52. Berdamai Dan Bermalam

25.1K 1.2K 7
                                    

Alva menatap ponselnya yang berbunyi. Renaya yang memanggil. Dia terpaksa matikan, Fiana lebih penting.

Dia mendekati Fiana yang terlihat ada jejak air mata. Alva rangkul, kecup sekilas pelipisnya. Alva menatap dua manusia yang terlihat lebih lelah dari sebelumnya.

Apa sungguh mereka mengemis?

"Alva.."

"Hm? Apa?" sahutnya pelan, menatap Fiana lekat.

"Kamu yang anter?"

Alva mengangguk, tersenyum menenangkan walau tipis kemudian menatap Yohan dan Selly.

"Ayo, pak, mah.." Alva tersenyum formal dengan sangat terpaksa. Selama perjalann, setelah mematikan panggilan Fiana. Alva mendapat nasehat dari Ayu.

Kasihan Fiana jika Ayu, maupun Alva terus bergelung dalam kekesalan terhadap orang tua Fiana.

Fiana akan terusik batin. Alva hanya ingin membuat Fiana nyaman.

Fiana menatap itu menahan haru.

"Nak," Yohan terlihat tidak enak. Dia tidak bisa melanjutkan makannya, ditambah tidak nafsu makan.

"Demi Fiana yang ingin membantu orang tuanya, bapak dan mamah tolong hargai," mohon Alva sesopan mungkin.

Yohan menatap sang istri yang terlihat lebih luluh.

"Hanya sedikit yang bisa aku dan Fiana bantu,"

***

Fiana menatap kontrakan yang terlihat cukup nyaman. Bagus dan pas untuk diisi orang tuanya, lingkungan bagus dan tidak jauh dari perkotaan.

"Suka?" bisik Alva. Dia lebih memilih menanyakan pada Fiana dibanding orang tuanya.

Kepuasan Fiana lebih utama.

"Hm, ini aja.." Fiana terlihat senang.

Alva menatap Yohan dan Selly yang tengah melihat-lihat juga.

"Di sini aja ya, pak, mah.. Nanti sore perlengkapan tidurnya dateng, di tunggu aja, aku sama Fiana cuma bisa bayar untuk satu tahun," Alva tersenyum, semua demi Fiana.

"Di depan ada roda baru, bisa untuk bisnis kecil, di sini jarang ada warung," Alva mendengarnya begitu dari orang yang dikirim Ayu.

Selly hanya menunduk dengan semakin menyesal dan malu. Bagaimana bisa dia menerima itu. Makanya dia hanya diam.

Fiana memberanikan diri mendekati Selly dan Yohan. Alva hanya berdiri mengawasi.

"Mah, pak.. Terima ya, mulai menata hidup baru sambil nunggu kak Tiara keluar, aku mau mamah sama bapak usaha yang baik, jangan judi atau apapun itu ya pak, mah.. Buka usaha warung aja, nanti Fiana kasih modal, kapan-kapan main lagi ke sini, bolehkan?"

Selly hanya terisak tanpa bisa menjawab. Dia sungguh malu.

"Tentu boleh, bapak seneng dengernya, maafin bapak ya, semua yang bapak dan mamahmu lakukan itu ga ada yang baik,"

Ketiganya menangis dengan perasaan yang campur aduk.

Fiana hanya sedang berdamai dengan masa lalu. Dia ingin menjalankan hidup ke depannya lebih baik lagi tanpa penyesalan.

Semoga ini awal kebahagiaan, bukan kesialan.

Setelah kepergian Fiana.

Yohan dan Selly saling berpelukan dengan air mata berjatuhan.

Semua kilas balik kejahatannya terhadap Fiana seolah terngiang bagai mimpi buruk.

Penyesalan memang selalu datang di akhir.

"Kita harus berjuang lagi," Yohan mengusap punggung sang istri. "Kita nikmati kesederhanaan, kita nikmati masa tua dengan baik, aku mohon.." isaknya.

Selly mengangguk dengan semakin berderai air mata. Menjadi pengemis bagai mimpi buruk. Selly ingin berubah, tidak ada yang instan di dunia ini.  Judi bukan pilihan yang tepat.

***

Alva menatap semuanya. Setelah makan malam, Fiana ingin kembali melihat orang tuanya, apakah mereka mendengarkan inginnya atau kabur dengan menjual semua yang dia kasih.

"Alva,"

"Hm," Alva menoleh sekilas.

"Mereka ga kabur ya," Fiana menatap roda dan Yohan yang tengah merapihkan belanjaan untuk membuka usaha.

Bahkan langsung belanja.

Fiana terisak membuat Alva menghentikan mobilnya cukup jauh dari Yohan berada.

"Kenapa? Ga jadi aja?"

Fiana masih terisak. Akhirnya harapannya terkabul. Berdagang itu keahlian Yohan, begitu yang dia dengar dari mendiang neneknya.

Melihat Yohan berujuang dari nol lagi rasanya Fiana terharu walau tidak tahu perjuangan dulu saat orang tuanya masih kaya.

Seolah dia yang merusak dan kini dia yang memperbaikinya.

"Hey, malah makin kenceng!" galak Alva.

"Terharu, kenapa kamu baik, bunda sama ayah juga," isaknya.

"Manjanya," Alva tersenyum mendengar suara Fiana yang serak terdengar manja.

"Aku mau berterima kasih, aku ga punya uang, tapi aku tahu kamu sukanya apa,"

"Apa emangnya?"

Pada akhirnya, Alva putar balik, membawa Fiana untuk bermain di hotel sesuai permintaan Fiana.

Katanya dia ingin berterima kasih pada Alva. Makanya mengajak ke sana. Alva tentu tidak menolak.

Fiana benar-benar tahu apa yang Alva suka.

***

Fiana terengah dengan tatapan sayu, tidak bisa berdiri tegak lagi membuat Alva segera berpindah dari pintu masuk ke sofa meliuk khusus untuk bercinta itu.

Fiana menatap sekeliling. Apakah sungguh ada hotel yang dikhususkan untuk pengantin? Suasananya begitu dewasa.

"Alva.."

"Hm?"

"Kita itu di dewasakan keadaan ya," Fiana tersenyum dengan tubuh lunglai nan pasrah saat Alva menariknya duduk di pangkuan.

"Hm, harusnya masih main, pacaran jalan-jalan.. Malah udah banyak gaya gini," kekeh Alva.

"Bukan soal itu aja," Fiana menggeliat pelan saat bibir Alva mulai menyasar sana-sini." Kamu harus kerja sambil kuliah, terus tunangan padahal udah ada istri," kekehnya.

"Hm, bener.. Di dewasakan keadaan," gemasnya sambil menghentaknya dalam sekali.

Fiana sontak terdongak lalu memeluk Alva.

"Gue lelah, harusnya main kayak Anton, Anwar, ga harus mikirin beban perusahaan, ga harus banyak belajar ini itu, masuk politik lewat anak presiden dulu, itu kehidupan yang ga gue mau,"  jujur Alva terdengar lelah.

Fiana mengurai pelukan lalu tersenyum. Dia mengecup bibir Alva sekilas, Fiana akan menghibur Alva. 

Alva hanya duduk dan sibuk mendesah halus saat Fiana yang bergerak di pangkuannya dengan begitu cantik.

Tubuh kurusnya yang perlahan mulai terisi membuatnya semakin terasa enak. Alva mainkan bulatan yang naik turun mengikuti irama itu.

Keduanya menggila, apalagi malam ini Fiana yang mengendalikan sampai lunglai lemas. Memuaskan Alva memang tidak gampang. 

Spesial part dewasanya bagi yang mau ada di karyakarsa. Makasih :)


Kutukan Cinta; Turn On (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang