"Jadi orang tu harus sabar. Jangan ngomel-ngomel mulu bisanya”, ucap Wangga membuat Alca menatapnya tajam. Ia merasa sedikit tersindir oleh kata-kata Wangga.
“Dih!!! Ngaca bro! Situ nggak punya kaca apa gimana? Sendirinya juga gitu"
Wangga tak menggubris omelan Alca. Ia hanya menatap datar Alca lalu meraih helm yang masih tersangkut di pengait motor.
"Gak sabaran, tukang maksa, tukang nyuruh kalo nggak dilakuin ngomel-ngomel juga. Apa bedanya lu sama gue?"
"Udah? Atau masih ada yang perlu di ungkapkan lagi?", tanya Wangga membuat Alca menurunkan kaca helm Wangga kasar
"Gak", jawabnya singkat.
Tak lama Wangga langsung tancap gas meninggalkan kantornya.
Selama perjalanan tidak ada percakapan yang terjadi. Hanya suara hembusan kencang angin malam yang menemani perjalanan mereka.
Wangga sesekali menatap Alca melalui kaca spion, perasaannya sedikit terusik setiap kali melihat Alca memegangi lengannya yang hanya berbalut kaos tipis berlengan panjang
“Ca, lo kedinginan?”
“Hah?”
Alca mendekatkan kepalanya ke arah Wangga. "Apa Ga?"
“Lo kedinginan nggak?”, tanya Wangga lagi setengah berteriak dengan cepat membuat Alca menggeleng pelan.
“Ohh nggak kok”, jawabnya bohong. Ia sebenarnya merasa kedinginan hanya saja ia malas untuk mengatakannya.
Wangga tiba-tiba menghentikan laju motornya di tepi jalan membuat Alca menatapnya bingung. Ia langsung melepas jacket denim yang dikenakannya lalu menyuruh Alca untuk memakainya.
“Gue gak kedinginan”, tolak Alca kekeuh, tetap tak mau mengenakan jaket berwarna biru itu
“Pake ngga Ca?”
Alca tetap menggeleng dan menolak jaket yang di berikan oleh Wangga.
“Mending lo aja yang pake, lo kan nyetir di depan. Anginnya lebih kena ke lo daripada ke gue”
Melihat respon Alca sontak membuat Wangga justru tersenyum menggoda. “Oohh lo mau gue yang pake. Terus lo meluk gue dari belakang. Gitu maksud lo?”
Alca reflek menoyor kepala Wangga yang di lindungi helm dengan keras. “Apaan sih? Gak gitu juga!”
Alih-alih marah, Wangga malah tertawa keras. Raut wajah kekesalan Alca benar-benar menjadi hiburan tersendiri untuk Wangga. Makanya lelaki itu suka sekali menggoda atau menjahili Alca.
“Yaa makanya di pake!”
Alca merampas jaket biru itu dari tangan Wangga. Wangga tak berkomentar jauh, ia diam-diam tersenyum di balik helmnya seraya menatap Alca yang sedang memakai jaketnya lewat kaca spion.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Semesta [End]
Fiksi PenggemarSebuah garis cerita yang semesta rangkai untuk kehidupan dua makhluk ciptaannya. Penasaran dengan cerita lengkapnya? Langsung baca aja dan selalu nantikan part selanjutnya - - - - - - - - - - - Ini cerita pertamaku. Penulisan cerita ini masih terdap...