Stay di Instagram aku (chanie1001) nanti akan ada voucher buat karyakarasa :)
Follow ya.."Pake jaket," Alva mengecup pelipis Fiana sambil lalu. Dia meraih kunci dan ponselnya.
Fiana menurutinya, sambil mengikuti Alva yang berbalik tiba-tiba, menabrakan bibirnya sekilas. "Jaket gue lupa, ga perhatian," bisik Alva.
Fiana mengerjap, dia tidak ngeh karena sibuk memakai jaketnya atas perintah Alva.
"Maaf,"
Alva mengecupnya lagi, kali ini disertai lumatan. "Ga usah minta maaf, gue yang salah," bisiknya.
Keduanya pun berangkat dengan romantis, seolah tidak akan ada lagi pengganggu. Alva terlihat sangat menerima Fiana, dan Fiana pun mencoba menghilangkan semua rasa canggung walau kadang masih sulit.
***
Alva melirik Fiana yang duduk sendirian di pinggir lapangan. Benar-benar menuruti ucapannya.
Alva kembali fokus pada olah raga voli hingga regunya menang. Dengan terengah kepanasan, dia mendekati Fiana.
Fiana memberikan sebotol air dan handuk kecil. Alva menerima itu sambil bergumam makasih.
Fiana menatap Alva dalam diam. Gosip hari ini masih dipenuhi tentang Alva yang menjadi tunangan anak presiden.
Alva jadi lebih dihargai oleh guru dan bahkan teman-temannya.
Fiana mulai berpikir. Mungkin itu yang diinginkan kakeknya. Alva lebih dihormati dimana pun dia berada karena statusnya.
Fiana tidak akan menghalangi itu. Dia akan semakin menguatkan diri, yang terpenting keluarga Alva sudah membantunya terlepas dari jeratan keluarga yang toxic.
Alva harus benar-benar menikah dan memiliki kekuasaan.
Fiana akan mencoba menerima jika kelak dia harus di rahasiakan sampai entah kapan. Dia hanya bisa percaya pada kutukan itu.
"Alva,"
Alva menoleh, berhenti menyeka keringat.
"Apa?"
Fiana tersenyum. "Engga," balasnya.
Alva menautkan alis namun memilih balas tersenyum walau tipis. Sepertinya Fiana tengah dalam mood yang bagus.
Beda dengan Alva. Dia masih mencoba meyakinkan diri untuk menemani Renaya hari minggu nanti.
"Ana,"
"Hm?"
"Ga jadi," balasnya lalu beranjak seraya mengacak rambut Fiana dan pergi begitu saja.
Fiana menatap sebal sambil merapihkan rambutnya namun detik berikutnya bibirnya kembali tersenyum tipis.
Mereka akan segera lulus. Usia akan kian bertambah. Apa ke depannya akan baik-baik saja?
***
Alva menatap Fiana yang asyik berbincang dengan Putri. Tatapannya terlihat fokus menilai penampilan Fiana.
Sangat berubah dari saat pertama kali dia melihat.
Tatapan Alva semakin lekat. Membayangkan tubuh di baliknya yang selalu dia sentuh dan memuaskannya.
Pinggangnya yang ramping, tubuhnya yang ringan membuat Alva bisa melakukan apapun.
Alva berdehem pelan, mencoba menepis pemikiran kotor itu. Dia mulai menarik nafas, fokus dan menenangkan diri.
Miliknya kembali bisa dikendalikan.
Cinta membuatnya sembuh.
Alva kembali menatap Fiana yang masih memesan.
"Tatap aja terus. Tatap sampe bolong!" sindir Anwar geli sendiri melihat dua sahabatnya yang menatap perempuan masing-masing.
Apa Anton sungguh menginginkan Putri bukan main-main? Konyol sekali. Jauh dari tipe Anton.
"Ton, cewek uler itu gimana?"
Anton menoleh pada Alva. "Aman, dia gue ancam. Bales dendam," jawabnya.
"Ancam pake apa?" tanya Anwar penasaran.
"Video s*ks kita," jawab Anton enteng, masih betah menatap Putri yang asyik dengan Fiana.
"Apa? Gila! Lo udah berhasil? Emang buaya!" Anwar menggeleng tak percaya.
Sudah Alva duga. Anton pasti begitu.
"Tenang aja, gue brengsek cuma sama cewek tukang bully kok, anggap aja gue karma yang alam pilih untuk dia."
Alva menatap Fiana yang sudah selesai memesan lalu tidak sengaja bersitatap. Fiana dan Putri duduk di meja lain.
Alva tidak protes. Mereka sepakat untuk menjaga jarak jika berada di sekolah. Kini Anton yang protes karena Putri tidak bisa dia usili.
***
5 hari kemudian...
"Dia masih malakin lo?" tanya Alva yang rebahan di perut Fiana.
Mereka sudah pulang sekolah. Hari ini lebih awal dari jadwal biasanya karena guru-guru mengadakan rapat.
"Melati? Udah engga dari 3 hari lalu, biasanya ngajak ketemu di toilet, sekarang ga sering liat," jawabnya sambil melihat jemari Alva yang bermain di pusarnya.
"Emh, geli.." Fiana meraih jemari itu agar berhenti.
Alva mengecup cukup lama sampai menimbulkan jejak. Fiana tetap menggeliat kegelian.
"Alva, geli.."
Alva tidak berhenti, malah menyelipkan sebelah tangannya ke dalam celana tidur Fiana, masuk ke dalam celana dalamnya.
Fiana tersentak. Masih siang, bagusnya tidur siang bukan berolah raga. Bukankah Alva mengeluh lelah karena selesai olah raga voli?
"Oh astaga!" Fiana merapatkan kakinya, namun jemari itu tidak kunjung berhenti menggelitiknya.
Alva menariknya di detik-detik terakhir. Membuat Fiana sempat merasa kecewa. Alva menangkap ekspresi wajahnya membuat bibirnya tersenyum usil.
"Nanggung?" godanya.
Dengan sedikit terengah, Fiana memalingkan tatapannya salah tingkah.
Alva bergerak bangun, menarik celana Fiana yang langsung empunya tahan.
"Serius ga mau?" Alva masih menggodanya sampai Fiana memerah malu.
Fiana tidak menjawab, melepaskan cekalannya membuat Alva melanjutkan apa yang ingin dia lakukan.
Hari ini dia akan memuaskan istrinya, bermain-main mengikis rasa bosan.
Fiana terengah lemas, entah berapa kali pelepasan sampai rasanya bergetar lama merasakan pelepasan yang panjang.
Alva benar-benar membuat Fiana melayang hanya dengan mulut dan tangannya.
"Sekarang giliran lo," Alva tersenyum dengan tatapan yang lekat.
Alva ingin sesuatu yang baru. Apakah Fiana akan mau memanjakannya dengan hal yang sama?
"Aku— ngapain?" cicitnya malu.
"Sama yang kayak gue lakuin, mau?" tanyanya lembut, tidak galak memaksa. Dia benar-benar ingin Fiana melakukannya dengan rasa suka bukan karena terpaksa.
"Em, mu-mulut?" cicitnya ragu.
Alva terkekeh. "Lo ga pernah nonton film begituan ya?" tebaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cinta; Turn On (TAMAT)
RomanceKutukan Cinta #3 Alva menjadi satu-satunya perjaka di antara teman-temannya yang sudah beranjak dewasa. Bukan karena pergaulannya baik, dia juga sering minum-minum di club. Dia hanya tidak merasakan itu. Turn On. Sekali pun melihat video dewasa. Ba...