"Alva perhatian ya, Fia.." Putri tersenyum tipis nan polos. Melihat Alva yang sedang berbincang dengan sopir taksi.
"Hm, ya-ya gitu," Fiana terlihat gelisah, Alva terlihat berlebihan. Membuatnya merasa aneh dengan perhatian itu walau tampang Alva galak.
"Sepupuku ga gitu, bahkan kakak aku.." Putri terkekeh dengan manisnya, terlihat senang jika Fiana ada yang sayang. Sahabatnya itu berhak bahagia.
Fiana hanya tersenyum, tidak tahu harus merespon apa lalu senyumnya luntur saat Melati melintas dengan menatapnya tajam.
Melati berlalu membuat Fiana kembali bernafas lega.
"Mau bareng, Put?" tanya Fiana.
"Emang boleh?"
"Boleh dong, taksinyakan lewat rumah kamu dulu, eh bentar, tanya Alva dulu.."
Putri pun mengangguk hingga akhirnya mereka sampai di hadapan Alva.
"Anu, itu.. Alva, Putri boleh ikut?"
Alva melirik Putri datar lalu mengangguk tanpa banyak tanya. Putri di persilahkan masuk oleh Fiana.
Alva mendekat setelah Putri masuk.
Fiana menatap jemari Alva yang siaga agar dirinya tidak ke jedot. Astaga, Fiana berdebar dibuatnya.
"Makasih," Fiana pun masuk dan Alva menutup pintunya.
***
"Kok pulang naik taksi?" tanya Ayu setelah memeluk Fiana sekilas.
Fiana jadi bingung menjelaskannya. Bibirnya yang hendak terbuka urung saat suara motor Alva terdengar.
"Tuh, panjang umur.." Ayu menatap anaknya yang kian tumbuh. Begitu tampan walau wajahnya dingin dan terlihat galak.
Alva mendekat, memeluk Ayu sekilas.
"Bunda mau arisan dulu ya, makan malem mba siapin nanti, bunda kayaknya nemenin ayah lembur juga,"
Fiana mengangguk kecil, Alva pun sama.
"Gih, istirahat.."
Alva dan Fiana pun masuk. Seperti biasa, Fiana mengekor di belakang Alva dengan gugup. Adaptasinya membutuhkan waktu yang cukup lama sepertinya.
Keduanya masuk ke dalam kamar.
Fiana merapihkan ranselnya, meraih ransel Alva untuk dia simpan juga namun tangannya di tarik membuat dua ransel itu terjatuh.
Fiana melotot saat detik selanjutnya dia yang terjatuh menimpa Alva yang juga melemparkan diri ke kasur.
Fiana mengerjap gugup. Dia bersitatap dengan kedua mata Alva yang terlihat berbeda. Apa hari Ini Alva sedang ingin?
Fiana hanya diam saat tubuhnya ditarik agar wajahnya mendekat, bahkan sangat dekat. Nafas keduanya saling menyapa.
Melihat Alva dari jarak dekat dan di bawahnya rasanya berdebar. Alva begitu tampan, membuat Fiana tidak percaya diri.
Bagaimana bisa sosok tampan seperti Alva menjadi suaminya.
"Apa? Malu?" tanya Alva dengan galak khasnya.
Fiana menundukan tatapannya, dia sungguh malu. Mana di atas tubuh Alva.
"5 menit, gue mau tidur nyenyak, beres futsal, capek!" Alva memeluk Fiana dengan mata terpejam.
Fiana hanya diam pasrah, wajahnya kini menyamping menghadap leher Alva yang berjakun.
Hening memeluk mereka hingga Alva benar-benar terlelap. Tidak, keduanya menjadi terlelap.
Alva kembali bangun, mengintip Fiana lalu mengubah posisi. Fiana tetap Alva peluk bagai guling dan Fiana diam tidak terusik.
Keduanya sama-sama lelah. Fiana yang menggunakan otaknya, Alva yang menggunakan fisiknya.
***
Kamar yang gelap menjadi pemandangan yang Alva lihat saat membuka mata. Nafas seseorang menerpa lehernya yang ternyata posisi mereka tidak berubah.
Alva melepaskan pelukannya, mendudukan tubuh lalu meregangkan leher. Rasanya tubuh pegal.
Nanti selesai makan malam, dia akan meminta Fiana untuk memijitnya.
