Gelas kaca yang ada di genggaman Alca tiba-tiba terlepas begitu saja dari tangannya. Bunyinya cukup keras hingga membuat Alca sedikit tersadar dari keterkejutannya. Ia segera memungut pecahan gelas kaca itu sebelum ada yang mengenai kakinya.
Perasaannya mendadak memburuk seperti ada sesuatu yang tidak beres. Ia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Assalamualaikum Ma. Mama dimana?"
"Waalaikumsalam. Mama lagi di rumah. Kenapa Ca?"
"Kalo papa?"
"Itu lagi di depan nyabutin rumput liar yang tumbuh di halaman depan rumah. Kenapa sayang?"
Alca akhirnya bernapas lega setelah mendengar ucapan ibunya.
"Ngga ada ma. Perasaan Alca lagi nggak enak, takut mama sama papa kenapa-napa"
"Alhamdulillah mama sama papa baik-baik aja"
"Ehm.. kalo ada apa-apa cepat hubungi Alca yaa ma"
"Iyaa sayang... Kamu juga yaa. Kalo ada apa-apa cepat hubungi mama atau papa"
Alca mengangguk yang sudah jelas tak akan terlihat oleh ibunya. "Iyaa ma... Kalo gitu Alca tutup dulu yaa telponnya"
"Iyaa sayang..."
"Assalamualaikum.."
"Waalaikumsalam..."
Setelah menutup sambungan telepon itu Alca sedikit bisa bernapas lega meskipun perasaannya masih merasakan sesuatu yang aneh.
Ia meletakkan ponselnya di atas meja. Matanya beralih menatap mie instan yang telah tersaji di dalam mangkok yang akhirnya tak tersentuh olehnya. Nafsu makan Alca mendadak hilang. Padahal sebelumnya, ia semangat sekali memasak mie instan karena cuaca di luar yang sedang gerimis.
Alca hanya duduk diam sambil mengamati jendelanya yang terkena percikan air hujan.
*****
Begitu sampai di apartemen Gita, Wangga berteriak kesal. Ia sangat kecewa dan hatinya benar-benar sakit karena telah dibohongi oleh wanita yang sangat amat ia cintai itu. Ia menatap deretan kotak paket hantaran yang sudah tersusun rapi di sana.
Praangg!!!Wangga menghancurkan semua kotak paket hantaran itu dengan tangan kosong. Kaca-kaca penutup kotak paket itu akhirnya pecah berserakan di lantai apartemen.
"Arrghh!! Bangsat!!!" , pekik Wangga kencang. Ia meluapkan semua rasa marah dan kecewanya sambil menghancurkan kotak-kotak kaca itu. Ia bahkan mengabaikan rasa perih di tangannya akibat serpihan kaca yang tadi sempat menggores kulitnya. Rasa perih itu kini tak sebanding dengan rasa sakit di dadanya.
"Bajingan!!"
Dada Wangga naik turun. Deru napasnya terdengar begitu memburu. Wangga begitu frustasi mengingat kejadian tadi. Ia kembali meluapkan emosinya sambil terus mengumpat kasar. "Anjiingg!!! Anjing!!"
Wangga yang tak sanggup lagi menahan amarah di dadanya itu akhirnya menangis. Setiap isakan tangis yang lolos dari mulutnya terdengar begitu menyesakkan.
Kakinya tak mampu lagi untuk menopang berat tubuhnya hingga terjatuh merosot ke lantai. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding seraya mengusak rambutnya kasar. Napasnya masih tersengal, kepalanya tertunduk seraya menatap tangannya yang masih mengeluarkan darah.
Wangga membaca kembali pesan yang dikirimkan oleh Narendra beberapa jam yang lalu.
*****
"Kamu tadi kenapa sih?", tanya Nabastala begitu mereka keluar dari dalam rumah sakit.
"Sssttt! Jangan disini sayang. Ntar ada yang denger", ujar Narendra lalu menarik tangan Nabastala untuk cepat masuk ke dalam mobilnya.
Setelah mereka masuk ke dalam mobil, Narendra masih mengamati keadaan sekitarnya. Ia lantas memegang kedua bahu Nabastala lalu menggerakkan badan Nabastala agar menatap kepadanya.
"Kamu ingat waktu itu aku pernah cerita soal mantannya Wangga? Mantan yang akhirnya balikan lagi sama Wangga"
Nabastala mencoba mengingat hingga tak sadar alisnya kini saling bertaut. "Oohh.. yang waktu itu datang ke nikahan kita yaa?"
Narendra mengangguk dengan cepat berulang kali. "Aku tadi ngeliat dia di meja pendaftaran poli obgyn"
Mulut Nabastala sontak menganga tak percaya. Dengan cepat Narendra menutup mulut istrinya itu dengan tangannya. "Jangan lebar-lebar dong, sayang!"
Nabastala menyingkirkan tangan Narendra yang masih menutupi mulutnya. "Di-dia mau periksa kandungan?"
Narendra mengedikkan bahunya kemudian menggeleng. "Aku ngga tau tujuan dia kesana. Aku udah coba telepon Wangga tapi nggak di angkat-angkat"
"Hah? Jangan-jangan....". Nabastala menutup mulutnya dengan kedua tangannya sambil menatap Narendra.
Narendra seperti tau apa yang dipikirkan istrinya. Ia menggeleng lalu mengusap pelan kepala Nabastala. "Jangan berpikiran yang aneh-aneh dulu. Aku masih ngga tau tujuan dia kesana ngapain. Jadi aku bener-bener nunggu info dari Wangga"
Nabastala mengangguk. "Semoga bukan apa yang aku pikirkan"
"Emangnya kamu mikirin apa?"
Nabastala mendelik menatap Narendra. "Dia mau periksa kandungan dan anak yang di kandungnya itu anaknya kak Wangga", bisik Nabastala pelan seraya menggigit bibirnya, takut akan ucapannya.
"Aku tadi juga mikirnya gitu sayang. Tapi... Setelah di pikir-pikir lagi, kayanya itu bukan anaknya Wangga"
Ntah untuk yang ke berapa kalinya Nabastala menganga tak percaya. "Maksud kamu?"
"Yaa... Yaa.. ituuu. Ngerti kan?"
"Anak orang lain gitu? Itu maksud kamu?"
Narendra mengangguk lalu menarik dan memasangkan seatbelt ke tubuh Nabastala.
Nabastala mengamati bangunan rumah sakit di depannya. "Apa dia masih di dalam, Ren?"
"Yaa masih lah sayang. Dia kan antriannya jauh di belakang kita"
Narendra mulai menyalakan mesin mobilnya lalu dengan cepat meninggalkan parkiran rumah sakit.
~TBC~
Thanks ♥️
-My 🐬
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Semesta [End]
FanficSebuah garis cerita yang semesta rangkai untuk kehidupan dua makhluk ciptaannya. Penasaran dengan cerita lengkapnya? Langsung baca aja dan selalu nantikan part selanjutnya - - - - - - - - - - - Ini cerita pertamaku. Penulisan cerita ini masih terdap...