11

285 45 0
                                    

Seperti biasa Rose memulai hari dengan bangun pagi. Meminum segelas air putih yang ada di nakas, cuci muka dan gosok gigi. Lalu, ia memakai sepatu olahraga favoritnya dan mulai lari pagi di jogging track yang ada di sekitar apartemen.

Saat Rose bangun, Liam juga sudah bangun. Segelas kopi yang masih mengepul dan segelas susu yang sama sekali tidak menarik itu, terlihat ditata berjejeran di meja makan. Dan tak perlu untuk jadi jenius untuk tahu kalau kopi itu pasti milik Liam dan susu itu Liam siapkan untuk sang Nona.

Liam benar-benar tahu jadwal Rose secara mendetail. Kapan Rose bangun, kapan Rose tidur. Apa yang bisa Rose makan dan apa yang tidak bisa Rose makan. Seolah pria itu memang sudah mengenal Rose begitu lama. Yang Rose tahu kalau itu sangatlah tidak mungkin. Liam bisa tahu semuanya pasti karena perintah Papanya. Sang Papa memang kadang bisa sangat berlebihan kalau sudah menyangkut tentang dirinya. Yang sangat bisa mengerti, karena Rose memanglah anaknya satu-satunya. Tak peduli mantan istrinya adalah wanita yang buruk karena menelantarkan anak dan suaminya begitu saja, Thomas benar-benar mencintai Rosela. Gadis kecilnya yang terus memberikan kekuatan hingga ia bisa bertahan sampai saat ini.

“Selamat pagi,” sapa Liam dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Walau senyuman itu hanya berlangsung selama tiga denyut nadi, tetap saja hal itu membuat dada Rose langsung berdebar dengan brutal.

“Selamat pagi,” sapa Rose singkat lalu dengan gerakan yang sangat lambat berusaha untuk meraih cangkir kopi. Namun, dengan gaya bossy dan songongnya itu, Liam lebih dulu mengambil cangkir kopi tersebut dan meminumnya dengan gaya super menyebalkan!

Rose berdecak terang-terangan. Lalu meraih segelas susu yang masih hangat dan meminumnya hingga tandas. Sumpah, saat ini Rose benar-benar merasa seperti anak lima tahun sekarang. Pagi-pagi harus minum susu agar sehat dan tumbuh dengan baik!

Dasar menyebalkan!

***

Kejadian yang dialami Rose akhir-akhir ini benar-benar membuat kepala Rose kusut. Biasanya berlari membuat perasaannya lebih baik, oleh karena itu saat ini Rose lari pagi dengan kecepatan di atas rata-rata hingga dada dan lututnya rasanya sakit.

Keringat menetes di wajah dan punggungnya, beberapa ada yang mengenai mata hingga matanya rasanya perih. Tapi Rose tidak peduli, saat ini gadis itu terus berlari dan berlari. Berharap dengan begitu semua rasa sakit di hatinya hilang. Ia ingin menangis, tapi Rose paham betul menangis sampai suaranya hilang pun tidak akan mengubah apapun. Jadi, menyakiti dirinya seperti ini adalah hal yang paling efektif.

Lari, lari, lari, jangan berhenti, jangan berhenti; itu adalah matra yang terus diputar Rose di kepalanya tanpa peduli kalau tulang-tulangnya saat ini rasanya sudah sakit sekali.

***

Liam berlari di belakang Rose. Pria itu menjaga jarak aman agar nonanya tetap merasa nyaman. Namun, saat Rose mulai meningkatkan kecepatan larinya hingga sang nona berlari seperti orang gila dan mungkin lupa bernapas, Liam segera menyejajarkan langkahnya dengan sang nona.

Lalu, saat tubuh Rose mulai limbung ke depan karena gadis itu tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya lagi. Dengan segera Liam langsung memposisikan dirinya di depan Rose, hingga kini tubuh Rose langsung jatuh ke pelukan Liam. Bukannya jalanan beraspal yang sedikit basah.

Dengan mata merah dan napas ngos-ngosan Rose menatap mata Liam. Tatapan gadis itu terlihat sangat menyakitkan. Hingga Liam ingin memeluk Rose hangat. Bertanya apa yang saat ini dirasakan gadisnya, lalu menciumi wajahnya sambil membisikkan kata-kata menenangkan. Kalau semua akan baik-baik saja dan Rose akan selalu baik-baik saja.

Namun, seperti yang Liam lakukan hampir sepuluh tahun terakhir. Ia hanya bisa menyimpan semuanya di dada. Bahkan, saat Rose ia lihat sedekat ini pun, gadis itu tetap terasa jauh.

Satu lengan Liam masih melingkari tubuh Rose dengan posesif. Seolah ingin memberitahu Rose kalau bersamanya gadis itu akan selalu aman.

Tangan Rose ada di dada Liam. Hingga ia dapat merasakan detak jantung pria itu yang berbunyi seirama dengan detak jantungnya. Yang Rose tahu kalau itu hanya ilusi belaka.

Rose berdeham seraya membenarkan anak-anak rambut ke belakang telinga. Pipi gadis itu terasa panas. Ah, tidak, seluruh tubuhnya terasa panas.

“Kamu tidak apa-apa?”

“Ya, aku tidak apa-apa.” Rose berdeham lagi. “Jadi, kamu betulan akan selalu mengikuti ke mana-mana seperti ini?”

“Ya. Dan sebaiknya mulai sekarang Nona berhati-hati. Karena pagi-pagi berciuman dengan aspal benar-benar hal yang buruk untuk memulai hari.”

Hah, apa ini? Liam sedang mengejeknya sekarang? Hah, dasar menyebalkan!

Rose benar-benar kesal setengah mati, tapi sebenarnya itu hanya untuk menutupi rasa malunya saja.

Rose memaksa melepaskan diri dari pelukan Liam. Lalu berkacak pinggang.

“Mungkin bukan aku yang harus berhati-hati. Tapi memang kamu yang pembawa sial! Sebelum kamu datang, aku selalu lari pagi dan tidak pernah hampir jatuh sekali pun. Namun, sejak kamu datang ke hidupku hal-hal buruk terus berdatangan. Mulai dari hampir tertabrak motor dan sekarang hampir jatuh. Hah, yakin bukan kamu yang dikutuk?!” protes Rose dengan eskpresi yang super menggemaskan. Membuat Liam diam-diam tertawa dalam hati.

Hah, nonanya ini tidak tahu saja, kalau sejak waktu yang sangat lama. Liam selalu ada di dekatnya. Pria itu tidak pernah ke mana-mana. Walau ia harus melihatnya dari jauh dan tidak terjangkau mata.

The Bodyguard (#1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang