang sibuk dengan makanan dan sibuk menyesalinya lagi.

Alva membalas mengecupnya, tapi tidak sekali melainkan tiga kali bertubi-tubi.

"Ga kerasa, lagi!"

Fiana melirik ragu namun menurutinya, terus saja balas mencium sampai tertawa pelan mengiringi mereka.

Kutukan Cinta; Turn On (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang