"Nanti aja kalau udah besar, kita bareng jenguk mamah, bapak kamu.." Ayu mengusap bahu Fiana. "Sekarang istirahat, lemas pasti abis muntah," lanjutnya.
Fiana mengangguk patuh. Dibawa keluar tidak kuat karena mual dan muntah datang kadang tidak terprediksi.
"Alva mana, bunda?" tanya Fiana.
Ayu tersenyum, rasanya seperti dia saat hamil Alva. Tidak bisa lama jauh dari suami. Padahal ke kamar mandi, tetap saja dicari.
"Ambil minum,"
"Kok lama ya, bunda?"
Ayu terkekeh pelan. "Jadi inget waktu hamil Alva. Ga bisa jauh dari suami," lalu memeluk Fiana lagi. "Sehat-sehat ya, jangan pergi dari Alva, Fiana. Keluarga ayah emang seenaknya, tapi bunda yakin, Alva seperti ayah.. Dia tidak suka diatur. Soal Renaya pasti akan ada solusi," yakinnya.
Fiana mengangguk. Mertuanya itu selalu saja menguatkannya. Padahal tidak pun dia tetap akan percaya dan bergantung pada Alva.
Tidak ada yang bisa dia percaya lagi.
"Bunda juga sehat-sehat, nanti yang ajarin urus bayi harus bunda,"
Ayu tersenyum senang. "Kita semua harus sehat dan bahagia," bisiknya.
Fiana mengangguk setuju lalu tertawa pelan bersama.
"Kalian lagi apa?" tanya Alva.
***
Melati menatap tegang Anton yang tumben ada di rumah saat dia pulang dari kerjaan paruh waktunya.
Melati melihat nasi yang dia beli. Hanya ada satu, apa Anton akan mau?
Anton melirik tajam Melati yang masuk dengan terlihat ragu. Membuat Melati semakin panas dingin.
"Ka-kamu di rumah," cicit Melati dengan gugup.
Anton melirik yang di bawa Melati.
"Oh ini, mau? Nasi," ujar Melati setenang mungkin. Rasanya Anton akan meledak marah.
Anton memalingkan tatapannya tanpa menjawab, dia kembali nonton bola di televisi.
Melati menghela nafas sabar. Hanya Anton yang mau menerimanya. Jangan banyak tingkah itu lebih bagus.
Melati membagi nasi itu jadi tiga bagian, begitu pun telor dadarnya. Dia asyik sendiri sampai tidak sadar kalau Anton melihatnya.
Anton melihat tangan Melati yang hanya tulang, kian kurus. Perutnya yang besar berisi bayi itu membuatnya terlihat seperti kurang gizi.
Dengan segera Anton menepis hatinya yang terasa tersentil. Apa setiap hari begitu? Melati yang menyedihkan.
Oloknya namun menjadi aneh. Terasa gelisah tidak jelas. Dia manusia biasa. Melihat itu kasihan.
Melati bekerja hanya untuk satu nasi yang dibagi tiga untuk tiga kali makan dalam sehari.
"Melati!" teriak Anton tiba-tiba.
Melati sontak menjatuhkan sendoknya hingga nasi dan lauknya jatuh kembali ke dalam piring.
"Iya?" sahutnya segera beranjak.
"Ck!" Anton menyugar rambutnya frustasi. "Gue males keluar! Beli makanan, apapun! Gue laper," ketusnya.
Melati mendekat segera meraih uang seratus ribuan itu.
"Di depan cuma ada martabak, apa gofood aja?" tanya Melati ragu.
Anton menatap Melati tak terbaca, membuat Melati tidak bisa fokus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cinta; Turn On (TAMAT)
RomanceKutukan Cinta #3 Alva menjadi satu-satunya perjaka di antara teman-temannya yang sudah beranjak dewasa. Bukan karena pergaulannya baik, dia juga sering minum-minum di club. Dia hanya tidak merasakan itu. Turn On. Sekali pun melihat video dewasa. Ba...