-37-

1.5K 124 5
                                    

Ting......

Begitu pintu lift di sisi kiri Gita menutup rapat. Tiba-tiba saja pintu lift lainnya terbuka. Wangga muncul dari dalam lift yang terbuka itu.

"Kamu kok disini Git? Fitta ada di apartemen kamu kan?"

Gita lantas melotot tajam ke arah Wangga. "Oh, jadi lo yang nyuruh dia kesini bang?"

Wangga mengangguk. "Dia tadi sore mau nunggu aku di depan kantor. Tapi berhubung cuaca agak mendung dan daripada kehujanan. Jadinya aku nyuruh dia ke apartemen kamu"

"Gila lo yaaa!", sentak Gita. Wangga menatap adiknya heran karena tiba-tiba marah dengan alasan yang menurutnya tidak jelas.

"Kamu kenapa?"

"Cepat bawa dia keluar dari apartemen gue sekarang!"

Wangga tak berkomentar. Ia bergegas masuk ke dalam apartemen menjemput Fitta yang berada di dalam.

Sialan!

Gita mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar emosi mengetahui fakta itu. Ia lantas bersandar pada dinding luar kamar menunggu kedua orang itu untuk keluar dari dalam kamar apartemennya.

Begitu mereka keluar, Gita memandang sinis pada tangan Wangga yang menggenggam tangan Fitta.

"Ga tunggu!", ujar Fitta menahan tangan Wangga yang menarik sebelah tangannya. Ia lantas menatap Gita sebentar.

"Eh, Git kita belum sempat ketemuan. Lain kali aku bakal main lagi kesini"

Gita tak menjawab. Ia langsung masuk ke dalam apartemennya lalu menutup pintu.

*****
Di dalam lift Alca berusaha menahan air matanya yang hampir keluar. Ia berkali-kali mengipasi matanya agar tak meneteskan air mata. Sesampainya di lobi pintu utama apartemen. Alca sempat terdiam melihat hujan yang turun begitu deras. Entah karena mungkin terbawa suasana, air matanya mendadak ikut turun seperti hujan malam itu.

Ia mendesah pelan kemudian memutuskan untuk berlari keluar dari kawasan apartemen dan memilih berteduh di sebuah minimarket yang tak jauh dari sana.

Alca memilih berjongkok di depan teras minimarket sambil sesekali menghapus air matanya yang terus jatuh membasahi pipinya.

Kok sakit banget ya. Batin Alca sambil terus memeluk tubuhnya yang mulai kedinginan akibat percikan air hujan. Alca melamun menatap jalanan di depannya. Pikirannya masih berusaha mencerna kejadian tadi.

Apa benar itu pacarnya Wangga?

Kalau memang benar, kenapa selama ini Wangga bohong soal statusnya?

Tapi kenapa juga gue harus ngerasa sakit dengan itu?

Gue juga bukan siapa-siapanya Wangga

Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan di kepalanya yang tak dapat ia jawab.

Hujan yang tadinya turun dengan sangat deras kini perlahan mereda dan menghilang. Tapi rasa sakit di dada Alca tak kunjung hilang, hatinya benar-benar perih.

“Alca....”

Alca lantas mendongak ketika mendengar suara seseorang memanggil namanya. Laki-laki itu ikut berjongkok di samping Alca.

“Lu kenapa Ca?”

Dengan mata yang sedikit sembab, Alca tersenyum menatap lelaki itu. “Gue gapapa, Dar”

Lelaki itu ternyata Darrel yang sempat berbelanja ke minimarket itu sebelum hujan tadi turun. Darrel hanya manggut-manggut kemudian membantu Alca untuk berdiri.

Garis Semesta [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang