64. Selamat Dari Banjir

23.5K 1.1K 20
                                    

Fiana membenarkan rambutnya agar tidak membuat Alva malu. Dia pun mengangguk, mengkode Alva untuk turun karena dia siap.

Alva turun lebih dulu. "Tunggu di sini," lalu Alva bukakan pintu untuk Fiana.

Fiana mengulum senyum. Alva selalu saja berhasil membuatnya berdebar.

"Sepatunya udah bener?" Alva menahan Fiana agar tidak turun dulu. Dia pastikan tali sepatunya terikat.

Alva mengikatnya lebih kuat agar tidak mudah terlepas, jangan sampai Fiana tersandung. Tiga nyawa yang harus Alva pastikan keselamatannya.

"Love you, Alva." ucap Fiana sambil mengusap rambut Alva sekilas tanpa ingin memberantakannya.

Alva tersenyum samar sambil terus mengikatkan tali sepatu Fiana. Setelah selesai dia mendongak dengan tetap tersenyum walau tipis.

"Ulang lagi."

"Engga bisa," kekeh Fiana.

Alva mengulum senyum melihat kemanisan Fiana. Aura ibu hamil terlihat beda.

"Ulang!" galak Alva lalu kembali tersenyum.

"Love you, Alvaaaa.." Fiana memijat gemas pipi Alva sekilas.

"Bales jangan?" tanya Alva dengan tenang.

"Ga usah, udah tahu kok.. Samakan? Iya dong," Fiana cekikikan pelan dengan tingkahnya sendiri yang percaya diri sekali.

Alva mengigit bibirnya yang mengulum senyum itu sekilas, sialnya tidak bisa menyangkal.

***

"Gue di Bogor," Alva beranjak dari duduknya. "Bentar, ngobrol sama Anton dulu," pamit Alva lalu berjalan menjauh.

Fiana memakan satenya dengan nikmat. Asyik sendiri sampai bersendawa pelan nan puas.

Fiana mengusap perutnya. "Gimana? Udah ya?" gumamnya lalu meraih ponsel saat melihatnya menyala.

"Astaga, banjir?" Fiana segera menghubungi Ayu dan Selly. "Semoga ga ada apa-apa, banjirnya cepet surut juga," gumamnya sambil sibuk mengirim pesan pada semua teman-temannya.

Mereka terkena banjir. Rumah Alva mungkin tinggi jadi hanya semata kaki, berbeda dengan yang lain sampai di atas lutut orang dewasa.

Fiana mengusap perutnya. "Kalian nyelamatin mama ya?" gumamnya. "Ngidam mau yang jauh gini, semoga di sana baik-baik aja ya," gumamnya.

Fiana menoleh ada Alva yang masih teleponan itu. Pasti masalah banjir, Fiana tidak akan mengganggu dan memilih membayar semuanya.

Uang siapapun tetap sama.

"Udah selesai, ayo.." ajak Fiana.

Alva mengangguk dengan masih teleponan. Dia sudah selesai sebelum Fiana selesai, maka tidak masalah jika Fiana membayarnya. Akan Alva ganti saat di mobil.

Alva tetap membukakan pintu untuk Fiana, menjaganya sampai berhasil duduk dengan terus mendengarkan Anton di balik ponsel.

"Oke, gue ga bisa lama-lama, semoga ga naik lagi,"

Fiana menatap Alva yang sepetinya sudah selesai.

"Banjir ya?"

"Tahu?"

"Hm, rumah mamah penuh, dagangannya juga kayaknya sebagian kerendem, kalau bunda cuma dikit, mungkin rumahnya tinggi,"

Alva mengusap kening Fiana sekilas. "Udah ngasih kabar ya, baru mau telepon," balasnya.

Fiana hanya tersenyum. Alva pun menjelaskan pada sopir untuk mencari penginapan, mereka tetap tidak bisa pulang karena di sana masih banjir.