Alva turun dari kasur, mengabaikan Fiana yang menggeliat dan mulai bangun juga. Dia diam sebentar lalu beranjak untuk menyalakan lampu-lampu.
Tak lama Alva pun keluar kamar, mendekati Fiana yang melamun. Terlihat sekali baru bangun tidur. Dengan spontan meraih dagunya lalu mengecup bibirnya hingga Fiana terkejut.
Alva keluar kamar begitu saja, dia ingin makan duluan.
Fiana dengan tersipu bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka, mengganti seragam dan menyusul Alva untuk makan malam.
"Kok malah ikut tidur!" gumamnya sebal, jadi malu. Untung hanya tidur biasa. Fiana mengusap jantungnya yang terus berdebar aneh.
Apa itu reaksi karena selama ini tidak berdekatan dengan lawan jenis?
***
Fiana makan dengan tenang, seperti biasa, makannya sedikit sesuai porsi perutnya yang memang kecil.
Alva masih makan saat Fiana perlahan berhenti karena kenyang. Fiana pun memutuskan meraih anggur hanya 3 biji dan memakannya anteng sambil tak bosan melihat rumah yang begitu mewah.
Fiana kembali merasa seperti mimpi bisa hidup di rumah sehebat ini, dan lebih beruntungnya lagi keluarga Alva tidak seperti kalangan orang kaya lainnya yang tidak menyentuh jajanan pinggiran.
Selagi bersih, enak, mereka akan membelinya. Fiana sangat salut melihat kesederhanaan itu. Alva sangat beruntung.
Keduanya pun kembali ke kamar. Alva duduk di ranjang dengan ponsel sedangkan Fiana duduk di meja belajar untuk membaca dan mengerjakan tugas sebentar dengan tentu saja atas izin Alva.
Hingga jam terus berputar dan tidak terasa keduanya menghabiskan waktu satu jam lebih.
"Saatnya tidur, gue ga mau denger suara buku lagi!"
Fiana dengan berat hati menutup semua buku dan langsung memasukannya ke dalam tas. Dia tidak ingin dihukum lagi karena tidak membawa buku tugasnya.
Fiana merangkak naik lalu masuk ke dalam selimut, mencoba tidak gugup saat Alva menguap tepat berada di sampingnya.
Hening memeluk keduanya beberapa saat. Hingga Alva tiba-tiba mengukungnya. Fiana jelas terhenyak.
Alva menatap wajah Fiana yang semakin pudar bekas jerawatnya. Dia belai garis wajah Fiana, terus menatapnya sampai Fiana salah tingkah dan berdebar.
Alva terlalu lekat mengamatinya sambil mengusapnya, Fiana mulai tidak percaya diri. Dia malu, apalagi jaraknya dekat.
Alva melihat itu. Bola mata yang tidak bisa diam dan terlihat tidak percaya diri.
"Liat gue," Alva mengusap bibir bawah Fiana dengan sebelah jempol tangannya.
Fiana menatap gugup, mencoba fokus pada kedua mata Alva yang tajam, menggelap memancarkan aura dominan.
"Gue mau lo, boleh?"
Fiana kian berdebar. Ini pertama kalinya Alva meminta izin. Biasanya akan galak terkesan memaksa.
Tiba-tiba Fiana merasa senang. Di sini dia dihargai. Apa jika menolak tidak masalah?
"Hm?"
Suara lembut Alva, tatapanya yang mengunci dan belaian di wajahnya membuat Fiana hanyut. Dia tidak bisa berpikir selain mengangguk pelan.
Alva pun perlahan mendekat, mengecup ringan kening, pipi, hidung dan terakhir bibirnya. Semua terasa lambat bagi Fiana, jantungnya kian berdebar.
Hingga pada akhirnya Alva mencium Fiana lembut, mencoba mengajaknya bermain dalam gairah yang tidak salah.
Yang salah mereka yang belum menikah tapi melakukannya hanya demi pembuktian cinta. Semoga para bucin itu segera di sadarkan.
Karena yang lebih indah dari pembuktian cinta adalah kesetiaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cinta; Turn On (TAMAT)
RomanceKutukan Cinta #3 Alva menjadi satu-satunya perjaka di antara teman-temannya yang sudah beranjak dewasa. Bukan karena pergaulannya baik, dia juga sering minum-minum di club. Dia hanya tidak merasakan itu. Turn On. Sekali pun melihat video dewasa. Ba...