"Tuhan punya cara lain ternyata, aku ga jadi bolos kuliah karena emang ada musibah," Alva mengusap perut si kembar.

Ada untungnya mereka pergi walau cemas dengan yang lain tapi semoga saja tidak apa-apa.

***

Fiana menghangat. Alva menyiapkan sate dan mie goreng dengan tanpa bahan yang berbahaya, pantas Alva memperbolehkannya makan mie.

"Mie lain ga boleh, bunda marah nanti, ini juga aku bujuk bunda dan bunda kasih ide," Alva menyimpan handuk bekas di keranjang khusus cucian yang ada di hotel mewah itu.

Fiana mengangguk, mengusap perutnya dengan senang. Banyak sekali yang sayang padanya dan bayinya kini.

"Alva,"

"Hm?"

"Nanti mau ga, kalau perut udah keliatan besar kita foto-foto?" Fiana mendekati Alva dan duduk di sebelah pahanya dengan santai tanpa malu.

Alva mengusap punggung Fiana. "Boleh." singkatnya dengan menatap Fiana lekat. Fiana sudah mandi, terlihat segar.

"Makasih, ini foto anak pertama kita," senang Fiana.

"Hm, keringin dulu rambutnya," Alva menurunkan Fiana dari pangkuannya. Dia beranjak mencari pengering rambut.

Fiana tersenyum hangat. Alva dengan perubahannya semakin terasa nyata.

"Sini," Alva mengusap kepala Fiana yang rambutnya lembab basah. "Nanti masuk angin, keringin langsung!" omelnya.

Entah kenapa Fiana malah tersenyum mendengarnya. Dia memilih memeluk pinggang Alva.

Alva tersenyum, tetap mengeringkan rambut Fiana bagian belakang. Tanpa terganggu dengan posisinya.

Hingga tak lama berhasil kering. Alva simpan asal lalu membingkai wajah Fiana dan melumatnya rakus.

"Tu-tunggu, Alva.. Ada telepon," Fiana menghentikannya, takut itu penting dari keluarga yang kini terkena banjir.

Alva mengalah, menerima telepon dari ayahnya yang menjelaskan air mulai surut, hujan pun berhenti beberapa jam lalu.

Alva maupun Fiana lega mendengarnya. Fiana juga memilih menelepon keluarganya untuk memastikan.

Alva maupun Fiana kembali mendekat, mereka lega mendengar kabar itu.

"Alva, kita liburan keluarga bisa ga?"

"Sekarang belum, ada Renaya dan media," sesal Alva sambil mengusap kepala Fiana yang terus mendekat lalu memeluknya.

"Kapan bisanya?"

"Ngidam lagi?"

Fiana hanya tersenyum, entah ngidam atau tidak. Sepertinya seru saja, mengingat keluarganya juga kini baik-baik saja.

"Aku ngobrol sama ayah dulu, jangan sedih," balas Alva.

Fiana mengangguk, keduanya pun memilih tertidur. Ingin bercinta masih belum boleh, Alva hanya pasrah saja, jika ke pepet pun Fiana mau memanjakannya dengan cara lain.

"Anton mulai nerima Melati,"

Fiana menatap Alva senang. "Bagus kalau gitu, udah saatnya Melati bahagia. Dulu dia ga gitu, Alva." jelasnya.

"Kamu bela dia sekarang?"

"Hm, aku udah maafinkan,"

"Istriku baik banget," Alva mempuk-puk kepala Fiana dengan bangga.

"Suaminya juga baikan," Fiana tersenyum cerah. "Senengnya, aku jadi yang pertama dan kamu juga gitu," kekehnya.

Alva tersenyum. "Dari cupu udah bisa disebut suhukan? Walau yang pertama tapi kamu kayaknya selalu puas," bisiknya menggoda.

"Iya lagi, enak banget," Fiana mengacungkan dua jempolnya.

Alva tertawa pelan.

Kutukan Cinta; Turn On (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang